12/25/2014

cerita sore

Seseorang takkan percaya ceritaku. Bahkan mereka akan sangat tidak peduli karena cerita ini tidak berarti. Terkecuali bagiku.

Hari itu aku tengah terlelap dalam tidur siangku. Aku bermimpi asyik sekali. Aku tengah menghabiskan malam dengan kekasihku. Ditemani gerimis dan kopi hangat, kami bercumbu. Tiba-tiba kurasakan kulitnya begitu nyata, aku semakin memonyongkan bibirku. Dan seketika itu pula terdengar gelak tawa seseorang yang ku kenal. Kubuka mataku dan… jeng jeng! Sepupuku Kia, dengan lengannya yang sedang kupeluk erat dan nyaris kuciumi. Ya, nyaris, kalau saja ia tidak tertawa di telingaku barusan, aku pasti sudah menghisap dengan binal lengannya itu. “Ah.. nonton apa kau semalam, Wani?” katanya sambil terus tertawa.

Siang itu di tempat yang kutinggali, entah rumah siapa, tiba-tiba ramai. Sanak famili, dari mulai om, tante, nenek , buyut, ponakan, cucu, cicit, semua datang. Ramai sekali. Aku senang, walaupun kutahu pasti mereka bukan sengaja mengunjungiku ke sini. Karena memang sedari dulu, aku bukan orang sepenting itu. Belakangan kutahu mereka ternyata hanya singgah. Mereka akan berlibur, entah ke mana, dan berniat numpang solat Dzuhur di tempat kami. Aku tak keberatan tidak diajak, aku juga tak begitu peduli ke mana mereka akan pergi. Aku terlalu senang, bermain dengan sepupu-sepupuku yang lain. Ketika orang-orang mulai mempersiapkan diri untuk solat, aku masih bermain.  Aku lupa seberapa tua aku di hari itu, aku lupa masih pantaskah aku bermain-main.

Aku mulai terusik ketika ruang tempatku bermain digusur tiba-tiba, katanya ingin dijadikan tempat solat. Aku heran, tidak bisakah mereka solat bergantian? Ruang keluarga, kamarku, dan dua kamar lainnya tiba-tiba disulap menjadi tempat solat. Sajadah digelar dimana-mana. Lalu aku harus ke mana? Kulirik jam sudah menunjukan pukul 2 siang, pantas saja mereka tidak mau bergantian. Akhirnya, kuputuskan meninggalkan rumah untuk pergi ke masjid. Seingatku, di sekitar tempat ini ada masjid dan aku belum pernah sekalipun ke sana. Aku pun meminjam mukenah milik salah satu kakak ipar mama, ya, aku mengenalnya seperti itu. Ia menolak. Katanya itu mukenah baru, masih harum dan bersih. Itu mukenah mahal. Aku mengernyitkan dahi, tak habis pikir. Aku tahu siapa orang-orang itu, yang katanya sanak familiku. Aku tahu, mereka memang begitu. Tanpa berlama-lama memedulikan hal itu (demi Tuhan, aku tak pernah peduli hal-hal semacam itu), aku pun langsung berangkat ke masjid. Aku membawa mukenah yang tidak tahu milik siapa.

Ini masjid paling mengerikan yang pernah kudatangi. Imamnya ada banyak! Sajadahnya melingkar seperti obat nyamuk, tapi tidak menghadap pada titik tengah. Ya, kiblatnya banyak!

Aku melirik ke kanan dan ke kiri, mencari tahu ke mana arah kiblat yang seharusnya. Ke mana solatku harus menghadap. Tak kusangka, seperti di tempatku, di sini juga ramai sekali. Orang-orang solat menghadap ke kiblatnya masing-masing. Ini sudah hampir habis waktu Dzuhur, aku harus segera solat, tapi bagaimana? Lalu kulihat ada sebuah barisan dengan 3 saf. Saf ke tiga masih bisa kuisi, dan memang hanya itu barisan terbanyak dari yang kulihat. Tanpa pikir panjang, aku memakai mukenahku dan mengisi saf ke tiga itu. Rupanya, mereka sedang menunggu imam memulai solat. Ya, beruntung kan aku, ada imam yang kebetulan baru akan memulai solatnya. Tapi ternyata ada ritual khusus sebelumnya. Ini juga yang tidak pernah kulihat dimana-mana.

