Jika belajar subset dari mengajar, dan mengajar subset dari belajar, maka
belajar = mengajar. Kurang lebih begitu yang pernah saya pelajari di kelas.
Belajar dan mengajar memang
saling subset. Baru saya sadari hari ini, tepatnya ketika baru saja berniat
menuliskannya di sini. Baru terpikir oleh saya kalau selama ini ketika saya
mengajar justru saya banyak belajar. Dulu, saya pernah mengajari seorang anak
SD kelas 1 yang belum bisa membaca. Ya,
saya ini mahasiswa jurusan pendidikan matematika, bukan pendidikan guru sekolah
dasar.
Harus saya akui, dan saya yakini sejak dulu, bahwa menjadi guru SD jauh lebih susah ketimbang guru SMP atau SMA. Anak SMP, sekali ditegur ya nurut. Kalo anak SD, ditegur langsung kabur. Makanya saat dapat tawaran mengajar privat Apin, begitu saya memanggilnya, sudah kebayang tantangan saya ke depan bakal kayak gimana. Dan tahu apa yang saya ajar ke dia? Membaca. Ya, dia belum bisa membaca sama sekali. Huruf-huruf saja masih belum hafal, apalagi menuliskannya. Tidak aneh kalo Apin lebih suka mengerjakan soal-soal hitungan daripada membaca. Ya karena dia lebih mengenal angka daripada huruf. Bisa dibayangkan, saya yang sama sekali tidak pernah dapat ilmu soal bagaimana caranya mengajari anak baca, tulis, harus menjamin bahwa uang yang orangtuanya kasih ke saya tidak sia-sia. Tapi, dari situlah saya belajar. Saya mulai mengumpulkan informasi mengenai teori psikologi anak, membaca dan tanya sana-sini, bahkan saya juga mempelajari learning obstacle atau kesulitan belajar pada anak usia dini. Tidak secara mendalam, hanya sedikit-sedikit saja, yang penting saya ada ide untuk setidaknya bikin dia bertahan di ruang les selama kurang lebih 90 menit. Ya, bahkan usia segitu, boro-boro nurut buat belajar, disuruh diam aja susah.
Harus saya akui, dan saya yakini sejak dulu, bahwa menjadi guru SD jauh lebih susah ketimbang guru SMP atau SMA. Anak SMP, sekali ditegur ya nurut. Kalo anak SD, ditegur langsung kabur. Makanya saat dapat tawaran mengajar privat Apin, begitu saya memanggilnya, sudah kebayang tantangan saya ke depan bakal kayak gimana. Dan tahu apa yang saya ajar ke dia? Membaca. Ya, dia belum bisa membaca sama sekali. Huruf-huruf saja masih belum hafal, apalagi menuliskannya. Tidak aneh kalo Apin lebih suka mengerjakan soal-soal hitungan daripada membaca. Ya karena dia lebih mengenal angka daripada huruf. Bisa dibayangkan, saya yang sama sekali tidak pernah dapat ilmu soal bagaimana caranya mengajari anak baca, tulis, harus menjamin bahwa uang yang orangtuanya kasih ke saya tidak sia-sia. Tapi, dari situlah saya belajar. Saya mulai mengumpulkan informasi mengenai teori psikologi anak, membaca dan tanya sana-sini, bahkan saya juga mempelajari learning obstacle atau kesulitan belajar pada anak usia dini. Tidak secara mendalam, hanya sedikit-sedikit saja, yang penting saya ada ide untuk setidaknya bikin dia bertahan di ruang les selama kurang lebih 90 menit. Ya, bahkan usia segitu, boro-boro nurut buat belajar, disuruh diam aja susah.
Jadi siapa yang belajar? Gurunya
atau siswanya? Kalau menyimak cerita saya barusan sepertinya jawabannya adalah dua-duanya, ya. Setahun setengah les dengan saya, Apin sudah bisa membaca dan
menulis dengan lancar. Sekarang dia malah lebih senang membaca daripada
berhitung. Hahaa
Itu baru satu siswa. Belum lagi
siswa saya yang lain yang masing-masing punya karakter yang unik. Selain Apin,
saya juga pernah mengajar siswa kelas 1 SD, Opal, begitu ia disapa. Ya, maklum
lah ya, anak-anak kecil memang punya panggilan kesayangan, biasanya konsonan di
awal nama dihilangkan, lalu “v” berubah jadi “p”, atau “s” berubah jadi “c” dan
lain sebagainya. Waktu ngajar Opal, saya malah harus belajar main beberapa game
di ipad dia. Pasalnya, dia baru mau belajar kalau kalah main lawan saya. Haha
itu ide saya asal aja, dan ternyata dia setuju. Dan tahu saya mengajar apa?
Saya diminta mengajar ngaji. Agaknya, saya mesti banyak-banyak istighfar akan ide asal itu -_- . Awalnya saya kalah terus. Pertemuan pertama Opal gak berhasil
saya bujuk mengaji satu huruf pun. Belum lagi kakaknya Opal, Icha
pangggilannya, juga gak mau belajar ngaji dan malah mengunci diri di kamar. Kakaknya
lagi yang tertua, Fira, malah baru pulang sekolah semalam itu, jadi dia menolak
mengaji dengan alasan capek. Alhasil malam itu saya bener-bener gabut alias
gaji buta. Sepulang dari sana, saya pun mulai menyusun strategi, hehe. Setahun
mengajar kakak-beradik itu, banyak sekali perubahan. Opal mulai bisa belajar
tanpa pegang ipad. Icha bahkan sayang banget sama saya. Dia, yang baru kelas 4
SD dan punya 3 pembantu rumah tangga di rumahnya, selalu mengambilkan minum
buat saya sendiri, tanpa meminta tolong salah satu dari “mbak” nya. Ih.. kalau
saya teringat Icha, suka terharu. Dia sering memaksa saya menginap dan tidur di
kamarnya. Ibunya aja gak pernah nawarin, hahaha. Padahal di awal pertemuan, dia
bahkan sama sekali gak mau lihat muka saya, malah membanting pintu dan mengunci
kamar dari dalam. Fira juga jadi lebih rajin belajar. Mungkin karena PR dan
tugas sekolah anak-anak kekinian ini memang bikin kita kepaksa belajar tiap
malam. Walaupun diantara bertiga, Fira yang paling sering bolos. Biasalah, anak
ABG suka banyak urusan. Jerawatan dikit, ke dokter. Hehe.
Sekali lagi, siapa yang lebih
banyak belajar? Saya yang mempelajari 3 karakter kakak beradik itu sekaligus,
atau mereka yang hanya mempelajari karakter saya seorang? Dua-duanya :)
Jadi, benar kata Zen R.S bahwa
anak-anak adalah guru yang baik. Seorang guru senior pun gak akan pernah
berhenti belajar. Apalagi semakin pesatnya perkembangan zaman, pesat juga
perubahan watak anak-anak tiap generasi. Dan buat para calon guru, gak usah
takut menghadapi siswa-siswanya kelak. Toh, pengalaman akan menuntun kita untuk
jadi lebih baik terus ke depannya. Akhir kata, saya ucapkan selamat PPL :)) #PPLday2
No comments:
Post a Comment
komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)