13/06/2016
“Jokja, yuk”
“Yuk, Oktober”
“Yee, mau ke Art
Jog, cuma ada sampe tgl 20 ”
“Gak rame ah, sponsornya
freeport. eh”
“Ya terus?”
“Meni dadakan.
Lagian memang tiketnya masih ada?”
.........................................................................
Berawal dari
percakapan via watsapdude bersama salah satu teman itulah, saya nekat cari
tiket ke alfamart terdekat. Awalnya cuma mau membuktikan pada si dia bahwa
pasti masih ada tiket (murah) buat satu penumpang saja. Alhasil, memang benar
ada dan tanpa pikir panjang saya pun langsung memesannya untuk keberangkatan ke
Jogja esok lusa. Tak lupa saya memfoto struk pemesanan tiket tersebut lalu dikirim
via watsapdude ke teman saya itu, agar ia iri, dengki, dongkol, kesal, dan
sebagainya. Ya, ia tidak akan bisa pergi dadakan begitu karena kesibukannya sebagai
seorang pemburu berita yang bekerja selama 8 hari seminggu, 25 jam sehari,
hahaha.
Pergi ke Jogja
sebenarnya sudah menjadi rencana saya sejak kapan taooon, entahlah, hahaha.
Tapi keinginan itu timbul-tenggelam di benak saya. Antara mau ngapain, sama siapa,
kapan, dan serombongan pertanyaan retoris lainnya yang berpangkal pada satu kata:
ragu. Event Art Jog salah satu motivasi terbesar saya untuk pergi ke Jogja
bulan lalu. Yaa, setidaknya saya bisa menjawab pertanyaan: mau ngapain di Jogja.
Saya ke Jogja
menumpang kereta api Progo keberangkatan pukul 1 pagi di suatu hari di bulan
ramadhan. Sampai di Stasiun Lempuyangan – tempat pemberhentian kereta api
ekonomi – pukul 7 pagi. Sampai di sana, saya dijemput oleh seorang teman semasa
SMA yang kebetulan kuliah dan bekerja di Jogja. Lalu saya diantarnya ke tempat
teman perempuan saya bernama Heni. Heni dan saya satu tempat kerja di salah
satu sekolah di Cirebon. Heni dulu berkuliah di Jogja dan kebetulan sedang
berlibur di sana sekaligus menghadiri undangan buka bersama teman-teman
kampusnya dulu. Saya? Saya aji mumpung saja, hehe. Kebetulan mau main ke Art
Jog, kebetulan ada Heni lagi liburan, jadi tidak perlu cari penginapan dan
bingung mau pergi ke Art Jog dengan siapa.
Jumat pagi,
sesampainya di tempat kost temannya Heni (Iya, Heni juga nebeng di teman
kostnya saat kuliah dulu, hehe), saya langsung tidur karena semalaman tidak
bisa tidur di kereta. Lampunya gak dimatiin, jadi gak bisa tidur :(( Jam 10
pagi saya mandi dan bersiap memulai kegiatan berlibur. Yeaaay. Destinasi
pertama saya adalah tempat pengrajin perak: Kota Gede. Jadi ceritanya, Mamake,
yang tahu bahwa anaknya akan berlibur ke Jogja, nitip oleh-oleh. Apa itu?
Sebuah cincin. Ya. Cincin perak. Ada-ada pula si Mamake ini, pikir saya. Biasa
orang minta dibelikan bakpia, wingko, yangko, dan kudapan-kudapan khas Jogja
lainnya. Nah ini? Ah sudahlah. Daripada saya dikutuk jadi batu, kan? Anak manis
mah nurut saja. Heni, yang sudah saya anggap sebagai sahabat bagai kecebong
itu, tentu mau gak mau harus mau mengantar saya ke pusat kerajinan perak itu,
yakni Kota Gede.
Sebelum ke Kota
Gede, Heni mengajak saya ke Mirota Kampus. Mahasiswa Jogja pasti pada hafal
banget tempat itu. Bagi yang belum tahu, Mirota kampus itu semacam toko serba
ada di mana harga barang yang dijual di sana benar-benar miring, (katanya) bisa
selisih 2-3ribu rupiah dengan yang dijual di tempat lain. Ya, buat anak kampus
yang rata-rata seorang perantau (dan kere) cocok banget lah ya berbelanja di
Mirota Kampus ini. Saya dan Heni membeli beberapa barang yang kami perlukan
untuk di Jogja. Kami juga membeli lipstick yang sama loh. Unyu gak sih?
Hahaha... Dan lipstick mate yang kekinian itu juga yang membuat bibir saya
kering, pecah-pecah dan agak kehitaman. Beuh.. Aku pake lipstick arab aja.
