Showing posts with label #Math. Show all posts
Showing posts with label #Math. Show all posts

9/26/2015

Ucapan Terimakasih




Saya pernah berjanji, menuliskan laman persembahan ini di blog karena tidak saya cantumkan di skripsi. Inilah orang-orang yang terlibat, banyak ataupun sedikit, diminta maupun tidak, ikhlas ataupun terpaksa, hahaha..

Pengerjaan skripsi diawali dengan perebutan pembimbing Skripsi, dan setelah berjuang dengan agak maksa, saya pun berjodoh dengan Prof. H. Yaya S. Kusumah, sebagai pembimbing I dan Dr. Hj Aan Hasanah sebagai pembimbing II. Skripsi saya bukan apa-apa tanpa mereka :’) Sehat terus ya, Pak, Bu.

Lalu pemilihan judul. Pak Yaya minta saya mencari 10 judul sekaligus outline nya untuk diajukan kepada beliau. Malam itu, hari Rabu, saya minta ditemani Dean nongkrong di perpus hingga larut. Thanks Dean, yang udah bawain roti dan aqua karena saya lupa makan sejak siang.

Setelah beberapa kali melewati tahap diskusi dengan Pak Yaya, akhirnya lahirlah judul skripsi: Literasi Matematis dan Kecemasan Matematika Siswa SMA dalam Implementasi Model Pembelajaran Project Based Learning. Topik yang saya ambil Geometri. Literasi? Apa itu Literasi? Ini lucu. Awalnya saya tertarik dengan sebuah judul Disertasi yang menyebutkan kata literasi matematis. Literasi yang saya tahu adalah kemampuan menulis, dan saya suka menulis. Lalu kenapa kemampuan menulis dikaitkan dengan matematika? Saya sudah sangat ke-pe-de-an saat itu. Saya yakin kemampuan menulis itu sangat penting dalam bermatematik. Tadinya saya pikir skripsi saya akan bicara soal itu, soal bagaimana mengkomunikasikan matematika melalui tulisan. Tapi nyatanya saya salah! Literasi yang dimaksud tidak persis seperti arti harfiahnya! Literasi matematis bukan biacara soal itu! Saya kena zonk T.T Tapi karena Pak Yaya sudah terlanjur tertarik dengan salah satu judul yang saya ajukan itu, akhirnya saya pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ditambah lagi, saat itu saya orang pertama di antara orang-orang yang mengontrak skripsi, yang mengukur dua domain sekaligus (kognitif dan afektif). Ini juga lucu. Tadinya saya tertarik membahas tentang kecemasan matematika yang nampaknya berpengaruh juga pada prestasi siswa dalam bermatematika. Tapi kata Pak Yaya, kalau saya hanya mengukur kecemasan matematika, artinya hanya mengukur domain afektif, sedangkan sejatinya afektif dalam matematika tidak begitu krusial untuk diukur. “Orang yang mengerjakan soal matematika, pasti jujur. Tidak ada yang membuktikan teorema lalu ia berbohong di tengah-tengah langkah pembuktiannya,” kata Pak Yaya. Dan ia benar, selalu benar. Buat apa kita ukur afektifnya kalau begitu? Ya sudah, kita ukur kognitif saja berarti, ya Pak? “Tapi, kalau kamu hanya mengukur kognitif, kamu kehilangan kesempatan untuk belajar membuat angket” Jadi kesimpulannya, ukur dua-duanya! Fix banget ini mah kena zonk teh -_-

Pembuatan proposal gak ada kendala. Mulai ribet itu ketika membuat instrumen dan perangkat pembelajaran, dari mulai kisi-kisi, soal, butir angket, sampai pembagian materi. Orang-orang yang terlibat dalam pembuatan instrument ini adalah:
Pak Wawan Kahiyangan, S.Pd, begitulah nama facebooknya. Dia itu guru Fisika di sekolahan ade saya, yang pernah mengajar les saya. Guru sekaligus partner curhat soal perkuliahan macem begini. Terimakasih, Pak, sudah bantu saya menyusun bahan ajar, berdiskusi tentang pemilihan project, dan memeriksa RPP saya :) Dalam pembuatan bahan ajar berupa Lembar Kerja Proyek, saya juga dibantu teman saya bernama Deni. Dia yang bikin ilustrasi, buat apa punya teman anak TI kalau gak kita maintain tolong hehehe. Thankyou, Deni. Ilustrasinya oke.

Selanjutnya penyusunan instrument atau soal literasi matematis. Kali ini special thanks buat Lucy Dewan Yulianto, yang udah mau berbagi soal-soal literasi yang dia pakai untuk penelitiannya bersama salah satu dosen. Padahal katanya soal-soal itu gak boleh beredar, hehe. Tapi Lucy baik, mau ngasih ke saya dan gak lupa nanyain progres pembuatan instrument saya tiap ketemu.

Lalu ada Derandi, alias Dean Reafangga Setiadi. Dia Bapa Geometri! Sejak awal memilih topik Geometri saya bilang ke dia: De, berjanjilah jangan pernah meninggalkan aku. Hahaha lebay emang. Tapi saya serius. Saya berani ambil Geometri yang seksi itu, salah satunya karena Dean berjanji akan membantu kalau saya butuh sesuatu. Bahkan kalau saya butuh orang lain selain dia. Sebut saja Taqi. Dia calon Bapa Geometri. Saya diajak ke tempat Taqi oleh Dean untuk diskusi saat penyusunan instrument. Mereka berdua itu pakar Geometri lintas angkatan, Thankyou gaes!