Sebelum shalat dimulai, 4-5 orang laki-laki berdiri di tengah barisan, diantara saf terdepan perempuan dan saf terakhir laki-laki. Mereka melafalkan mantra-mantra yang tak kumengerti. Sesekali kami diminta untuk bergeser ke kanan dan ke kiri, seperti menari. Unik sekali. Tapi aku menurut, aku tahu ini rumah Tuhan, segala hal yang dilakukan ini pasti ada kaitannya dengan ibadah. Aku tidak meremehkan secara terang-terangan ritual yang sungguh membuatku ingin tertawa meledak-ledak ini. Aku diam, dan mengikuti. Tapi 5 orang perempuan di depanku justru sebaliknya. Mereka benar-benar melecehkan imam dan 4-5 orang laki-laki yang sedang komat-kamit tadi. Berani sekali? Tak bisakah mereka menghargai? Tapi ritual ini memang lama sekali. Aku mulai berpikir, mungkin ini ritual yang mereka lakukan sebelum solat Ashar. Karena lama, jadi mereka memulainya sejak pukul 2 siang. Oh tidak, ini sudah hampir setengah 3 dan aku belum solat juga. Aku pun nekat, memutuskan memisahkan diri dari barisan dan berdiri sendiri menghadap ke manapun yang kuyakini. Aku mendengar ada seseorang yang mengikuti. Ia berdiri di sampingku. Sepertinya, ia belum solat Dzuhur juga. Aku memejamkan mataku dan mulai berkonsentrasi.

Di tengah-tengah kekhusyukan ku, seseorang berteriak keras.

Hey! Lihat dia tidak ikut solat bersama kita! Solat apa mereka jam segini? Hahaha, coba kalian lihat! Lihat hukuman yang pantas buat mereka. Lumurkan itu pada mereka! Ambil itu, cepat!

Jantungku berdetak sangat cepat. Aku sungguh ketakutan. Aku tak khusyuk solat. Mataku masih kupejamkan dan aku tak berani mengintip sedikit pun. Sepertinya dia sang imam. Dia marah. Ya Tuhan, apa yang akan mereka lakukan padaku dan orang di sebelahku? Ku dengar jeritan dan isakkannya. Sepertinya ia sudah dilumuri, entah apa, seperti yang dikatakan imam itu. Tak lama lagi pasti giliranku. Aku masih melafalkan bacaan-bacaan solat, tapi aku tak tahu ini sudah rakaat ke berapa. Tiba-tiba cairan dingin dioleskan ke pipi dan dahiku. Cairan itu agak kental dan berbau agak menyengat. Tapi tak kurasakan dampak yang lebih berbahaya dari itu. Aku tak tahu, tapi mungkin saja ketika aku membuka mataku, aku sudah tidak punya kulit pipi dan dahi lagi, mungkin cairan itu dapat melelehkan jaringan-jaringanku tanpa terasa sakit, aku tak tahu. Aku sungguh ketakutan. Lalu, imam itu berteriak lagi,

Kalian lihat? Hahaha, kiblat pun mereka tak tahu! Biar kutunjukkan pada mereka.

Tubuhku dipegangnya, diputar, digeser-geser, sepertinya ia benar-benar mencoba membetulkan arah solatku. Ya, aku masih solat. Ketika itu aku sedang rukuk. Lalu cairan di wajahku mulai menetes kemana-mana. Ketika aku dalam gerakan i’tidal, sang imam teriak lagi, disusul dengan tangan yang menarik mukenahku untuk melap cairan-cairan yang berceceran tadi. Ya, Tuhan. Tak bisakah mereka menunggu sampai solatku selesai? Kurasakan banyak orang di sekelilingku. Mereka berteriak, terisak, masjid ini riuh. Aku sungguh ketakutan.

Tak lama kuputuskan untuk menganggap bagian ini adalah rakaat terakhir, rasanya sih memang begitu. Aku mengucapkan salam, ke kanan dan ke kiri, tak sabar ingin memanjatkan doa dan minta pertolongan Tuhan setelahnya. Ketika kubuka mata, benar saja, orang-orang ramai di sekelilingku. Aku menjadi tontonan mereka sejak tadi. Aku menangis ketakutan, ada beberapa orang yang kukenal tapi mereka juga ketakutan. Sang imam, aku melihat wajahnya. Berjanggut tebal dan tubuhnya tinggi besar. Seseorang kembali menarik-narik mukenahku. Aku berteriak, menangis ketakutan. Aku takut mukenahnya kotor atau rusak. Ini bukan mukenahku, lebih buruk lagi, aku tidak tahu milik siapa mukenah ini. Mungkin saja mukenah ini milik kakak ipar mama yang lain, ia bisa marah, aku bisa lebih mampus. Lalu tiba-tiba seseorang maju ke tengah, ia mamaku. Mama menggeleng sambil berurai air mata. Katanya: “tidak apa-apa, mukenah itu milik adikmu”. Aku menoleh ke arah yang lain, ada adikku di situ, ia mengangguk, tersenyum, juga berurai air mata.