Seusai berbelanja
di Mirota kampus, kami pun langsung pergi menuju Kota Gede, menunggangi Mio J
putih yang kami sewa seharga 40 ribu per hari itu.
Setelah
nyasar-nyasar di beberapa persimpangan (karena ternyata Heni belum pernah
kesana), kami pun sampai ke Kota Gede dan langsung melakukan pencarian: cincin
seperti apa yang kira-kira cocok buat Mamake. Sebalnya, setiap masuk toko dan
bilang lagi cari cincin, pasti si pelayannya nanya “cincin couple ya, mba?” Itu
berasa sambaran petir dan kilat kecil buat kami berdua yang officially jomblo.
Kan sebal. “Gak jadi, Mbak”. Kemudian kami pun pergi sebelum merasa lebih
terhina lagi, wkwk.. Setelah mendapatkan cincin yang ‘sreg’, saya dan Heni pun
kembali ke kost untuk siap-siap pergi lagi mencari tempat asik berbuka puasa
nanti.
Pukul 16.30 kami
sudah berangkat. Destinasi selanjutnya adalah Minke, sebuah kedai kecil yang
menjual aneka kudapan khas Korea. Namanya mengingatkan saya pada tokoh utama dalam
novel tetralogi Bumi Manusia karya Pram. Tapi saya ragu, kalau Minke yang itu
sama artinya dengan Minke yang dipakai sebagai nama kedai ini. Pasti bukan
Minke si Monyet. Sampai di sana, Heni langsung memesan desert yang sudah
diidam-idamkannya sejak sebelum pergi ke Jogja: Patbingsoo. Menu ini dikenal
sebagai es serut kacang merah. Di kedai Minke, Patbingsoo dikreasikan lagi
dengan ditambahkan kuah susu, sereal jagung, potongan strawberry dan
marshmellow, juga es krim vanilla. Mmmm.... Nah. Udah.. Gak usah jadi ngiler
gitu ah. Buat yang mau nyicip, kalau main ke Jogja bisa mampir ke Minke di Jl
Gambir 142 A Deresan, Caturtunggal Depok Sleman, Jogja (area kampus UGM dan
UNY).
|
Ini penampakan Patbingsoo yang saya caplok tanpa izin dari salah satu website. Berhubung saya dan Heni tidak terbiasa memfoto makanan sebelum dimakan, maka kami tidak punya fotonya, hehe. |
|
penampakan kami di Minke |
|
"All you need is love and dessert" |
Setelah
mengobati dahaga dan sedikit menunda lapar di Minke, saya dan Heni pergi ke
tempat lain buat cari makan yang sebenar-benarnya makan, hehe. Kami pun mampir
ke salah satu warung soto lamongan yang lokasinya masih di sekitar area kampus
UGM.
Jogja saat itu
sedang gloomy. Dikit-dikit mendung, dikit-dikit gerimis. Saya dan Heni yang
berencana pergi ke Art Jog setelah berbuka puasa, harus menunda kepergian kami
selama 2 jam karena hujan yang mengguyur Jogja. Syukurlah, pukul 8 malam hujan
pun reda. Saya dan Heni akhirnya berangkat ke Art Jog, sebuah pameran seni
tahunan di Jogja, sebuah motivasi terbesar saya untuk pergi ke Jogja. Art Jog yang
kali ini digelar di Museum Nasional Jogja itu menuai kontroversi dari berbagai
pihak. Netizen cukup ramai mencuit tentang Freeport yang merupakan sponsor
terbesar acara ini. Bahkan, ada juga kelompok masyarakat yang mengancam akan
menutup paksa acara ini. Media berlomba-lomba mengadu opini. Teman wartawan
saya juga sok-sok-an gak mau ke Art Jog dengan melemparkan alasan yang sama:
disponsori Freeport. Tapi untunglah, sesampainya di lokasi Art Jog, saya tidak
mencium aroma-aroma kontroversial seperti yang menguar di media sosial.
Suasananya romantis dan ‘nyeni’ abis.
|
salah satu karya seni berupa lukisan di kanvas yang ditempel di dinding tanpa diberi bingkai |
Tiket masuk Art
Jog dibandrol seharga Rp 25.000 untuk pelajar/mahasiswa dan Rp 50.000 untuk
umum. Pengunjung tidak diperbolehkan memfoto dengan flash, dilarang membawa
benda tajam, minumam beralkohol, serta tidak boleh menyentuh apapun yang ada di
sana, kecuali lantai tentu saja. Di setiap area karya seni, kita bisa menemukan
beberapa panitia yang stand by, berjaga-jaga apabila ada pengunjung yang tidak
tertib aturan. Saya pun sempat ditegur karena berfoto sambil menggendong ransel
kecil di punggung. “Mbak, tasnya bisa di kedepankan?” katanya. Mungkin khawatir
menyentuh karya seni di belakang saya. Saat itu saya mulai menyadari bahwa saya
sedang berada di pameran karya seni yang seharusnya dinikmati, dicerap
maknanya, dipelajari, dan diambil intisari. Bukan di tempat wisata yang bisa
seenaknya selfie-selfie.