Makasih juga buat Ate yang beberapa kali jadi observer saat sedang penelitian. Terimakasih buat Mpit alias Rizky Fitriani yang bersedia menggantikan saya mengajar di kelas PPL saya sementara saya penelitian. Terimakasih buat siswa-siswi kelas X MIA 3 dan 4 SMA N 6 Bandung yang dengan senang hati (walaupun tidak tahu) menjadi objek sekaligus subjek penelitian saya. Juga anak-anak kelas XI MIA 5 yang udah saya repotin untuk uji soal dan angket. hehe

Setelah menyusun instrument, melakukan penelitian, dan pengambilan data, langkah terakhir sebelum penutup adalah pengolahan data. Nah, bagian ini yang penuh dengan cobaan. Siapapun yang pernah mengolah data skripsi, pasti ingin mendapatkan hasil yang sesuai hipotesis. Kalau tidak sesuai? Ya dianalisis kenapa sebabnya, atau… disesuaikan. Hehehe. Itulah godaan terbesarnya. Alhamdulillah dalam pengolahan data, saya gak terlalu banyak kendala. Ada yang tidak sesuai hipotesis tapi itu juga bukan masalah karena berhasil saya analisis. Tahap olah data ini yang paling berjasa adalah teman saya Dina Putri Setyowati. Dia yang sudah selangkah lebih dulu dalam pengerjaan skripsi, sudah ekspert banget ngotak-ngatik SPSS. Dia juga yang nemenin saya malam-malam nongkrong di perpus buat nyari tau salah satu cara pengolahan data. Saat itu sudah hampir ditutup pendaftaran sidang, tapi pembimbing saya malah minta saya buat ganti rumusan masalah, otomatis olah datanya beda lagi. Itu masa-masa kritis, dan Dina ada di situ. Terimakasih Alloh yang baik, telah menciptakan makhluk mungil nan endut Dina Putri :* hihi. Makasih juga buat teh Siti Munirah, wisudawan terbaik tahun lalu, yang telah minjemin buku-buku statistiknya buat referensi.

Hingga akhirnya sampailah saya pada sidang skripsi. Dibantai habis oleh penguji tanpa didampingi pembimbing skripsi. Hahaha. Tapi gak papa, saya lega. Semua yang saya usahakan gak sia-sia. Terimakasih ya kalian :) Semoga Alloh yang Maha Baik membalas kebaikan kalian dengan balasan yang berlipat, aamiin. Buat yang belum kesebut namanya, mungkin saya lupa, tapi doa ini buat kalian juga :)

4/08/2015

Capruk, yeah~

Setelah beberapa hari berkutat dengan bahan ajar, instrumen dan hal lainnya di folder tetek bengek skripsi, akhirnya saya bisa juga melipir ke sini. Mengajar di 4 kelas berbeda dengan 3 model pembelajaran dan bahan ajar yang berbeda sukses membuat hati dan pikiran saya sibuk, sangat sibuk. Hilang fokus sedikit, berantakan semuanya. Saya mengajar seperti mesin hingga saya lupa esensi mengajar sendiri itu apa. 
Malam ini, setelah entah kapan terakhir kali si babeh menghubungi saya via telepon, ada panggilan masuk dari nomor ponselnya. Obrolan singkat, padat, tapi sarat makna pun berlangsung selama sekitar 7 menit. Dan sekali lagi, laki-laki terhebat di dunia itu membuat saya kagum dengan isi kepalanya.

“Kamu ngajar 9 jam, ngomong terus dong?”
“Iya, berdiri terus lagi”
“Kok gitu sih? Emang gak pegel?”
“Pegel lah, tapi kalau ngerjain soal sendiri mereka gak pada bisa”
“Ya makanya jangan bikin soal yang susah-susah, jadi mereka bisa ngerjain sendiri”

Dan saya pun tertawa. Saya gak kepikiran loh. Hahaha. Lain kali, harus saya coba. Tapi saya lupa bilang kalau siswa-siswa itu memang dituntut bisa mengerjakan soal-soal setingkat soal-soal latihan yang saya sajikan. Soal-soal UAS mereka nanti, kurang lebih akan seperti itu. Babeh pun melanjutkan pembicaraan.

“Otak anak kan beda-beda, ada pentium 1, 2, 3... Jadi ya gak bisa disamakan”

Bawa-bawa pentium pula, hahaha. Di situ mungkin maksud si babeh adalah kemampuan anak yang beragam. Lebih tepat lagi, setiap anak kompeten di bidang yang berbeda, tidak semua kompeten di matematika. Jadi, seharusnya soal-soal disesuaikan dengan kompetensi anak. Tapi di sini saya lupa bilang, bahwa kompetensi siswa di Indonesia masih diukur dengan tes-tes tertulis yang bersifat kognitif, apalagi dalam bidang Matematika. Tes-tes itu belum bisa dipakai untuk mengukur keterampilan siswa atau hal lainnya yang bersifat non-kognitif. Dengan kata lain, kalau ia masih sekolah di Indonesia, sudah sepatutnya berusaha keras mengerjakan soal-soal latihan (yang sebenarnya tipe soalnya itu-itu saja). Baik siswa yang (kalau istilah si babeh) pentium 1, 2, maupun 3. Beda lagi kalau sudah jadi mahasiswa yang sudah masuk penjurusan. Hanya beberapa jurusan saja yang mempelajari matematika secara mendalam, melebar, dan meluas, #eaaa. Misalnya mahasiswa Seni Tari, cukup mempelajari matematika sampai matematika dasar saja di semester awal. Tingkat kesulitannya pun disesuaikan, tentunya tidak sama dengan soal-soal matematika dasar untuk mahasiswa jurusan matematika.

