Kalau kalian membaca postingan saya sebelumnya
tentang manusia yang bergolong-golong berdasarkan kartu undangan yang
diperoleh, maka dengan sangat percaya diri dan percaya Tuhan YME saya mengklaim
bahwa saya termasuk golongan kedua. Hehe.. Menjadi yang tengah memang posisi
aman, netral, terhindar dari “paling” atau “ter”... Walaupun pada uji angket,
jawaban netral tidak akan dimunculkan karena tidak akan berpengaruh pada
hitugan statistik (netral bernilai nol).
Menjadi golongan dua memang lebih rendah risikonya
dibandingkan golongan pertama, tapi bukan berarti tanpa risiko. (Entah kenapa
saya menyebut hal-hal begini sebagai risiko). Apa saja risikonya?
Pertama, outfit. Kondangan bagi saya, adalah
kegiatan sosial yang harus dihormati (dan diagungkan?). Pergi kondangan tidak
bisa asal saja, apalagi kalau kalian sudah bekerja di salah satu instansi yang
orang banyak kenal. Ya, nama instansi dipertaruhkan oleh penampakan kita saat
pergi kondangan. Penampakan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tidak mungkin
lagi kondangan pakai celana jeans (yg belel), atau pakai sepatu anti air merk
buaya (a.k.a Crocs). Perempuan pakai kebaya (atau minimalnya kain/rok) dan
laki-laki? Owshit. Mode outfit laki-laki sekarang banyak yang santai tapi tetap
kasual. Pakai kemeja dan celana pendek juga jadi. Oleh karena itu, saya, yang
diintimidasi oleh mama saya, selalu menjahit baju setiap dapat undangan
pernikahan. Karena, bagi saya, yang diaamiini oleh mama saya dengan terpaksa,
memakai baju yang sama pada acara kondangan yang berdekatan itu adalah dosa.
Dosa besar! Wkwkwk. Biasanya saya diskriminatif. Kalau acara kondangannya di
rumah dan diselenggarakan sederhana, saya masih bisa datang dengan bercelana
ria (Horeee) dengan makeup tipis-tipis. Tapi kalau di gedung dan mewah, saya
pakai kain atau kebaya dengan makeup tipis-tipis (Tetep).
Nah, outfit kebaya atau kain yang gak simple
inilah yang melahirkan risiko berikutnya yaitu kendaraan. Kalian tentu bisa
membayangkan apa jadinya kalau saya mengendarai si Jupri dengan pakaian kebaya?
Paling-paling roknya sobek, atau minimal saya gulung sampai paha. Tentu saja
gak mungkin. Paha saya terlalu jelek buat dipamerin. Oleh karena itu, saya
harus memesan taxi online atau nebeng ke teman yang bawa mobil, hehe. Bolak-balik,
pulang-pergi.
Dua hal tadi akan dipandang sebagian orang
berlebihan untuk sebuah ritual kondangan saja. Awalnya saya peduli, dan
uring-uringan kepikiran seharian. Tapi akhirnya saya sadar (setelah disadarkan
oleh teman, sebut saja Rizky) bahwa hal tersebut menjadi wajar-wajar saja asal sesuai
kemampuan, utamanya budgeting. Lagipula, dibutuhkan pengorbanan untuk memberi
penghormatan kepada orang lain. Eaaaa Hahahhaha. Menurut hemat saya, zaman
sekarang, suksesnya acara pernikahan dilihat dari berapa banyak akun instagram
yang mempost foto-foto di acara tersebut. Terus, lucu aja kalau postingan saya
di instagram nanti pakai baju yang itu-itu aja. Hahaha.. Tentu ga masalah kalau
postingannya berjauhan. Kebetulan, undangan pernikahan di bulan november sampai
detik ini saja sudah ada 6. Kebayangkan tanggalnya deketan kaya apa?
Dan sila bayangkan orang-orang golongan pertama?
Wkwkwk.. saya tidak pernah melihat teman-teman (perempuan) saya yang ada di
golongan pertama mempost foto-foto mereka di setiap undangan pernikahan dengan
baju yang sama. Padahal, jadwal kondangan mereka jauh lebih padat dari golongan
lainnya.
No comments:
Post a Comment
komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)