Pengalaman pergi
ke Art Jog betul-betul memuaskan hasrat saya datang ke Jogja. Saya yang sejak
dulu ingin sekali datang ke pameran karya seni akhirnya kesampaian juga. Di Art
Jog, ada puluhan karya seni yang dipamerkan berupa lukisan, foto, patung,
video, art performance, dan sebuah instalasi. Ada yang setidaknya pura-pura
saya pahami, ada juga yang sama sekali tidak tertangkap oleh nalar saya. Tapi
entah kenapa saya dan Heni tetap berdecak kagum. Berbeda sekali dengan beberapa
pengunjung lain (yang saya terka adalah rombongan mahasiswa jurusan seni), yang
kerap berdiskusi, mengomentari karya-karya yang dilihatnya. Karya seni yang
dipamerkan berada di 3 lantai ruangan museum.
|
Lukisan yang menggambarkan betapa media sosial membuat saru antara fakta dan bukan fakta. Atau justru kini media sosial lah yang mendefinisikan apa itu fakta (?) |
|
tentang perpekstif |
|
|
masih ingat dengan tiga alat konvensional ini? |
|
lukisan kekinian. mereka diadu, kita bersorak. |
|
KAMPRET |
|
ini keren banget. lukisan 4d ? |
|
The most beautiful brain i ever seen. *Abaikan mata ngantuk. |
|
Sandal jepit siapa? Punya Pak Polisi, kah? Digembok. Takut hilang (lagi) #eh |
|
Ini apa ya? Entahlah. Suka aja. |
|
"Bagaimana seseorang akan melawan pandangannya terhadap sesuatu? Bagaimana pun segelas air putih akan ternoda meski hanya terkena setetes kopi" - Lalu orang suci adalah omong kosong (?) |
|
Aidit juga suka difoto. Yeay |
|
Marlin Monroe (?) |
|
hidup feodalism! |
Cukup lama saya dan Heni berada
di dalam karena tidak ingin melewatkan satu karya pun. Kira-kira pukul 11 malam
kami baru keluar menuju parkiran. Malam di Jogja pun masih panjang.
|
pintu keluar ArtJog |
Selepas
menunaikan asa ke Art Jog, Heni mengajak saya ‘nongkrong’ di nol kilometer.
Sebuah kawasan yang mengingatkan saya pada kawasan alun-alun Bandung.
Suasananya bisa ditebak, ramai tapi khidmat. Orang-orang saling berkelompok
melakukan kesibukkannya masing-masing. Mengobrol, merokok, berjualan, berfoto,
skateboarding, dan duduk-duduk. Semuanya terlihat tenang dalam suasana jalanan
seramai itu. Malam semakin pekat, obrolan pun terlihat semakin seru. Saya dan
Heni mencari tempat yang agak sepi karena saya kurang nyaman dengan banyak
pasang mata di sekitar saya. Selain itu, kami juga jadi lebih khusyuk mengobrol
sambil menikmati es krim yang kami beli. Lewat tengah malam, kami memutuskan
untuk pulang ke kost.
Rupanya masih
ada list to do sebelum saya tidur di malam pertama di Jogja ini. Beberapa teman
semasa SMA yang tinggal di Jogja mengajak saya untuk makan malam (yang nyaris
pagi). Saya pun dijemput dari kost menuju warung Burjo. Nah, ini nih warung yang
kalau versi mojok dot co dibilang merupakan salah satu tanda-tanda kiamat.
Jelas saja. Dari namanya, saya pikir si pedagang menjual bubur kacang hijau
(yang biasa disingkat burjo). Atau minimalnya, berjualan berbagai kudapan yang
di menunya tetap tercantum bubur kacang hijau. Tapi nyatanya, burjo ini lebih
mirip dengan warteg portable di pinggir jalan yang mulai buka di malam hari.
Ajaibnya, warung burjo menjual nasi plus lauk pauk, tanpa bubur kacang hijau.
Kiamat sudah dekat, hahaha. Di burjo, saya gak makan, cuma nontonin 3 cowok
jomblo (teman-teman saya itu) pada makan dengan lahapnya. Kami pun
bercakap-cakap ringan, dari mulai tanya kabar, kesibukkan, sampai yang
berat-berat: masa depan. Hahaha.. Percakapan kami diakhiri dengan janji main
bersama besok sore. Lalu saya pun diantar pulang.
....
No comments:
Post a Comment
komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)