Aku sama sekali tak mengerti, apa salahku? Aku tidak mengolok-olok ritual itu! Aku solat untukku, lalu kenapa malah dimarahi? Siapa dia, imam itu? Mereka, orang-orang di depanku yang dengan jelas kulihat mengolok-olok ritual tadi sama sekali tak kena hukum. Siapa mereka, orang-orang yang bebas hukuman itu? Aku bergegas keluar dari bangunan yang rupanya cukup luas itu.

Tak kusadari ketika aku masuk tadi bahwa masjid ini benar-benar luas. Seperti pesantren. Banyak anak kecil berlarian dan bersenda gurau. Tapi, Ups! Mereka tertangkap. Ada orang yang memegang kemoceng terbalik. Anak yang lari-larian itu ditangkap, kukira akan dipukul. Tidak tahunya, ia ditanya sesuatu tentang hafalan atau ayat Al-Quran, atau semacam pengetahuan agama lainnya. Aku tidak mendengar dengan jelas. Anak itu kemudian mejawab dengan terbata-bata. Sepertinya itu bukan jawaban yang diharapkan laki-laki dengan kemoceng terbalik itu, sehingga ia langsung menghempaskan kayu kemoceng ke punggung anak itu. Buk, buk, buk! Dipukulnya anak itu berkali-kali dan kencang sekali. Aku ketakutan. Aku tak berani melihat ke belakang, aku terus berjalan ke pintu keluar. Interval beberapa meter kutemukan laki-laki lain dengan alat pemukul yang berbeda di tangannya: bambu berukuran setengah meter. Sepertinya ia memiliki tugas yang sama dengan laki-laki pemegang kemoceng tadi. Ya, Tuhan. Sebesar itukah kesalahan anak-anak kecil tadi? Haruskah mereka dipukuli sebegitu keras dengan benda-benda itu? Aku sungguh ketakutan. Akhirnya kutemukan pintu keluar dan baru mulai berani berlari. Aku berlari sekencang-kencangnya sambil menangis sepanjang jalan. Aku berharap, sesampainya di rumah, orang-orang sudah berangkat, pergi liburan entah kemana. Aku tak ingin satu pun dari mereka melihatku menangis dan ketakutan. Setidaknya, selama ini itulah yang bisa kuusahakan agar tidak dipandang semakin rendah.

Tapi aku kurang beruntung. Mobil-mobil masih terparkir di halaman. Mereka belum benar-benar pergi, tapi baru akan pergi. Aku mulai mengatur nafas, melap cairan yang membasahi wajahku yang aku pun tak tahu mana keringat mana air mata. Sesampainya di halaman aku melihat sang seniman duduk di teras. Seperti biasa, ia mengeluarkan beberapa lembar uang dari kantongnya. Uangnya bercampur antara ribuan, puluh ribuan, ratus ribuan, ia tak pernah hitung. Setiap kali bertemu dan sebelum pulang, ia pasti memberikan padaku apa saja isi kantongnya.  Aku berlari menyalaminya. Aku menolak lembaran-lembaran rupiah itu sambil berusaha menahan air mataku agar tidak menetes. Aku memeluknya. Kejadian menakutkan siang ini membuatku ingin sekali memeluk seseorang. Aku memeluknya dengan erat, aku tahu ia bisa sesak napas saking eratnya pelukkanku. Air mataku pun menemukan takdirnya, jatuh kemana-mana, membasahi punggung sang seniman. Ia mengusap-usap rambutku dan berkata: tidak apa-apa... kamu kan senang setiap kuberi uang. Biasanya kamu belikan mainan Mario bross kan?

Dan tangisku pun semakin menjadi. Aku rindu padanya. Aku begitu senang bertemu dengannya, sampai aku  lupa bahwa seharusnya ia tak ada di sini. Ya seniman itu, kakekku, telah wafat 2 bulan lalu.

*buat kamu, jangan lupa solat dzuhur :)

No comments:

Post a Comment

komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)