Ya itulah keadaan pendidikan kita. Kalau mau membuat sistem sendiri, minimalnya saya harus punya sekolah sendiri. Sekolah yang tidak perlu mengatrol nilai peserta didiknya demi akreditasi, atau demi nama baik instansi maupun daerah. Sekolah sendiri yang punya standar sendiri seperti sekolah yang dibuat Rancho di film 3 Idiots. Hahaha.. Maybe sometimes.. Saya juga ingin sekali keluar dari segala macam sistem yang membelit sana-sini. Tapi nyatanya, ketika kita keluar dari suatu sistem, kita hanya akan masuk ke sistem lainnya. Maybe just maybe :)

3/21/2015

Hikmah.

Pernah gak sih kamu dapet hikmah dari suatu kejadian? Atau dapet semacam hidayah ketika sedang menghadapi masa-masa tergelap dalam hidupmu? #eaa

Beberapa malam terakhir saya bergadang buat ngolah data hasil uji angket. Hal ini berawal dari dosen pembimbing saya yg tercinta menyuruh saya membuat angket sendiri. Padahal, dulu saya pernah berkonsultasi ke beliau kalau saya mau pakai angket yg sudah ada saja, jadi tidak perlu buat lagi, tidak harus diuji lagi. Tetapi, ya itu.. sepertinya dospem saya itu baru dapet ilham atau apalah sehingga meminta saya membuat angket baru. Padahal 2 minggu lagi saya harus sudah penelitian. Omaigat. Angket belum dibikin, lalu harus diujikan ke anak-anak, lalu diolah, lalu dilihat validitasnya, kalo hasilnya kurang bagus mesti bikin lagi, uji lagi, nyari jam kosong dan kelas lagi, daaaan makin pusing kalau dipikirin :)

Untungnya, saya gak lama-lama mikirin itu. Setelah bimbingan, malamnya langsung saya garap. Dua hari setelahnya langsung saya uji. Nah, sampai di sini ada masalah lagi. Saya gak ngerti gimana caranya ngolah data angket. Secara, dari dulu cuma belajar ngolah instrumen kognitif. Yang afektif gak kebayang sama sekali. Saya pun langsung meneror beberapa orang buat bantuin saya (neror banget?). Iya, seriusan neror. Misalnya, saya menelepon mereka dan bilang saya mau ke kosannya sekarang. sekarang banget. haha..

Beberapa orang gagal dihubungi dan gagal membantu karena kesibukannya. Dan tahu siapa bidadari penolong saya? Dina. Sahabat saya sendiri. Saya lupa kalau bahasan kita sama. Saya juga gak tau kalau ternyata ia juga melakukan uji angket. Dan... akhirnya setelah lieur (aslinya, lieur pisan, menuju jangar) berkutat dengan SS, S, J, SJ, dan angka-angka di tabel Z, dapatlah skor yang siap diolah di Anates (Thankyou Ms. Excel dan Anates), saya pun mendapatkan hasilnya.  Btw, belakangan baru saya tahu kalau mengubah data ordinal menjadi data interval yg bikin pusing itu diloah dengan teknik summated rating. Sampai di sini, ada masalah lagi. Dari 39 pernyataan yg saya buat, ada 6 yg gak valid. Enam ! Itu keterlaluan.. mau pingsan ajaaa :"(

Tapi sebelum saya pingsan, saya nangis dulu karena saat itu saya malah ditinggal ke Jogja sama ortu dan adek (seriusan gue mewek, hahaha). Seberes bersedih-sedih ria, saya langsung move on, eh maksudnya move back to angket. Saya berniat mengecek isian anak-anak kali aja ada yg asal ngisi. Ternyata bukan cuma ada, tapi banyaak. Padahal saya udah wanti-wanti untuk gak terburu-buru dan rada mikir pas ngisi angket. Tapi yasudahlah...
Setelah itu saya revisi beberapa data di olahan angket lama. Berkah banget, 4 jam saya ngutek gituan sejak shubuh, hasilnya sangat memuaskan. Dari 6 yang gak valid menjadi 3. Alhamdulillah :")
Saya buru-buru ngabarin Dina yg saya nobatkan jadi pembimbing 3 saya, dan Auliyan yg di hari sebelumnya udah nemenin saya main sampai malam. Huffft.. syukurlah :))

Dari kejadian ini tiba-tiba saya teringat petikan ayat dalam surat ke 94 dalam Al Qur'an, yang artinya kurang lebih begini:

"Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari satu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain). Dan hanya kepada Tuhanmulah kamu berharap."

