Hari ini aku menang telak, ya itu istilahku setelah berhasil mencuci
bersih otak-otak teenlit, ftv, drama, atau apalah namanya, teman-temanku yang
terlibat diskusi kosong malam ini. Segala bentuk kisah percintaan picisan yang
menjalar pada setiap sutura mereka, kuputus alirannya sampai di sini saja. Di
mana tepatnya, aku tak peduli, jelas bukan urusanku. Satu-satunya yang menjadi
urusanku adalah bagaimana jika mereka menyinggung tentang referensi
kalimat-kalimat dewaku tadi. Apa jadinya jika mereka mulai menyadari bahwa
pendapat – nyaris doktrin – yang kusampaikan pada diskusi kali ini, benar-benar
nyata, seakan pernah terjadi sebelumnya, seperti filsafat yang tidak turun
cetak begitu saja.
Cerita ini berawal dari malam pertemuan rutin kami – aku dan beberapa
teman satu kos – yang sudah menjadi ritual sejak 6 tahun lalu, saat kami lulus
S1. Lokasi bergadang kali ini berada di salah satu tempat ngopi murah, di
bilangan kota Bandung. Aku yang pilih tempat ini dengan alasan taktis:
bernostalgia. Trotoart Cafe, pernah beberapa kali menjadi tempat kami
menghabiskan malam ketika masih kuliah. Suasananya pun kini belum berubah,
masih sama seperti dulu. Pintu utamanya tak lain ialah tumbuhan menjalar yang
membentuk sebuah gerbang dihiasi bohlam-bohlam kecil berkelip. Di sampingnya
terparkir Van oranye-putih, yang sejak dulu telah menjadi kamar sekaligus rumah
Tante, Om, dan Sunda, putri semata wayang mereka.
Barang-barang rongsokan disulap Om dan Tante menjadi furnitur dan hiasan
gantung-tempel yang cantik. Tempat kami, jelas yang di pojok kanan. Bongkahan
kayu yang sepertinya belum selesai dipahat, adalah kursinya. Untuk meja, bukan
sepertinya lagi, tapi benar-benar bekas pohon jati yang ditebang. Lingkaran
tahun di permukaannya menjadi alas santap malam. Poster Lenon dan kawan-kawan
menghiasi dinding, juga cempor kecil yang sudah pecah pinggirannya, masih
tergantung di tempat yang sama sejak 6 tahun lalu, terakhir aku kesini. Satu
lagi yang menjadikan pojok kanan ini favoritku adalah tempat kami duduk
beratapkan langit lepas. Benar-benar lepas. Berbeda jika kami bergeser ke kiri
sedikit saja, langit hanya dapat dinikmati lewat celah daun-daun anggur yang
merambat melalui rotan berpetak setinggi 3 meter.
Ya, itulah sekelumit Trotoart yang masih kugolongkan sebagai alasan
taktis memilih tempat ini. Alasan non-taktis, jelas karena aku bekerja di sini,
maksudku di Bandung, karena Trotoar tak pernah butuh pegawai tambahan. Om,
Tante, dan Sunda komposisi tepat untuk menciptakan kesederhanaan yang mewah
bagi tempat ini. Pegawai tambahan hanya akan merusak keseimbangannya. Alasan
non-taktis yang membuatku tak perlu repot ke luar kota demi menghadiri
pertemuan basa-basi semacam ini.
Mari kita lewatkan pembukanya, karena seperti biasa, setiap acara
memiliki sesi pembuka yang membosankan. Aku akan langsung bercerita ke acara
inti, kemenangan telak, maksudku sesi diskusi. Topiknya percintaan. Tidak,
mereka tidak mengizinkanku berbagi kisah mengenai kecintaanku pada kopi, atau
buku. Tidak pada Pram atau Sapardi. Mereka mengunci tema diskusi pada kisah
asmara masing-masing dari kami yang ujung-ujungnya pasti menyinggung undangan
pernikahan. Aku belum juga paham kenapa topik ini menjadi begitu penting
didiskusikan. Hanya pemikiran primitif yang mengenal istilah usia pernikahan.
