8/17/2016

Goes To Jogja (Part 1) - Sebuah catatan perjalanan yang capruk dan lumayan panjang

13/06/2016

“Jokja, yuk”
“Yuk, Oktober”
“Yee, mau ke Art Jog, cuma ada sampe tgl 20 ”
“Gak rame ah, sponsornya freeport. eh”
“Ya terus?”
“Meni dadakan. Lagian memang tiketnya masih ada?”

.........................................................................

Berawal dari percakapan via watsapdude bersama salah satu teman itulah, saya nekat cari tiket ke alfamart terdekat. Awalnya cuma mau membuktikan pada si dia bahwa pasti masih ada tiket (murah) buat satu penumpang saja. Alhasil, memang benar ada dan tanpa pikir panjang saya pun langsung memesannya untuk keberangkatan ke Jogja esok lusa. Tak lupa saya memfoto struk pemesanan tiket tersebut lalu dikirim via watsapdude ke teman saya itu, agar ia iri, dengki, dongkol, kesal, dan sebagainya. Ya, ia tidak akan bisa pergi dadakan begitu karena kesibukannya sebagai seorang pemburu berita yang bekerja selama 8 hari seminggu, 25 jam sehari, hahaha.

Pergi ke Jogja sebenarnya sudah menjadi rencana saya sejak kapan taooon, entahlah, hahaha. Tapi keinginan itu timbul-tenggelam di benak saya. Antara mau ngapain, sama siapa, kapan, dan serombongan pertanyaan retoris lainnya yang berpangkal pada satu kata: ragu. Event Art Jog salah satu motivasi terbesar saya untuk pergi ke Jogja bulan lalu. Yaa, setidaknya saya bisa menjawab pertanyaan: mau ngapain di Jogja.

Saya ke Jogja menumpang kereta api Progo keberangkatan pukul 1 pagi di suatu hari di bulan ramadhan. Sampai di Stasiun Lempuyangan – tempat pemberhentian kereta api ekonomi – pukul 7 pagi. Sampai di sana, saya dijemput oleh seorang teman semasa SMA yang kebetulan kuliah dan bekerja di Jogja. Lalu saya diantarnya ke tempat teman perempuan saya bernama Heni. Heni dan saya satu tempat kerja di salah satu sekolah di Cirebon. Heni dulu berkuliah di Jogja dan kebetulan sedang berlibur di sana sekaligus menghadiri undangan buka bersama teman-teman kampusnya dulu. Saya? Saya aji mumpung saja, hehe. Kebetulan mau main ke Art Jog, kebetulan ada Heni lagi liburan, jadi tidak perlu cari penginapan dan bingung mau pergi ke Art Jog dengan siapa.

Jumat pagi, sesampainya di tempat kost temannya Heni (Iya, Heni juga nebeng di teman kostnya saat kuliah dulu, hehe), saya langsung tidur karena semalaman tidak bisa tidur di kereta. Lampunya gak dimatiin, jadi gak bisa tidur :(( Jam 10 pagi saya mandi dan bersiap memulai kegiatan berlibur. Yeaaay. Destinasi pertama saya adalah tempat pengrajin perak: Kota Gede. Jadi ceritanya, Mamake, yang tahu bahwa anaknya akan berlibur ke Jogja, nitip oleh-oleh. Apa itu? Sebuah cincin. Ya. Cincin perak. Ada-ada pula si Mamake ini, pikir saya. Biasa orang minta dibelikan bakpia, wingko, yangko, dan kudapan-kudapan khas Jogja lainnya. Nah ini? Ah sudahlah. Daripada saya dikutuk jadi batu, kan? Anak manis mah nurut saja. Heni, yang sudah saya anggap sebagai sahabat bagai kecebong itu, tentu mau gak mau harus mau mengantar saya ke pusat kerajinan perak itu, yakni Kota Gede.

Sebelum ke Kota Gede, Heni mengajak saya ke Mirota Kampus. Mahasiswa Jogja pasti pada hafal banget tempat itu. Bagi yang belum tahu, Mirota kampus itu semacam toko serba ada di mana harga barang yang dijual di sana benar-benar miring, (katanya) bisa selisih 2-3ribu rupiah dengan yang dijual di tempat lain. Ya, buat anak kampus yang rata-rata seorang perantau (dan kere) cocok banget lah ya berbelanja di Mirota Kampus ini. Saya dan Heni membeli beberapa barang yang kami perlukan untuk di Jogja. Kami juga membeli lipstick yang sama loh. Unyu gak sih? Hahaha... Dan lipstick mate yang kekinian itu juga yang membuat bibir saya kering, pecah-pecah dan agak kehitaman. Beuh.. Aku pake lipstick arab aja.
Seusai berbelanja di Mirota kampus, kami pun langsung pergi menuju Kota Gede, menunggangi Mio J putih yang kami sewa seharga 40 ribu per hari itu.

