1/21/2015

Tentang Benci


Ada 3 hal yang memaksaku untuk segera menulis – selain deadline, karena sudah lama sekali aku tak mengenal istilah itu. Yang pertama, kesenangan yang luar biasa. Kedua, ketakutan yang luar biasa. Ketiga, kebencian yang teramat sangat dalam, merasuk dalam jiwa, bergumul dengan oksigen dalam arteri, ya, mengalir deras bersama darah.

Aku tak pernah benar-benar membenci seseorang, atau sesuatu, atau takdir.

Aku pandai bermanis muka walau dalam hati memendam emosi tak keruan.
Aku bisa berpeluk mesra dengan mereka, yang rupa-rupanya tak sadar bahwa aku berperasaan juga, jadi tak bisa seenaknya berlaku demikian jahat padaku. Mereka yang terlalu sibuk menjaga reputasi sampai lupa menjaga perasaan.
Ya, aku membenci dalam diam. Rapat-rapat kurahasiakan dadaku yang sesak akibat nafas kebencian. Tak seorang pun tahu betapa keruh hatiku diracun benci.

Bukan. Aku bukan membenci mereka, atau sesuatu, atau takdir.

Aku membenci diriku, teramat sangat benci.
Aku benci tidak dapat berdamai dengan kebencian itu sendiri.
Aku benci ketika aku tidak bisa berlaku demikian manis dalam hati, sama seperti perangaiku di luar.
Aku benci aku tidak bisa membela diriku sendiri, ketika seseorang dengan segala ego yang ia tamparkan padaku, sampai aku terjatuh, dan ia? Ia seolah berkata: Kau pantas menerimanya!
Aku benci, mengetahui seseorang sengaja membuatku digenangi perasaan bersalah, lalu ia datang sebagai pahlawan kesiangan, berusaha membuatku berpikir bahwa ia adalah malaikat, kau akan mati tanpaku! Begitu katanya.
Aku benci pada diriku yang terus berprasangka, membuatku membangun benteng yang sangat tinggi sehingga orang sulit sekali menggapainya.
Aku benci tidak bisa melupakan semua perbuatan orang-orang yang pernah membuat hatiku teriris, bahkan hancur, membuatku menanam dendam yang akarnya mencengkeram kuat, nyaris mustahil tercabut.
Aku benci aku tidak bisa “tidak berteman” dengan orang-orang munafik itu, padahal sungguh aku memandangnya jijik. Dan lihatlah! Aku si munafik itu!
Aku benci, tidak bisa menolak membantu mereka yang bahkan tak pernah menganggapku ada setelahnya.

Bukankah kesemua itu seharusnya dapat kuatasi? Nyatanya, kebencianku terhadap diriku sendiri lebih besar dari apa pun. Lebih besar dari kebencianku kepada mereka, atau sesuatu, atau takdir. Aku kalah.

2 comments:

  1. baru tau saya, kalo benci menyebabkan sesak nafas :D saya kira cuma rokok aja.
    aku juga pernah merasakan benci terhadap seseorang, mungkin sebagian orang pernah pun pernah mengalaminya. memang rasanya itu kadang sangat menggagu aktivitas kita. ya aku juga pernah benci. Benar-benar Cinta :D

    ReplyDelete
  2. iya bisa sesak nafas. nah, hati-hati kalo gitu :)

    ReplyDelete

komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)