Hari ke dua di
Jogja, yang juga merupakan malam terakhir sebelum keesokan harinya saya dan
Heni kembali ke tanah air tercinta: Cirebon. Saatnya berburu oleh-oleh.
Destinasi pertama adalah salah satu toko oleh-oleh yang menjual bakpia Kurnia
Sari. Namanya memang gak sehits bakpia 25 yang cukup ternama di kalangan
wisatawan dari luar kota yang berlibur ke Jogja, tetapi bagi orang Jogja bakpia
Kurnia Sari memiliki daya tarik tersendiri, terutama dari varian rasanya,
seperti green tea dan moccachino. Saya pun membeli beberapa kotak sebagai
oleh-oleh. Tidak sampai di situ. Ke Jogja tanpa mampir ke Malioboro rasanya ada
yang kurang. Kayak ke Bandung tapi gak main ke Pasar Baru atau ke Kings hehe.
Shopping time...
|
di Mirota Batik banyak topeng lucu-lucu |
|
Ada topeng "ulah gandeng" juga |
Pulang dari
Malioboro, Jogja kembali diguyur hujan. Saya dan Heni pun berteduh di sebuah
masjid sekalian menunaikan shalat Dzuhur. Saya dan Heni mulai resah.
Masing-masing dari kami ada janji bertemu teman-teman. Heni yang berencana
menghadiri buka bersama teman-teman kampusnya, dan saya yang juga mau main sama
ganteng-ganteng jomblo yang semalam. Beruntung sekitar pukul 4 sore, hujan
mulai reda. Walaupun awan-awan hitam masih menutupi sebagian langit Jogja. Saya
dijemput teman-teman untuk pergi ke Candi Ijo. Ini benar-benar tanpa unsur
kesengajaan kalau saya lagi-lagi bicara soal ijo, setelah burjo. Saya memang
suka warna hijau, tapi pergi ke candi hijau ini bukan karena alasan itu. Ciyus.
Teman-teman saya itu berjanji mau mengajak saya kemana saja di Jogja, asal saya
gak minta ke tempat-tempat syuting AADC, katanya. Karena pantai sedang siaga,
ya saya minta saja ke daerah dataran tinggi. Rupanya, Candi Ijo yang berlokasi
di Bukit Ijo, Desa Sambirejo, Prambanan - Sleman ini merupakan candi yang
letaknya tertinggi di Jogja.
|
begini penampakan Candi Ijo yang gambarnya saya unduh tanpa izin juga. Sore itu cuaca sedang gak mendukung banget buat foto-foto :( |
Perjalanan ke
Candi Ijo memakan waktu sekitar setengah jam, bisa lebih. Setibanya di sana,
sudah hampir memasuki waktu berbuka puasa. Langit senja tidak terlihat karena
sedang mendung. Agak sedih sih karena gak bisa menikmati senja dari ketinggian,
dan jadi gak mood foto-foto karena hasilnya pasti gelap. Gak lama kemudian,
gerimis pun turun hingga dalam beberapa menit saja menjelma menjadi hujan
deras. Saya dan 3 orang teman saya itu langsung bernaung di satu-satunya
angkringan di sekitar lokasi candi. Para wisatawan lain memilih untuk berteduh
di lahan parkir yang tempatnya lebih luas. Adzan maghrib berkumandang, kami pun
langsung berbuka dengan... air putih. Sedih banget, air tehnya belum matang,
hahaha.
Sejujurnya, ini
kali pertama saya makan di angkringan. Biasanya, kalau main, saya lebih suka
cari tempat makan yang kursinya empuk, tempatnya nyaman buat ngobrol, atau
minimal viewnya bagus buat foto-foto. Di angkringan, banter-banter cuma duduk
di kursi kayu, bau kopi dan asap rokok di sekitarnya. Makanannya juga paling
nasi kucing yang porsinya secuil dengan lauk oreg tempe atau gorengan plus
sambal. Makanya ngapain saya ke angkringan kalau semasa kuliah di Bandung dulu,
banyak kafe hits yang bagus buat foto-foto? Hehehe.. Tapi malam itu, tepatnya
malam minggu itu, saya benar-benar harus duduk nyaman di angkringan.
Berdasarkan pantauan akun-akun info Jogja di medsos, Jogja diguyur hujan deras,
merata di semua wilayah. Ditambah lagi, wilayah sekitar Candi Ijo di mana saya
dan ketiga teman saya berada, padam listrik alias mati lampu. Fix lengkap sudah
malam minggu kami. Untung jomblo semua, hahaha. Setelah berlama-lama nungguin
hujan sambil bercengkrama seru, kami pun memutuskan untuk pulang,
hujan-hujanan, karena saya gak mau sampe sahur di sini, hehe. Heni yang sejak
tadi saya hubungi, rupanya masih terjebak hujan di lokasi bukber. Gak ada
pilihan lain selain nungguin Heni di tempat kost teman-teman saya itu.
Beruntung ada t-shirt dan training yang bisa saya pakai, karena tentu saja kami
sampai di kost dalam keadaan basah kuyup.
“Kasihan banget
sih, Din. Main ke Jogja malah hujan terus,” celetuk salah seorang teman saya.
Ya, padahal mereka bersedia menemani saya jalan-jalan ke mana saja di Jogja.