Setelah nyasar-nyasar di beberapa persimpangan (karena ternyata Heni belum pernah kesana), kami pun sampai ke Kota Gede dan langsung melakukan pencarian: cincin seperti apa yang kira-kira cocok buat Mamake. Sebalnya, setiap masuk toko dan bilang lagi cari cincin, pasti si pelayannya nanya “cincin couple ya, mba?” Itu berasa sambaran petir dan kilat kecil buat kami berdua yang officially jomblo. Kan sebal. “Gak jadi, Mbak”. Kemudian kami pun pergi sebelum merasa lebih terhina lagi, wkwk.. Setelah mendapatkan cincin yang ‘sreg’, saya dan Heni pun kembali ke kost untuk siap-siap pergi lagi mencari tempat asik berbuka puasa nanti.

Pukul 16.30 kami sudah berangkat. Destinasi selanjutnya adalah Minke, sebuah kedai kecil yang menjual aneka kudapan khas Korea. Namanya mengingatkan saya pada tokoh utama dalam novel tetralogi Bumi Manusia karya Pram. Tapi saya ragu, kalau Minke yang itu sama artinya dengan Minke yang dipakai sebagai nama kedai ini. Pasti bukan Minke si Monyet. Sampai di sana, Heni langsung memesan desert yang sudah diidam-idamkannya sejak sebelum pergi ke Jogja: Patbingsoo. Menu ini dikenal sebagai es serut kacang merah. Di kedai Minke, Patbingsoo dikreasikan lagi dengan ditambahkan kuah susu, sereal jagung, potongan strawberry dan marshmellow, juga es krim vanilla. Mmmm.... Nah. Udah.. Gak usah jadi ngiler gitu ah. Buat yang mau nyicip, kalau main ke Jogja bisa mampir ke Minke di Jl Gambir 142 A Deresan, Caturtunggal Depok Sleman, Jogja (area kampus UGM dan UNY).


Ini penampakan Patbingsoo yang saya caplok tanpa izin dari salah satu website. Berhubung saya dan Heni tidak terbiasa memfoto makanan sebelum dimakan, maka kami tidak punya fotonya, hehe.




penampakan kami di Minke

"All you need is love and dessert"

Setelah mengobati dahaga dan sedikit menunda lapar di Minke, saya dan Heni pergi ke tempat lain buat cari makan yang sebenar-benarnya makan, hehe. Kami pun mampir ke salah satu warung soto lamongan yang lokasinya masih di sekitar area kampus UGM.

Jogja saat itu sedang gloomy. Dikit-dikit mendung, dikit-dikit gerimis. Saya dan Heni yang berencana pergi ke Art Jog setelah berbuka puasa, harus menunda kepergian kami selama 2 jam karena hujan yang mengguyur Jogja. Syukurlah, pukul 8 malam hujan pun reda. Saya dan Heni akhirnya berangkat ke Art Jog, sebuah pameran seni tahunan di Jogja, sebuah motivasi terbesar saya untuk pergi ke Jogja. Art Jog yang kali ini digelar di Museum Nasional Jogja itu menuai kontroversi dari berbagai pihak. Netizen cukup ramai mencuit tentang Freeport yang merupakan sponsor terbesar acara ini. Bahkan, ada juga kelompok masyarakat yang mengancam akan menutup paksa acara ini. Media berlomba-lomba mengadu opini. Teman wartawan saya juga sok-sok-an gak mau ke Art Jog dengan melemparkan alasan yang sama: disponsori Freeport. Tapi untunglah, sesampainya di lokasi Art Jog, saya tidak mencium aroma-aroma kontroversial seperti yang menguar di media sosial. Suasananya romantis dan ‘nyeni’ abis.



salah satu karya seni berupa lukisan di kanvas yang ditempel di dinding tanpa diberi bingkai

Tiket masuk Art Jog dibandrol seharga Rp 25.000 untuk pelajar/mahasiswa dan Rp 50.000 untuk umum. Pengunjung tidak diperbolehkan memfoto dengan flash, dilarang membawa benda tajam, minumam beralkohol, serta tidak boleh menyentuh apapun yang ada di sana, kecuali lantai tentu saja. Di setiap area karya seni, kita bisa menemukan beberapa panitia yang stand by, berjaga-jaga apabila ada pengunjung yang tidak tertib aturan. Saya pun sempat ditegur karena berfoto sambil menggendong ransel kecil di punggung. “Mbak, tasnya bisa di kedepankan?” katanya. Mungkin khawatir menyentuh karya seni di belakang saya. Saat itu saya mulai menyadari bahwa saya sedang berada di pameran karya seni yang seharusnya dinikmati, dicerap maknanya, dipelajari, dan diambil intisari. Bukan di tempat wisata yang bisa seenaknya selfie-selfie.

