4/08/2015

Capruk, yeah~

Setelah beberapa hari berkutat dengan bahan ajar, instrumen dan hal lainnya di folder tetek bengek skripsi, akhirnya saya bisa juga melipir ke sini. Mengajar di 4 kelas berbeda dengan 3 model pembelajaran dan bahan ajar yang berbeda sukses membuat hati dan pikiran saya sibuk, sangat sibuk. Hilang fokus sedikit, berantakan semuanya. Saya mengajar seperti mesin hingga saya lupa esensi mengajar sendiri itu apa. 
Malam ini, setelah entah kapan terakhir kali si babeh menghubungi saya via telepon, ada panggilan masuk dari nomor ponselnya. Obrolan singkat, padat, tapi sarat makna pun berlangsung selama sekitar 7 menit. Dan sekali lagi, laki-laki terhebat di dunia itu membuat saya kagum dengan isi kepalanya.

“Kamu ngajar 9 jam, ngomong terus dong?”
“Iya, berdiri terus lagi”
“Kok gitu sih? Emang gak pegel?”
“Pegel lah, tapi kalau ngerjain soal sendiri mereka gak pada bisa”
“Ya makanya jangan bikin soal yang susah-susah, jadi mereka bisa ngerjain sendiri”

Dan saya pun tertawa. Saya gak kepikiran loh. Hahaha. Lain kali, harus saya coba. Tapi saya lupa bilang kalau siswa-siswa itu memang dituntut bisa mengerjakan soal-soal setingkat soal-soal latihan yang saya sajikan. Soal-soal UAS mereka nanti, kurang lebih akan seperti itu. Babeh pun melanjutkan pembicaraan.

“Otak anak kan beda-beda, ada pentium 1, 2, 3... Jadi ya gak bisa disamakan”

Bawa-bawa pentium pula, hahaha. Di situ mungkin maksud si babeh adalah kemampuan anak yang beragam. Lebih tepat lagi, setiap anak kompeten di bidang yang berbeda, tidak semua kompeten di matematika. Jadi, seharusnya soal-soal disesuaikan dengan kompetensi anak. Tapi di sini saya lupa bilang, bahwa kompetensi siswa di Indonesia masih diukur dengan tes-tes tertulis yang bersifat kognitif, apalagi dalam bidang Matematika. Tes-tes itu belum bisa dipakai untuk mengukur keterampilan siswa atau hal lainnya yang bersifat non-kognitif. Dengan kata lain, kalau ia masih sekolah di Indonesia, sudah sepatutnya berusaha keras mengerjakan soal-soal latihan (yang sebenarnya tipe soalnya itu-itu saja). Baik siswa yang (kalau istilah si babeh) pentium 1, 2, maupun 3. Beda lagi kalau sudah jadi mahasiswa yang sudah masuk penjurusan. Hanya beberapa jurusan saja yang mempelajari matematika secara mendalam, melebar, dan meluas, #eaaa. Misalnya mahasiswa Seni Tari, cukup mempelajari matematika sampai matematika dasar saja di semester awal. Tingkat kesulitannya pun disesuaikan, tentunya tidak sama dengan soal-soal matematika dasar untuk mahasiswa jurusan matematika.

Ya itulah keadaan pendidikan kita. Kalau mau membuat sistem sendiri, minimalnya saya harus punya sekolah sendiri. Sekolah yang tidak perlu mengatrol nilai peserta didiknya demi akreditasi, atau demi nama baik instansi maupun daerah. Sekolah sendiri yang punya standar sendiri seperti sekolah yang dibuat Rancho di film 3 Idiots. Hahaha.. Maybe sometimes.. Saya juga ingin sekali keluar dari segala macam sistem yang membelit sana-sini. Tapi nyatanya, ketika kita keluar dari suatu sistem, kita hanya akan masuk ke sistem lainnya. Maybe just maybe :)

No comments:

Post a Comment

komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)