Tapi apa daya, kendaraan yang ada Alhamdulillah beroda dua yang tentu saja gak
beratap. Kita doakan sajalah ya, agar mereka segera mapan dan punya mobil, jadi
bisa temani saya jalan-jalan tanpa takut kehujanan, hehehe. Tapi sebenarnya
saya tergolong manusia yang malas jalan-jalan. Saya lebih suka duduk di satu
tempat, berlama-lama ngobrolin apa saja, main gitar, nontonin yang nge-Dota,
sambil ngunyah sate ayam, acar dan lontong. Saya suka malam mingguan sama
mereka :) Walaupun pulang-pulang, saya agak demam, hahaha, dasar lemah. Pukul
11 malam, Heni mengabari bahwa ia sudah di kost. Saya pun diantar pulang oleh
salah satu teman. Besok, mereka janji akan menjemput saya dan Heni pagi-pagi
untuk pergi ke Mangunan. Yeayyy.
Pasca sahur yang
nyaris kesiangan, saya dan Heni hampir gak bisa lepas dari tempat tidur. Kami
kelelahan setelah kemarin seharian ke luar. Belum lagi saya masih demam sisa
kehujanan semalam. Akhirnya, kami memutuskan untuk tidak memaksakan diri pergi
ke Mangunan, menikmati matahari terbit. Sayang banget sih.. tapi mau gimana
lagi. Cuacanya juga kurang mendukung. Jogja yang sedang gloomy suka tiba-tiba
mendung, gerimis, dan lalu hujan. Sekitar pukul 9 pagi, setelah merasa agak
segar, saya dan Heni beranjak dari tempat tidur dan bersiap melakukan
perjalanan terakhir sebelum pulang ke Cirebon sore nanti. Kami pun memutuskan
untuk pergi ke Sunmor, alias Sunday morning.
|
sebelum ke Sanmor. Mager ... |
Sunmor
mengingatkan saya pada kawasan Gasibu di Bandung pada hari minggu. Sunmor
merupakan pasar dadakan yang berlokasi di kawasan lembah UGM dan cuma ada di
hari minggu, persis Gasibu. Tadinya, saya pikir di Sanmor akan menemukan
barang-barang antik ala-ala Jogja, tahunya sama saja seperti di Gasibu: tas,
baju, sepatu modern. Harga barang-barang yang ditawarkan juga beragam, dari
yang murah hingga yang mahils. Bergantung pada kualitas barangnya, karena harga
jarang menipu. Contohnya tas blachu sablon yang dibanderol mulai dari Rp25.000
hingga Rp30.000, berbeda dengan tas kanvas yang juga disablon. Tas kanvas bisa
dibanderol mulai dari Rp40.000-an. Berbeda lagi dengan tas kanvas lukis yang
dibandrol mulai dari harga Rp75.000-an. Jadi, kalau mau cari yang murah, ada.
Yang mahal juga ada. Setelah berkeliling Sunmor dan membeli beberapa barang,
kami pun kembali ke kost untuk packing dan bersiap mengakhiri liburan kali ini.
Kereta kami berangkat pukul 3
sore. Saya dan Heni diantar ke Stasiun Lempuyangan pukul setengah 2 siang,
khawatir kena macet di jalan. Sampai di stasiun, ada masalah kecil yang cukup
membuat saya deg-degan dan takut ketinggalan kereta. Sedangkan saya sadar bahwa
kepulangan kami tidak bisa ditunda besok karena sudah mulai masuk kerja. Jadi,
tiket yang kami bawa itu form tiket yang lama, yang kami cetak di mesin cetak
mandiri alias CTM di Stasiun Prujakan Cirebon. Form tiket yang baru adalah yang berwarna
putih bergaris oranye. Saya pernah melihatnya beberapa bulan lalu di Stasiun Bandung. Mesin
cetak tiketnya memang berbeda. Rupanya PT KAI sedang melakukan uji-coba sistem check-in dan boarding pass. Buat kita yang terbiasa membeli tiket online dan mencetak tiket fisiknya dengan cara menginput kode booking pada mesin cetak mandiri, tidak terlalu merepotkan. Yang merepotkan adalah kenapa kita yang sudah punya tiket konvensional (berwarna biru) harus menggantinya dengan boarding pass. Jadilah mengantre lagi untuk mencetak ulang di mesin cetak mandiri yang tersedia. Dan itu antrenya
puanjaaang banget. Saya yakin semua calon penumpang itu juga buru-buru dan
tidak tahu-menahu soal kebijakan penukaran form tiket itu. Lagi pula, tidak semua stasiun asal pemberangkatan penumpang sudah mempunyai mesin cetak boarding pass itu, contohnya Stasiun Prujakan Cirebon pada saai itu. Dengar dari
masinisnya, ternyata hal tersebut sengaja dilakukan sebagai bentuk sosialisasi,
agar calon penumpang mengenal sistem check-in dan boarding pass ini. Tapi watir oge sih
kalau sampai tertinggal kereta hanya gara-gara datang ke stasiun dalam waktu
mepet, lalu harus menukar tiket dulu. Beruntung saya dan Heni tidak sampai
ketinggalan kereta. Kami pun pulang dengan damai. Hehehe.. Kapan ke Jogja lagi?
:)
No comments:
Post a Comment
komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)