Pengalaman pergi ke Art Jog betul-betul memuaskan hasrat saya datang ke Jogja. Saya yang sejak dulu ingin sekali datang ke pameran karya seni akhirnya kesampaian juga. Di Art Jog, ada puluhan karya seni yang dipamerkan berupa lukisan, foto, patung, video, art performance, dan sebuah instalasi. Ada yang setidaknya pura-pura saya pahami, ada juga yang sama sekali tidak tertangkap oleh nalar saya. Tapi entah kenapa saya dan Heni tetap berdecak kagum. Berbeda sekali dengan beberapa pengunjung lain (yang saya terka adalah rombongan mahasiswa jurusan seni), yang kerap berdiskusi, mengomentari karya-karya yang dilihatnya. Karya seni yang dipamerkan berada di 3 lantai ruangan museum.


Lukisan yang menggambarkan betapa media sosial membuat saru antara fakta dan bukan fakta. Atau justru kini media sosial lah yang mendefinisikan apa itu fakta (?)


tentang perpekstif

masih ingat dengan tiga alat konvensional ini?

lukisan kekinian. mereka diadu, kita bersorak.

KAMPRET

ini keren banget. lukisan 4d ?

The most beautiful brain i ever seen. *Abaikan mata ngantuk.

Sandal jepit siapa? Punya Pak Polisi, kah? Digembok. Takut hilang (lagi) #eh

Ini apa ya? Entahlah. Suka aja.

"Bagaimana seseorang akan melawan pandangannya terhadap sesuatu? Bagaimana pun segelas air putih akan ternoda meski hanya terkena setetes kopi" - Lalu orang suci adalah omong kosong (?)

Aidit juga suka difoto. Yeay

Marlin Monroe (?)

hidup feodalism!

Cukup lama saya dan Heni berada di dalam karena tidak ingin melewatkan satu karya pun. Kira-kira pukul 11 malam kami baru keluar menuju parkiran. Malam di Jogja pun masih panjang. 



pintu keluar ArtJog

Selepas menunaikan asa ke Art Jog, Heni mengajak saya ‘nongkrong’ di nol kilometer. Sebuah kawasan yang mengingatkan saya pada kawasan alun-alun Bandung. Suasananya bisa ditebak, ramai tapi khidmat. Orang-orang saling berkelompok melakukan kesibukkannya masing-masing. Mengobrol, merokok, berjualan, berfoto, skateboarding, dan duduk-duduk. Semuanya terlihat tenang dalam suasana jalanan seramai itu. Malam semakin pekat, obrolan pun terlihat semakin seru. Saya dan Heni mencari tempat yang agak sepi karena saya kurang nyaman dengan banyak pasang mata di sekitar saya. Selain itu, kami juga jadi lebih khusyuk mengobrol sambil menikmati es krim yang kami beli. Lewat tengah malam, kami memutuskan untuk pulang ke kost.

Rupanya masih ada list to do sebelum saya tidur di malam pertama di Jogja ini. Beberapa teman semasa SMA yang tinggal di Jogja mengajak saya untuk makan malam (yang nyaris pagi). Saya pun dijemput dari kost menuju warung Burjo. Nah, ini nih warung yang kalau versi mojok dot co dibilang merupakan salah satu tanda-tanda kiamat. Jelas saja. Dari namanya, saya pikir si pedagang menjual bubur kacang hijau (yang biasa disingkat burjo). Atau minimalnya, berjualan berbagai kudapan yang di menunya tetap tercantum bubur kacang hijau. Tapi nyatanya, burjo ini lebih mirip dengan warteg portable di pinggir jalan yang mulai buka di malam hari. Ajaibnya, warung burjo menjual nasi plus lauk pauk, tanpa bubur kacang hijau. Kiamat sudah dekat, hahaha. Di burjo, saya gak makan, cuma nontonin 3 cowok jomblo (teman-teman saya itu) pada makan dengan lahapnya. Kami pun bercakap-cakap ringan, dari mulai tanya kabar, kesibukkan, sampai yang berat-berat: masa depan. Hahaha.. Percakapan kami diakhiri dengan janji main bersama besok sore. Lalu saya pun diantar pulang.
  
 ....

No comments:

Post a Comment

komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)