Pagi
ini kumiliki pagi yang panjang. Ya, sebelum jam 12 siang aku harus mengerjakan
beberapa pekerjaan non-rutin di luar jam kerja, karena shift ku pukul 1 siang
nanti. Aku bangun pukul 4 pagi ini, satu jam lebih pagi dari biasanya.
Pekerjaanku baru bisa dimulai pukul 6, tapi work
plan nya harus kusiapkan sepagi ini. Ya, aku tidak terbiasa melakukan
sesuatu tanpa rencana, aku tidak terbiasa gagal.
Pertama,
kurumuskan apa saja yang harus kukerjakan. Sebelumnya, aku membagi waktuku
dalam satu hari menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah sejak pagi hingga
kurang dari sama dengan pukul 12 siang. Waktu ke dua, pukul 12 sampai dengan
pukul 4 sore. Terakhir, waktu bagian ke tiga adalah pukul 4 sore sampai waktu
aku kembali ke rumah.
Aku
mengantar Adikku ke stasiun. Keretanya menuju Surabaya akan berangkat pada
pukul 8. Jarak rumahku ke stasiun tak kurang dari 30 km, perhitunganku, dengan
kemacetan lalu lintas di pagi hari juga mempertimbangkan kecepatanku
berkendara, kami membutuhkan waktu maksimal 1 jam 15 menit dalam perjalanan.
Setelah memastikan Adik duduk nyaman di nomor kursi dan gerbongnya yang sesuai,
aku pun pergi meninggalkan stasiun.
Arlojiku
menunjukkan pukul 07.53. Aku punya janji bertemu Pak Wali Kota di salah satu
kedai batagor di Jalan Jawa. Ia ingin meminta bantuanku mengenai promo program
terbarunya: pembuatan taman. Ya, zaman
sekarang, pemerintah memang perlu bersahabat baik dengan awak media. Kedai
kecil milik Pak Sutrisno, seorang penggila musik-musik Leo Kristi, itu tempat
favorit kami. Lokasinya pun tak jauh dari Balai Kota. Kami pun biasa berbincang
agak lama di sini, berdiskusi, atau sekadar mengopi sambil mendengar lagu-lagu
Leo Kristi diputarkan. Tapi kali ini, pertemuan kami singkat saja. Bahkan aku
tak sempat menyentuh seporsi batagor yang sudah dipesankan pak Wali, aku hanya
menyeruput kopinya saja, itu pun tak kuhabiskan. Butuh waktu untuk menghabiskan
secangkir capucino yang masih mengepul itu, sedangkan pukul 10 aku sudah punya
janji yg lain.
Ya,
pukul 10 ada seminar jurnalistik yang harus kuhadiri. Wartawan senior yang
harusnya datang memberikan sambutan dan kuliah singkat tentang perwajahan
media, tidak bisa hadir. Aku yang akhirnya (baru) kemarin dihubungi untuk menggantikan
posisinya, bukan sebagai wartawan senior, tapi sebagai pemateri. Pukul 09.48
(di arlojiku) aku sampai di lokasi yang merupakan kampus tempatku dulu menempuh
S1. Jalanan Bandung yang sejak pagi dihujani gerimis, membuat sepatuku
bermotifkan cipratan lumpur. Ya, aku memang berkendara dengan roda 2, jangan
tanya kenapa kalau kalian tahu bagaimana caranya berkejaran dengan waktu di
kota sesibuk Bandung. Aku masih punya waktu kurang dari 15 menit untuk
merapikan diri. Aku pun bergegas memasuki ruangan yang sejak terakhir kali aku
kesini masih tampak sama: rapi. Ruangan yang merupakan kantor staff humas
Universitas, tempatku magang dulu sewaktu kuliah, memang seperti bukan kantor
humas, yang lumrahnya berantakan, diseraki tumpukan surat kabar atau media
cetak lainnya. Setelah melap sepatu, merapikan rambut, bermake up seadanya, aku
pun langsung menuju auditorium tempat seminar diadakan.
Pukul
11.40 pembawa acara menutup sesi diskusi. Para peserta dipersilakan
bersistirahat baru kemudian lanjut ke materi fotografi jurnalistik pada pukul 1
siang. Tentu saja bukan aku pematerinya, Rendi, salah satu wartawan foto yang
akan mengambil alih sesi ini. Setelah mengikuti serangkaian seremonial seperti
penyerahan plakat, foto bersama, dan sedikit wawancara, aku pun bergegas keluar
ruangan. Aku harus sampai di kantorku sebelum pukul 1 siang, ada rapat redaksi
yang harus kupimpin. Aku juga harus menyampaikan mengenai program baru wali
kota: pembuatan taman, kusebutkan mumpung ingat.
Ketika
aku melangkah keluar auditorium dan bergegas menuruni anak tangga, seseorang
menarik lenganku dari belakang. Aku menoleh ke arahnya, wajahnya sama sekali
lekat dalam ingatanku. Ia terus menatapku, tak melepaskan cengkraman tangannya
untuk beberapa detik. Hingga akhirnya keluar kalimat dari mulutnya: Sudah makan
belum?
Ya Tuhan, pangeran dari
negeri mana lagi ini yang tiba-tiba menghentikan langkahku yang jelas
terburu-buru, hanya untuk menanyakan hal yang bahkan aku pun tidak peduli.
Selagi pekerjaanku belum selesai, dan lambungku baik-baik saja, aku tak pernah
ingat untuk makan. Lalu dengan mantap aku menjawab: Sudah kok. Saya duluan ya.
Laki-laki itu pun
membiarkan aku pergi setelah mendengar jawabanku yang tentu saja bohong.
Langkahku terus kupercepat hingga pintu keluar gedung. Aku tak berani menoleh
ke belakang karena pasti lelaki itu masih melihat ke arahku sampai aku tak
terlihat lagi. Ya, itu pasti, karena ia tak pernah berubah sejak dulu.
No comments:
Post a Comment
komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)