Ada orang yang menangis ketika mendengarkan lagu-lagu sendu. Ada orang yang menangis ketika menonton drama, membaca kisah-kisah romantis, atau menulis puisi cinta. Mungkin sebagian orang ada juga yang menangis setiap kali menerima sepucuk surat. Pasti ada. Aku salah satunya.
Sewaktu kecil aku tidak tinggal bersama orangtua. Orangtuaku bekerja di luar kota sedangkan aku dititipkan kepada sanak keluarga. Aku selalu menangis ketika akan berpisah dengan mereka, padahal aku dijemput setiap akhir pekan. Sampai-sampai, dulu, mamaku tidak berani menampakkan batang hidungnya di hadapanku jika hari itu bukanlah hari Sabtu. Ia tahu aku akan menangis ketika ia pergi. Belakangan baru kutahu bahwa ia sering datang mengunjungiku di rumah nenek. Entah kemana aku saat itu. Yang kutahu, ada saja surat yang nantinya dibacakan tanteku, surat untukku dari mama.
Surat sederhana, pendek dan tidak bertele-tele. Isinya, aku lupa, paling-paling seputar kabar dan nasihat kecil. Yang jelas, setiap kali surat itu dibacakan aku selalu menitikkan air mata. Iya, menitikkan saja, tidak menjerit atau meronta seperti anak kelas 3 SD pada umumnya. Lalu tante akan langsung memelukku dan berkata: Aku ini mamamu juga. Ya mungkin itu alasannya sejak kecil aku sudah memanggilnya mama. Dan kupikir, itu terakhir kalinya aku menangis ketika membaca atau lebih tepatnya dibacakan surat.
Suatu hari aku menemukan sepucuk surat tanpa alamat. Aku berusaha keras untuk tidak mengambilnya apalagi membacanya. Tapi, aku penasaran juga. Kubuka dan kubaca. Jantungku berdegup tak beraturan ketika mencerap isinya, seakan surat itu benar ditujukan untukku. Mungkin pengirimnya lupa bahwa aku mempunyai nama. Mungkin ia lupa bahwa aku manusia lengkap dengan segala sifat kemanusiaannya. Tak lama, aku menitikkan air mata. Setelah puas berulang kali membaca, aku kembalikan surat itu ke tempatnya. Malam terlalu larut, aku terlalu kantuk.
Keesokkan harinya, seperti mimpi, aku tak dapat menemukan surat itu di tempatnya. Suratnya mana? Kok hilang? Apa pengirimnya marah karena aku membacanya begitu saja? Aku mulai merasa bersalah juga sedikit menyesal. Harusnya aku tidak membacanya. Itu bukan untukku. Atau harusnya aku tidak mengembalikannya. Itu memang buatku. Harusnya aku tidak minum obat batuk agar tak terkena efek sampingnya: kantuk. Jadi saja aku bermimpi yang tidak-tidak.
No comments:
Post a Comment
komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)