5/05/2014
Pergi: Bukan tentang Kepergian, tapi tentang Keinginan
Suatu hari aku terhenyak dengan kata-kata Mama dalam obrolan kecil kami di stasiun.
“Mam. Liat. Banyak bule”
Mama hanya menjawab dengan senyum.
“Mam. Coba tebak, istrinya yang bule satu lagi atau yang pribumi”
Mama menoleh dan mulai mengamati agak serius.
“Istrinya yang item itu loh Mam, hahaha yang bule satunya lagi mungkin adek atau kakanya”
Mama terkekeh, mengiyakan.
“Mau ditinggal ke luar negeri tuh kayaknya hahaha kasian banget”
“Iya, kan masih ada kan Sher, bule-bule kaya gitu yang tiap pelesiran nyimpen satu istri,” Mama berkomentar.
“Mosok, Mam? Hahaha,” aku tak serius menanggapi karena, jujur, aku tak peduli. Satu-satunya yang kupedulikan adalah melihat Mama tetap tersenyum di akhir perjumpaan kami kali ini.
Mikrofon mulai mengumumkan keberangkatan kereta si bule yang ternyata naik kereta ke Jakarta. Mungkin setelah itu ia akan caw ke Soetta dan langsung terbang ke kampungnya di negri bule sana. Setelah mencium mesra wanita yang sudah aku klaim di awal sebagai istrinya, dan juga berpamitan pada beberapa orang lain yang juga mengantarnya, si bule langsung masuk antrian pemeriksaan ticket.
“Enak ya, orang pada pergi...” Mama membuka percakapan lagi. Aku terheran dengan kata-katanya barusan, jelas Mama baru saja mengunjungiku di Jogja minggu lalu.
“Hmm.. Jadi pengen pergi juga..” Deg! Dan inilah klimaksnya. Klimaks percakapan kami. Kalimat ini yang membuatku parno, mungkin akibat hormon fantasiku yang agak berlebih. Kata “pergi” seperti sebuah isyarat bagiku. Isyarat yang fantasiku bahkan tak mampu mengandaikannya. Plis Mam, jangan ngomong itu lagi, aku protes dalam hati.
“Loh, kemarin kan Mama ke Jogja,” ujarku sedikit menimpali.
“Iya, tapi enak aja pergi. Ninggalin ini itu,”
Aku sungguh berusaha untuk tidak memikirkan hal yang aneh-aneh. Dan itu usaha yang patut diapresiasi buat orang sepertiku. Akhirnya, aku berhasil.
“Hmm, tuh kan enak. Makanya kemaren aku suruh Mama ke Jogja. Mama jadi lupa sama kerjaan di kantor, lupa sama lain-lain. Refresh kan?”
“Iya. Kapan yaa bisa pergi lagi,” rupanya Mama masih suka dengan kata itu: pergi.
“Yuk, sekarang yuk ikut Shery,” ajakanku hanya ditanggapi Mama dengan tersenyum. Mama merangkulku, dan baru kusadari aku benar-benar merindukannya. Kupandangi rambutnya yang kini telah putih disana-sini. Matanya mulai bergaris. Itukah keriput? Inikah tua?
“Tuh keretanya dateng, tiketnya udah siap?”
“Udah Mam. Shery berangkat yaa. Mama gak jadi ikut hehe?”
“Ah kamu, Mama kesana nanti ganggu kamu bikin maket. Udah sana. Hati-hati ya”
Percakapan pun ditutup.
Aku melangkah ragu ke arah petugas pemeriksaan tiket. Rasanya aku ingin tiketnya sobek, atau hilang, atau tertinggal, atau KTP ku yang hilang, atau tertinggal, atau apa sajalah yang bisa membuat keberangkatanku tertunda. Tapi lagi-lagi harus kuterima bahwa fantasi tak selamanya bisa terealisasi. Begitu juga pergi, tak berarti bicara tentang kepergian jika bicara soal pergi. Keinginan untuk pergi juga bicara soal pergi. Ya, hanya keinginan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)