Entah dengan apa saya mengungkapkan kelegaan hati saya karena perkara angket ini. Sejujurnya saya gak bisa mengerjakan tetek-bengek penelitian lainnya kalau yg ini belum beres. Tapi setelah ini, akhirnya saya dapat dengan tenang mengerjakan urusan yg lain, dengan sungguh-sungguh :)

Nah, sekarang adakah hikmah yg kalian dapat setelah membaca tulisan saya ini?
Yang jelas, ketika uji instrumen atau apa pun, pastikan testernya mengerjakan pekerjaannya dengan benar, hehe.

3/09/2015

Bukan jodoh

Dari awal mengajar, saya lebih suka mengajar di kelas sosial daripada kelas sains. Entah karena kesan pertama selalu membekas, atau memang hati saya terlanjur jatuh pada mereka. Di antara kelompok anak-anak sosial saya merasa "ada". Mengajar mereka benar-benar menguras energi saya. Tapi.. mereka selalu tahu cara membuat saya tersenyum. Sayangnya, kalau sudah urusan tugas, tenggang waktu yg diberikan harus benar2 longgar. Mereka malas -_-

Di sains agak berbeda. Beberapa ada yg luar biasa sok tahu dan tidak sabaran. Tapi urusan tugas dan ujian, mereka tidak anggap remeh.

Untuk penelitian, inginnya sih saya ambil kelas sosial. Tapi setelah dipikir2, itu sangat berisiko. Tugas kecil saja mereka lamban mengumpulkan, apalagi project besar seperti pada penelitian saya nanti? ckck.. Akhirnya saya tentu memilih kelas sains. Tapi rupanya takdir berkata lain dan agak merepotkan.

Saya dilarang menggunakan kelas yg saya ajar untuk penelitian. Dengan kata lain, saya harus mencari 2 kelas lainnya.
Ah.. semua rencana berantakan. Aturan ini sungguh merepotkan. Tapi cukup bijak bagi kedua kelas yg saya ajar tadi. Siapa sangka, keduanya bukan jodoh saya :)

2/27/2015

Ulangan

Seorang teman pernah bertanya: kalau sedang mengawas ujian, saya jadi sosok pengawas yang bagaimana. Minggu ini sudah masuk pekan ulangan harian. Saya membuat sendiri soal-soal yang akan diujikan di kelas yang saya ajar, disesuaikan dengan materi yang pernah saya ajarkan. Tingkat kesulitannya bervariasi, ada soal yang mudah dan sangat mudah (bagi saya, hehe). Saya serius, saya sama sekali gak memasukkan soal-soal non-rutin ke lembar soal ulangan. Semuanya sudah pernah dibahas saat latihan, hanya berbeda angka dan struktur kalimatnya. Tapi anak-anak kok kesulitan ya :( Di situ kadang saya..... *Plaak* (Digampar Batman)

Saya tidak menegur siswa yang bekerja sama. Saya juga menjawab beberapa pertanyaan siswa yang mengaku lupa cara mengerjakan soal tertentu. Saya bahkan tidak segan memberikan clue untuk beberapa soal jika anak banyak bertanya untuk soal tersebut. Saya tahu itu sedang ulangan, tapi saya sangat menghargai usaha mereka yang mau mengerjakan dan menyelesaikan semua soalnya. Apalagi saya yakin mereka pasti belajar sebelumnya, walaupun kebut semalam yang berakibat terkena serangan mendadak lupa saat membaca soal (karena seringkali saya begitu, hehe). Jadi saya pikir, apa gunanya jadi pengawas yang galak? Toh, kalau nilai anak-anak jelek, saya juga yang repot. Harus memberikan remedial atau tugas tambahan, lalu memeriksanya lagi, lalu mengakumulasikan dengan nilai lama, ah.. pekerjaan yang berlipat ganda dan merepotkan. Lagipula, mereka belajar bukan hanya mata pelajaran saya. Apa hak saya menuntut mereka untuk mahir dalam pelajaran tertentu? (Hehe, bijak sekali, Bu. Anda seperti yang merasakan sekali susahnya jadi siswa SMA)

Tapi kadang saya... *Batman mulai siap-siap* saya dilema..
Saya sempat kepikiran memperbolehkan open book pada 10 menit terakhir. Itu sungguh membantu jika memang anak-anak benar-benar lupa tentang konsep tertentu. Dosen Statistika saya juga pernah melakukan hal yang sama, walaupun buat saya itu gak membantu karena saya bukan lupa konsep tapi memang tidak paham, hehe. Iya, saya sempat kepikiran, tapi urung saya lakukan. Saya merasa gak enak sama sebagian dari mereka yang sudah belajar. Nanti mereka akan bilang: “Anjiir nanaonan urang diajar sapeupeuting mun ujung-ujungna open book mah.” Gimana kalau mereka merasa usaha belajarnya tidak dihargai? Huhu.. Jadi kalau mau open book ya saya harus membuat kesepakatan sejak awal agar anak-anak tidak merasa dirugikan. (Duh, Ibu.. kali ini pasti pengalaman pribadi banget, merasa dirugiin sama ulangan open book).

