2/27/2014

Have you take a breakfast? or lunch?




            Pagi ini kumiliki pagi yang panjang. Ya, sebelum jam 12 siang aku harus mengerjakan beberapa pekerjaan non-rutin di luar jam kerja, karena shift ku pukul 1 siang nanti. Aku bangun pukul 4 pagi ini, satu jam lebih pagi dari biasanya. Pekerjaanku baru bisa dimulai pukul 6, tapi work plan nya harus kusiapkan sepagi ini. Ya, aku tidak terbiasa melakukan sesuatu tanpa rencana, aku tidak terbiasa gagal.
            Pertama, kurumuskan apa saja yang harus kukerjakan. Sebelumnya, aku membagi waktuku dalam satu hari menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah sejak pagi hingga kurang dari sama dengan pukul 12 siang. Waktu ke dua, pukul 12 sampai dengan pukul 4 sore. Terakhir, waktu bagian ke tiga adalah pukul 4 sore sampai waktu aku kembali ke rumah.
            Aku mengantar Adikku ke stasiun. Keretanya menuju Surabaya akan berangkat pada pukul 8. Jarak rumahku ke stasiun tak kurang dari 30 km, perhitunganku, dengan kemacetan lalu lintas di pagi hari juga mempertimbangkan kecepatanku berkendara, kami membutuhkan waktu maksimal 1 jam 15 menit dalam perjalanan. Setelah memastikan Adik duduk nyaman di nomor kursi dan gerbongnya yang sesuai, aku pun pergi meninggalkan stasiun.
            Arlojiku menunjukkan pukul 07.53. Aku punya janji bertemu Pak Wali Kota di salah satu kedai batagor di Jalan Jawa. Ia ingin meminta bantuanku mengenai promo program terbarunya:  pembuatan taman. Ya, zaman sekarang, pemerintah memang perlu bersahabat baik dengan awak media. Kedai kecil milik Pak Sutrisno, seorang penggila musik-musik Leo Kristi, itu tempat favorit kami. Lokasinya pun tak jauh dari Balai Kota. Kami pun biasa berbincang agak lama di sini, berdiskusi, atau sekadar mengopi sambil mendengar lagu-lagu Leo Kristi diputarkan. Tapi kali ini, pertemuan kami singkat saja. Bahkan aku tak sempat menyentuh seporsi batagor yang sudah dipesankan pak Wali, aku hanya menyeruput kopinya saja, itu pun tak kuhabiskan. Butuh waktu untuk menghabiskan secangkir capucino yang masih mengepul itu, sedangkan pukul 10 aku sudah punya janji yg lain.
            Ya, pukul 10 ada seminar jurnalistik yang harus kuhadiri. Wartawan senior yang harusnya datang memberikan sambutan dan kuliah singkat tentang perwajahan media, tidak bisa hadir. Aku yang akhirnya (baru) kemarin dihubungi untuk menggantikan posisinya, bukan sebagai wartawan senior, tapi sebagai pemateri. Pukul 09.48 (di arlojiku) aku sampai di lokasi yang merupakan kampus tempatku dulu menempuh S1. Jalanan Bandung yang sejak pagi dihujani gerimis, membuat sepatuku bermotifkan cipratan lumpur. Ya, aku memang berkendara dengan roda 2, jangan tanya kenapa kalau kalian tahu bagaimana caranya berkejaran dengan waktu di kota sesibuk Bandung. Aku masih punya waktu kurang dari 15 menit untuk merapikan diri. Aku pun bergegas memasuki ruangan yang sejak terakhir kali aku kesini masih tampak sama: rapi. Ruangan yang merupakan kantor staff humas Universitas, tempatku magang dulu sewaktu kuliah, memang seperti bukan kantor humas, yang lumrahnya berantakan, diseraki tumpukan surat kabar atau media cetak lainnya. Setelah melap sepatu, merapikan rambut, bermake up seadanya, aku pun langsung menuju auditorium tempat seminar diadakan.
            Pukul 11.40 pembawa acara menutup sesi diskusi. Para peserta dipersilakan bersistirahat baru kemudian lanjut ke materi fotografi jurnalistik pada pukul 1 siang. Tentu saja bukan aku pematerinya, Rendi, salah satu wartawan foto yang akan mengambil alih sesi ini. Setelah mengikuti serangkaian seremonial seperti penyerahan plakat, foto bersama, dan sedikit wawancara, aku pun bergegas keluar ruangan. Aku harus sampai di kantorku sebelum pukul 1 siang, ada rapat redaksi yang harus kupimpin. Aku juga harus menyampaikan mengenai program baru wali kota: pembuatan taman, kusebutkan mumpung ingat.
            Ketika aku melangkah keluar auditorium dan bergegas menuruni anak tangga, seseorang menarik lenganku dari belakang. Aku menoleh ke arahnya, wajahnya sama sekali lekat dalam ingatanku. Ia terus menatapku, tak melepaskan cengkraman tangannya untuk beberapa detik. Hingga akhirnya keluar kalimat dari mulutnya: Sudah makan belum?
Ya Tuhan, pangeran dari negeri mana lagi ini yang tiba-tiba menghentikan langkahku yang jelas terburu-buru, hanya untuk menanyakan hal yang bahkan aku pun tidak peduli. Selagi pekerjaanku belum selesai, dan lambungku baik-baik saja, aku tak pernah ingat untuk makan. Lalu dengan mantap aku menjawab: Sudah kok. Saya duluan ya.
Laki-laki itu pun membiarkan aku pergi setelah mendengar jawabanku yang tentu saja bohong. Langkahku terus kupercepat hingga pintu keluar gedung. Aku tak berani menoleh ke belakang karena pasti lelaki itu masih melihat ke arahku sampai aku tak terlihat lagi. Ya, itu pasti, karena ia tak pernah berubah sejak dulu.

No comments:

Post a Comment

komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)