12/09/2014

Efek Domino


pict from: google



Berita malam, lagi-lagi menarik perhatian saya untuk berceloteh. Kali ini, media menyoroti sebuah ironi yang sejak kapan taun sudah jadi rahasia umum. Sebuah masalah yang sekaligus solusi bagi permasalahan lain. Efek domino.

Hawa revolusi mental yang diusung pak Joko, sudah mulai berasa. Ya, hawa. Saya gak bilang angin segar atau konotasi lainnya yang cenderung memihak dan bersifat campaign. Saya netral. Tapi jujur saja, bau-bau revolusi memang sudah tercium di sekitar kita. Tengok saja bagaimana media menyoroti aksi bu Susi: “Kapal asing diledakkan” atau “Tenggelamnya kapal pencuri ikan” (nah, yg barusan malah mirip judul film). Atau isu lain tentang dihapuskannya kurikulum tidak jelas, eh kurikulum tiga belas, yang juga menjadi primadona pemberitaan. Ya, itu boleh jadi sebuah revolusi menurut saya, coba ingat-ingat di era siapa kita menghapus kurikulum pembelajaran yang baru berusia kurang dari 2 tahun. Seingat saya ya cuma di era pak Joko ini. Lalu isu yang selalu bikin “gerah” di era mana pun: kenaikan harga bbm. (Plis, segaring-garingnya orang adalah mereka yang nyuruh kita pindah ke whatsapp).

Saya kurang baca sih tentang pengalihan dana subsidi ini, tentang besaran dan sektor apa saja yang menjadi target, saya gak akan angkat bicara. Tapi, yang saya lihat di berita, sedang gencar pembagian dana bantuan bagi warga tak mampu, atau lebih tepatnya bagi mereka yang (dianggap) berhak. Fenomena ricuhnya pembagian dana kompensasi ini bukan bagian dari revolusi, ya. Karena di era pemerintahan sebelumnya juga ada yang begini, hehe. Fenomena lainnya yang jadi pemberitaan mainstream adalah tidak tepatnnya sasaran penerima bantuan. Di salah satu media malah ditayangkan betapa “kaya” nya penerima bantuan di suatu daerah di Jawa Barat. Ya, biasalah, juru kamera menyorot ke arah lahan parkir yang dipadati kendaraan roda dua. Lalu, menyorot kerumunan orang, yang diantaranya memakai perhiasan, sedang mengantri giliran mendapat dana bantuan. Biasalah, kameramen memang salah satu penentu terciptanya opini publik dalam media visual seperti televisi. Tapi, apakah benar bantuan tersebut salah sasaran?

Saya dan mungkin beberapa dari kalian akan jawab: Tidak benar. Menurut saya, orang-orang itu memang perlu dibantu. Dana kompensasi itu tidak salah sasaran. Begini, sekadar sharing, masyarakat “daerah” di kita itu, memang seperti itu hahaha. Simplenya, kalo mereka punya uang, mereka cenderung pakai buat beli emas, kendaraan, barang elektronik, daripada ditabung buat kuliah anak-anaknya kelak. Karena pas lagi butuh, barang-barang itu bisa dijual. Mereka bukan tipikal orang yang suka menabung, tapi menginvest. Jadi barang-barang yang mereka pakai, ya itulah investasi mereka. Uang mereka, ya segitu-gitunya. Belum lagi, di beberapa daerah pelosok di kita itu, masih susah kendaraan umum. Jadi kendaraan pribadi, wajib banget punya. Minimalnya, anak punya motor atau sepeda buat pergi ke sekolah. Bapa punya motor juga buat ngantor atau pergi berdagang. Warga miskin di daerah memang kelihatannya sejahtera. Rumah mereka besar-besar, kebunnya luas, makan juga cukup mengambil dari hasil kebun. Beda banget sama istilah miskin yang kita pakai buat warga-warga di pinggir kota Jakarta. Perumahannya kumuh, sering kebanjiran. Tapi kalo mereka pulang kampung, ya rumah mereka gede juga hahaha. Masyarakat daerah yang memang kurang mengedepankan pendidikan, biasanya lulus SMA/SMK langsung bekerja. Bahkan ada yang lebih dulu berhenti sekolah untuk mengundi nasib di tanh rantau. Setelah punya cukup uang, mereka beli tanah, pulang kampung dan menikah, beranak-pinak, lalu anaknya pergi merantau setelah dewasa dan begitu terus siklusnya. Karena kebutuhan mereka ya sebatas perut.

Lain lagi stasiun tv baru yang menerima berita-berita kiriman masyarakat, menyoroti tentang .pemotongan besaran dana bantuan. Jadi diberitakan di suatu daerah, masih di Jawa Barat, warga hanya menerima bantuan sebesar Rp250-300ribu saja, padahal jatah sebenarnya sebesar Rp 400ribu. Di pemberitaan itu juga disebutkan bahwa masyarakat tidak protes. Yaiyalah o-em-ji he-low, dapet duit aja udah untung. Emangnya mahasiswa, yang dikit-dikit demo, dikit-dikit bakar ban, hahaha. Di tv itu dibilang kalo yang melakukannya adalah oknum pemerintah desa. Hal tersebut masih sering terjadi karena sanksi yang dilakukan pemerintah kurang tegas. Nah, sekarang saya tanya, siapa yang mau ngasih sanksi?

Ini juga sharing aja sih, pemotongan besaran dana kompensasi itu bukan serta merta dilakukan oknum pemerintah daerah. Kita tahu, di kita itu kalo masalah duit, posnya banyak. Ibarat dari Jakarta ke Cirebon, berkali-kali transit tuh duit, dan jumlahnya berkurang tiap kali transit. Jangan tanya kenapa, karena bahasannya bakal panjang walaupun linier dan gak berbelit-belit. Nah, dari transit uang itu, aparatur pemerintahan yang paling rendah yang kena imbasnya. Itulah yang barusan disorot media. Siapa yang mau ngasih sanksi? Atasannya malah bisa digugat balik. Lalu, kenapa masyarakat tidak protes? Ya karena urusan mereka cuma perut, bukan negara, pemerintahan, apalagi politik. Kenapa begitu? Karena mereka gak sekolah, hanya mengenyam pendidikan seadanya. Kenapa? Jawabannya bakal terus menimbulkan pertanyaan. Efek domino.

Kemarin saya tidak tidur demi mengejar pengerjaan proposal skripsi, akibatnya saya tidur di siang hari hingga malam. Nah, malamnya jadi tidak bisa tidur dan ngacapruk di sini sampai pagi. Lalu besok siang akan tidur sampe malam lagi, malamnya akan tidak bisa tidur lagi, dan begitu seterusnya.. Efek domino.

No comments:

Post a Comment

komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)