Setelah waktu mengerjakan selesai, beberapa orang masih belum mengumpulkan. Saya juga dengan sabar menunggu, dengan legowo memberi tambahan waktu. Iseng saya nyeletuk ke beberapa anak yang sudah selesai dan mulai beristirahat: “Heh, temen kamu belum beres tuh. Gak dibantuin?” Lalu ada yang menjawab: “Emang boleh, Bu? Ih licik. Tau gitu tadi saya minta bantuin temen saya aja, Bu”. Lalu saya jawab lagi: “Ya tanya dulu temen kamunya mau gak bantuin, hahaha”. Saya iseng bertanya begitu, karena bagi saya tidak penting mereka mau contek-contekan atau tidak, asal yang dicontekkin gak merasa keberatan. Saya sudah tekankan, saya gak menuntut mereka mahir dalam pelajaran saya, tapi saya juga gak mau nilai mereka jelek. Karena di rapor nanti, nilai mereka harus berkisar antara 80-90. Kalau nilai ulangan harian macam ini mereka jelek, rapor nanti nilai dari mana? Nilai ghoib?

Bicara tentang nilai ghoib, saya gak mau memberikan nilai ghoib kepada siswa-siswa saya. Nilai ghoib itu merugikan, saya korbannya. Meurut saya, nilai matematika saya di kelas 2 dan 3 SMA adalah nilai ghoib. Saya mendapat nilai tinggi padahal saya tidak pernah merasa ulangan atau mengerjakan tugas. Dan nilai ghoib itulah (salah satunya) yang meluluskan saya masuk ke departemen Pendidikan Matematika ini dan terjebak selama 4 tahun, Hahaha. (Gak atuh, ini namanya takdir yang indah dan mesti disyukuri :D )

Lagipula, sampai sekarang saya tidak tahu bagaimana menciptakan nilai ghoib. Yang saya pelajari selama kuliah hanyalah mengakumulasikan skor-skor tugas, nilai harian, UTS, dan UAS untuk menjadi nilai akhir. Mungkin nanti saya harus belajar dengan guru-guru senior yang sudah berpengalaman di lapangan, #eh hehehe.

#PPLday9

1/07/2015

Tugas Editting Foto


Berikut ini merupakan beberapa foto hasil editting dengan menggunakan adobe photoshop. Apabila ada kesamaan tokoh atau tempat, keduanya memang sebuah kesengajaan, hehe.. Alasan saya memilih objek-objek berikut ini tidak lain adalah karena saya suka. Mohon maaf apabila ada yang kurang berkenan, silakan layangkan komen. And, here we go....




Foto 1: Objek foto ini merupakan TK Labschool UPI, foto diambil siang hari sekitar pukul 13.00.


Foto 2: Foto ini saya ambil dari kegiatan pelantikan anggota Jurnalistik SMAN 2 Cirebon. Diedit dengan teknik WPAP.







Power Point Materi Peluang





Peluang dan Statistika adalah salah satu mata pelajaran yang kontekstual karena sering ditemukan dalam konsep kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, banyak siswa yang belum begitu paham dengan materi tersebut. Salah satu penyebabnya adalah penyampaian materi yang kurang realistik oleh guru. 
Berikut ini merupakan beberapa slide sajian materi peluang yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari siswa. 
Silakan unduh dan TERIMAKASIH TELAH MENYERTAKAN SUMBER:



Metode Pembelajaran Socrates



pict from: google



Oleh Dini N.Ehom
Departemen Pendidikan Matematika UPI

Menurut komunitas critical thinking, thinking is not driven by answers, but questions. Berpikir kritis lahir dari sebuah pertanyaan, bukan dari sebuah jawaban. Pertanyaan dapat mendefinisikan, mengutarakan dan menggambarkan persoalan. Sedangkan jawaban sering diartikan sebagai tanda berhentinya proses berpikir. Proses berpikir bisa berlanjut hanya jika jawaban tersebut mampu melahirkan pertanyaan yang lebih jauh lagi.  Itulah kenapa, menurut komunitas critical thinking, hanya siswa yang memiliki pertanyaan, yang benar-benar berpikir dan belajar. Tentu saja kualitas pertanyaan tersebut menentukan kualitas berpikir mereka, dengan kata lain dead question reflect dead mind.
Dalam artikel The Role of Socratic Questioning in Thinking, Teaching, & Learning dikatakan bahwa terdapat hubungan yang spesial antara critical thinking dan Socratic Questioning karena keduanya memiliki tujuan akhir yang sama. Critical thinking memberikan pandangan yang komprehensif mengenai bagaimana memfungsikan pikiran (dalam menemukan makna dan kebenaran), sedangkan Socratic Questioning memanfaatkan pandangan tersebut guna menyusun pertanyaan yang esensial dalam pencarian makna dan kebenaran tersebut.
              

  • Metode Socrates


Socrates (469-399 SM) adalah filsuf dari Athena dan merupakan generasi pertama dari tiga ahli filsafat besar Yunani, yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato, dan Plato pada gilirannya juga mengajar Aristoteles. Semasa hidupnya, Socrates tidak pernah meninggalkan karya tulis apapun sehingga sumber utama mengenai pemikiran Socrates berasal dari tulisan Plato dan murid-muridnya yang lain. (wikipedia.com)
Socrates memiliki gaya mengajar yang unik yaitu dengan cara bertanya tentang suatu objek dari berbagai sudut pendekatan, dan dari sana barulah ditarik kesimpulan. Dalam diskusi-diskusinya tersebut, Socrates selalu mengajak orang-orang untuk mencari pengertian yang lebih dalam serta mencari tahu mengapa mereka mengerjakannya sehingga tidak sepenuhnya mengandalkan pada pemahaman menurut Socrates saja. Gaya mengajar ini yang selanjutnya disebut sebagai metode pembelajaran Socrates. (rahmatche.wordpress.com)
Metode pembelajaran Socrates dikenal juga sebagai metode kritis atau metode dialektika. Pembelajaran dengan metode ini berisi dialog-dialog kritis (Socratic questioning) antar peserta diskusi dalam menanggapi sebuah permasalahan sehingga pada akhirnya merujuk pada suatu kesimpulan.
Metode Socrates terbagi menjadi dua macam, yaitu metode Socrates klasik dan modern. Metode Socrates klasik menggunakan pertanyaan-pertanyaan kreatif untuk mendekonstruksi ide-ide yang sudah ada dan membiarkan responden berpikir ulang tentang pernyataan utama dalam sebuah diskusi. Dekonstruksi ini akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan atau bahkan penyangkalan dari pernyataan mereka di awal. Sehingga, hasil dari metode Socrates klasik adalah sebuah kegagalan dalam menemukan jawaban yang memuaskan. Kegagalan ini pada akhirnya akan membuat responden terinspirasi untuk menggali lebih dalam dan berpikir tentang persoalan tersebut dengan kebebasan yang baru yang diperoleh dari menghapuskan keyakinan jawaban awal. Hanya saja, kesimpulan atau jawaban yang didapat tidak dijamin benar. Dengan kata lain, metode Socrates klasik digunakan tidak untuk mencari jawaban yang benar dari pertanyaan utama. Poin utama dalam metode ini, yakni membantu responden untuk mengetahui apa yang mereka ketahui dan yang tidak mereka ketahui. Jika jawaban atau kesimpulan sudah tepat, saat itulah transisi metode Socrates klasik ke metode Socrates modern.
Selengkapnya silakan unduh di SINI. Jangan lupa mencantumkan sumber untuk menghindari plagiarisme :)

Timbangan Aljabar

Media pembelajaran dalam matematika sangatlah dibutuhkan, apalagi untuk materi-materi dalam mata pelajaran matematika yang cukup abstrak bagi siswa. Untuk itu, berikut ini adalah sebuah video peragaan media pembelajaran bernama Timbangan Aljabar (Timbal). Untuk mengetahui lebih lanjut tentang apa dan bagaimana menggunakan Timbal dalam pembelajarannya, silakan tonton video ini, cekidot!




Terimakasih kepada mereka yang berpartisipasi dalam pembuatan video ini:
Bu dosen tercinta, Tia Purniati, S.Pd, M.Pd
Teman sekelompok, Egi Anhar, Yunita dan Rizky Fitriani
Teman sepermainan, Sindy, Dian, Faridhul, John dan Alvian.

6/01/2014

Bye SPM.



 Selamat malam. Minggu-minggu SPM akhirnya (saya anggap) selesai juga. Tinggal menunggu tanda-tangan dosen pembimbing yang sedang berpelesir ke Jepang, lalu rampunglah sudah. Sekadar memberi info, pelesiran ala profesor saya itu adalah semacam kegiatan studibanding, eh masih sensi juga sama kata “studibanding”? Okelah, tak perlu dibahas.

 Jadi, minggu-minggu terakhir ini saya memang sedang merampungkan tugas membuat 4 bab makalah seminar pendidikan. Membuat makalah memang sudah menjadi santapan rutin mahasiswa, tapi yang ini beda, beda banget. Makalah ini yang nantinya (kalau di-acc) jadi bahan skripsi/TA saya. Sebenarnya, saya gak berniat melanjutkan makalah ini ke jenjang skripsi. Pertama, karena saya memilih judul makalah ini asal-asalan. Saya gak bilang asal sebut judul, saya juga melakukan research kecil-kecilan di perpustakaan. Awalnya ke tempat skripsi, tapi setelah melihat rak skripsi yang berjejer banyak dan panjang banget, akhirnya saya memutuskan masuk ke ruang tesis dan disertasi. Cuma ada 6 rak panjang bolak-balik, dan rak khusus matematika cuma 2, hehe. Alhasil berjodohlah saya dengan salah satu disertasi yang judulnya ada nama seorang filsuf, Socrates. Setelah saya baca lengkap judulnya, ternyata disertasi itu mengkaji tentang metode pembelajaran Socrates. Ada juga metode pembelajaran kaya gitu. Akhirnya, karena penasaran, saya bacalah.

 Metode pembelajaran Socrates sebenarnya termasuk metode belajar probing-prompting atau tanya-jawab. Di kelas tentu sudah banyak pengajar/guru yang menerapkannya. Metode ini dinamakan demikian karena dulu Socrates mengajar kepada murid-muridnya itu dengan cara tanya-jawab. Menurut catatan-catatan Plato (karena catatan Socrates sendiri tidak ditemukan), Socrates selalu mengajar dengan cara bertanya. Nah, pertanyaan-pertanyaan Socrates memiliki ciri khusus. Bukan sekadar pertanyaan terbuka seperti why, how, so what, pertanyaan-pertanyaan Socrates juga bersifat dekonstruktif. Itulah bedanya pertanyaan Socrates ketika mengajar dulu (yang selanjutnya disebut metode Socrates Klasik), dengan pertanyaan-pertanyaan yang diterapkan dalam pembelajaran kekinian di sekolah (selanjutnya disebut metode Socrates Modern).

 Metode Socrates modern memuat pertanyaan-pertanyaan yang bersifat konstruktif. Gampangnya, dulu pertanyaan-pertanyaan Socrates ditempatkan sebagai pertanyaan orang dungu, sedangkan pada pembelajaran kekinian, pertanyaan-pertanyaan Socrates diajukan oleh guru yang justru sudah tahu jawabannya. Jadi, guru sengaja melontarkan pertanyaan Socrates agar siswa mengkonstruksi sendiri konsep, prinsip, pola, bahkan memecahkan masalah dalam matematika. Dengan kata lain, jawaban yang benar dari pertanyaan-pertanyaan Socrates modern sudah diketahui dan pasti. Sedangkan pertanyaan-pertanyaan pada Socrates klasik, belum diketahui jawaban yang benarnya, dan memang bukan itu tujuan Socrates dalam mengajar. Socrates ingin agar murid-muridnya mampu berpikir lebih dalam dan intim dalam sebuah permasalahan. Seperti yang ia katakan, dead question reflects dead mind. Istilah kekinian yang sering kita dengar tentang konsep berpikir yang dimaksud Socrates adalah kemampuan berpikir tingkat tinggi. Salah satunya adalah berpikir kritis dan berpikir kreatif yang masing-masing memiliki indikator dalam berbagai versi.

 Ya itulah sekelumit tentang metode Socrates yang saya pilih sebagai bahan kajian dalam makalah seminar saya. Kemampuan yang saya tuju tentu kemampuan berpikir kritis yang memang sedang mengalami krisis bahkan tidak hanya di kalangan pelajar, tapi juga para petinggi kita di Indonesia. #Halah..

  Dan akhirnya, setelah bolak-balik bimbingan dan research sana-sini makalah ini rampung juga di detik-detik menuju deadline. Sayangnya, makalah ini belum saya uji instrumen, jadi belum tahu kualitas bahan ajar termasuk soal-soal yang saya buat valid atau tidak, reliabel atau tidak, dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis atau tidak. Kalau kembali pada niat saya di awal bahwa saya tidak akan melanjutkan makalah ini ke skripsi, tentu saya tidak peduli dengan kualitas bahan ajar tersebut. Saya cuma pengen lulus mata kuliah ini dengan nilai A demi mendongkrak IPK. Saya mikirin IPK juga karena kalau mau kerja suka ada syarat IPK minimal 3,00. Itulah yang membuat saya gak habis pikir. Sama seperti UN yang menstandarkan siswa dari Aceh sampai Papua. Dan yang gak habis pikir lagi, saya harus ikutin tuh standar, gak boleh bikin standar sendiri. Payah.

Yasudahlah yaa.. Kalo ngomongin itu jatuhnya saya malah curhat hahaha. Intinya saya belum tahu apa makalah ini bakal jadi skripsi saya atau tidak. Walaupun sayang juga kalau gak dilanjut, setengah mampus soalnya ngerjainnya. Lagipula, setiap TA, baik skripsi,tesis atau disertasi, di Indonesia, hanya akan berakhir pada meja sidang. Jadi ya sama aja, ujung-ujungnya IPK 3,00 hahaha.

Weiss, kuteks saya udah kering nih. Saya mau lanjut kutekan dulu ah. Yang kanan belom soalnya. Haha. Kapan lagi bisa kutekan kayak gini, walaupun saya gak bisa mungkir lusa ada UAS matematika kombinatorik -__-

1/06/2014

Lintasan Turunan







Media Pembelajaran Matematika SMA
Materi: Turunan/Diferensial

Semester ini lumayan dibuat sibuk dengan tugas mata kuliah Media Pembelajaran Matematika. Kelompok saya kebagian membuat media untuk materi Diferensial di SMA. Seperti yang saya bahas sebelumnya bahwa tidak semua sub bab dalam Matematika dapat dibuat alat peraganya, termasuk materi Diferensial ini. Untuk itu, saya dan dua teman saya bersepakat membuat alat peraga berupa simulasi.

            Diferensial atau turunan berkaitan erat dengan persoalan laju perubahan. Kecepatan misalnya, adalah laju perubahan jarak terhadap waktu. Hal lainnya yang merupakan manifestasi dari dasar pemikiran yang sama adalah laju pertumbuhan organisme dalam Biologi, keuntungan marginal dalam Ekonomi, kepadatan kawat dalam Fisika, dan laju pemisahan dalam Kimia. Laju perubahan sesaat nilai fungsi f terhadap x pada x = konstanta (c) disebut turunan fungsi f pada x = c yang dituliskan sebagai fungsi lain, misal f aksen. Secara matematis dapat ditulis:




asalkan limit ini ada dan tidak sama dengan tak hingga atau negatif tak hingga.

Indikator pembelajaran pada bab ini di SMA salah satunya adalah siswa dapat menjelaskan arti fisis turunan sebagai laju perubahan dan arti geometris turunan di satu titik. Nah, pengantar yang paling kontekstual adalah dengan perhitungan kecepatan sesaat melalui limit delta (t) menuju nol dari kecepatan rata-rata. Untuk itu, pembuatan alat peraga simulasi sesuai pada sub bab ini.

Nama Alat Peraga: Lintur (Lintasan Turunan)
Bahan: Kayu, tripleks, alumunium H, akrilik, kuningan, nilon, laher, stopwatch, saklar, kabel, spons, meteran jahit, cat kayu, lem

Cara Penggunaan:
  • Letakkan penyangga lintasan agar membentuk suatu bidang miring dengan ketinggian tertentu
  • Letakkan mobil pada rel yang telah disediakan di garis start
  • Biarkan mobil melaju hingga roda menginjak masing-masing saklar yang ada di pinggir rel  
  • Buat tabel jarak (s) dan waktu (t) dengan data yang didapatkan dari stopwatch
  •  Tunjukkan bahwa kecepatan sesaat merupakan limit delta t menuju nol dari kec. rata-rata. Artinya kec. sesaat adalah laju perubahan nilai fungsi f terhadap t pada saat t tertentu, misal pada saat t = c
  •  Kaitkan dengan konsep turunan yang merupakan laju perubahan sesaat nilai fungsi f terhadap x pada saat x = c     
Nb: Diskusikan hal ini dengan orang fisika, khawatir ada miskonsepsi dalam penyampaian materi


Cara Pembuatan:

Lintasan
  • Siapkan dan potong kayu sebagai lintasan dan pembatas lintasan
  • Potong Alumunium H sesuai panjang lintasan sebanyak dua buah, kemudian pasangkan sebagai rel di tengah lintasan menggunakan baut
  • Buat lubang sebagai tempat saklar pada kanan-kiri rel menggunakan pahat, sedemikian sehingga lubang saklar untuk menyalakan satu stopwatch bersebrangan dan segaris dengan lubang saklar untuk mematikan stopwatch lainnya
  • Amplas lintasan yang sudah jadi, didempul, amplas lagi, kemudian dicat
  • Pasang saklar yang sudah disambungkan pada lima stopwatch ke dalam lubang yang tersedia 
  • Rekatkan saklar dengan lem agar permanen, pastikan letaknya tepat sebelum dilem
  • Rapikan kabel-kabel yang menghubungkan stopwatch dengan saklar pada lintasan
  • Pasang meteran pada salah satu sisi lintasan 
  • Pasang spons di ujung lintasan sebagai bantalan mobil  










Penyangga
  • Potong triplek 
  •  Rekatkan masing-masing triplek hingga membentuk penyangga seperti pada gambar
  • Amplas, dempul, dan cat penyangga








Mobil
  • Buat balok tanpa tutup yang terbuat dari akrilik
  • Lubangi akrilik sebagai tempat memasukkan kuningan dan ban 
  • Potong nilon yang akan digunakan sebagai ban
  • Lubangi ban sebagai tempat laher dan bubut ban seukuran rel
  • Pasangkan ban pada kuningan
  • Pasang pemberat pada mobil (misal permen, hehe)
  • Tutup mobil dengan akrilik, sehingga bentuknya menjadi balok utuh, bukan tanpa tutup lagi.



  




Merakit Stopwatch
  • Buka kap stopwatch dan lepaskan tombol on/off nya
  • Di dalamnya ada panel berikut




  • Solder dan tempelkan 2 kabel dengan warna berbeda
 



  • Ambil 2 buah saklar. Perhatikan, pada saklar ada bagian berlabel Com, NO, dan NC

  • Dengan solder, hubungkan kabel hitam pada saklar 1 berlabel Com, kabel merah pada label NO
  • Ambil saklar 2 dan kabel hitam yang baru. Hubungkan kedua ujungnya masing-masing pada saklar 1 dan 2 berlabel NC 
  • Ambil kabel merah yang baru, hubungkan salah satu ujungnya pada saklar 2 berlabel NO, dan ujung lainnya pada kabel merah di saklar 1. 
  • Masing-masing rangkaiannya seperti tampak pada gambar berikut:

saklar 1

saklar 2

kabel merah pada saklar 1 dihubungkan dengang kabel merah pada saklar 2

sambungan kabel merah pada kedua saklar



Keterangan:
Pemasangan saklar ini bertujuan agar stopwatch memiliki 2 buah tombol ON/OFF. Karena pada alat simulasi Lintur ini terdapat 5 stopwath, maka ada 10 saklar yang dirangkai dengan rangkaian yang sama pada masing-masing stopwatch. Teknisnya, ketika mobil melaju, pada kedudukan tertentu roda mobil sebelah kanan akan menginjak saklar ON untuk stopwatch 1 sehingga perhitungan di mulai. Pada kedudukan selanjutnya, roda kanan mobil akan menginjak saklar OFF untuk stopwath 1 dan pada sat bersamaan, roda kirinya akan menginjak saklar ON untuk stopwatch 2, sehingga perhitungan pada stopwatch 1 berhenti, sedangkan perhitungan pada stopwatch 2 dimulai. Dan begitulah seterusnya sampai stopwath terakhir.

            Jarak antar saklar dibuat sama sedemikian sehingga masing-masing stopwatch mencatat waktu yang diperlukan mobil ketika menempuh jarak yang sama. Waktu tercatat pada stopwatch akan semakin singkat sehingga kita dapat mengklaim benar bahwa mobil mengalami percepatan. (Jangan lupa diskusikan lagi dengan orang fisika, hehe)

Demikian, semoga bermanfaat.
 
 
 


    




·
·        

·