Menurutku, orang bisa menikah kapan saja, bisa tidak menikah, bahkan bisa
menikah tapi tidak menikah. Ya, penjelasan yang menurut mereka pasti agak
rumit, tapi toh Ayu Utami pernah menuangkan hal ini dalam Eks Parasit Lajang.
Ia menikah, tapi tidak menikah.
Sebenarnya yang menjadikan ini buruk bagiku adalah aku, layouter freelance yang berkecukupan, belum
memiliki pasangan – jika yang dimaksud adalah kekasih atau bahkan istri.
Satu-satunya perempuan yang hampir seminggu sekali kutemui sejak 12 tahun lalu
adalah Elsa, teman SMA ku. Selalu saja ada alasan untuk menemuinya dan tentu
itu bukan alasan yang dibuat-buat, setidaknya olehku – entah olehnya. Tak ada
yang perlu dipusingkan dalam hubungan ini, kecuali aku dan Elsa sama-sama insan
muda yang sukses dini dan belum memiliki pasangan. Ya baiklah, sekadar
informasi, usiaku tahun ini genap 27 tahun, Elsa bahkan 28. Tapi tetap saja aku
bukan seorang primitif yang masih meyakini kaitan antara menikah dan usia.
Nikah tua, muda, tidak menikah, bukan masalah. Tapi tidak bagi 7 orang teman
yang sekarang berada di sekelilingku. Mereka jelas tidak mengetahui perihal aku
dan Elsa. Siapa Elsa? Bahkan mereka tidak pernah mengenal nama itu. Bukan aku
sengaja tidak memberitahu, tapi memang mereka tidak pernah menanyakannya. Di sinilah
kemenangan telakku.
Saat tiba giliranku berbasa-basi dalam sesi diskusi kali ini, yang aku
katakan sederhana, bahwa di antara dua kutub yang berlawanan pasti memiliki
kutub netral. Itu mendukung teori bahwa tidak ada kerapatan yang sempurna di
dunia ini, selalu ada celah, dan di situ pula lah letak keseimbangan. Selalu di
tengah-tengah.
“Kau pasti sering mendengar kisah tentang ketika kau dan pacarmu
sekarang, dulunya berteman. Tentu, karena sebelum menyandang status berpacaran,
status yang disandang adalah pertemanan. Padahal, ia mau berteman denganmu
hanya karena ia ingin memacarimu setelahnya. Dari situlah istilah PDKT mulai ramai
dipakai. Dua relasi ini ini mensyaratkan kehadiran masing-masing pihak setiap
saat, dibutuhkan maupun tidak. Teman, legal menolak memberi pertolongan, toh
statusnya tetap akan menjadi teman. Pacar, sulit mengakuinya tapi itulah yang dikisahkan,
ketika ia sudah tidak “berguna” maka tamatlah statusnya, bertransformasi
menjadi teman biasa atau bahkan musuh. Semua itu tak lebih dari sekadar roman
picisan yang banyak dikisahkan ftv, novel-novel self publishing, atau
drama-drama murahan. Kisah yang sebenarnya kita alami tidak sebegitu kejam. Sadarlah,
kita tidak pernah dipaksa memilih menjadi seorang teman atau kekasih, karena memang
ada ruang di tengah-tengah itu.”
“Ruang dimana saling membantu bukanlah suatu kewajiban, tapi menjelma
menjadi kebutuhan. Ruang dimana cincin simbiosis membentuk rantai panjang yang
tidak untuk dihitung, tapi dilupakan. Ruang dimana perasaan rindu berhak hadir,
dan peluk berhak dihamburkan. Ruang dimana ia akan datang dengan sendirinya
ketika dibutuhkan, dan melenggang entah kemana kala kita mandiri. Kemandirian
pun bukan hal yang statis, ia bergerak naik turun. Jadi tak perlu khawatir
kehilangan sesuatu, justru rintik rindu hadir di situ dan akan segera terobati
disusul munculnya pelangi.”
“Ah, pasti selalu ada celah. Coba lihat sekelilingmu. Diantara sekian
banyak orang, pasti ada satu-dua orang saja yang berkali-kali masuk daftar
tempatmu mengadu. Walau hanya untuk beberapa hal, dari sekian banyak teman,
pasti ada satu-dua yang kau percayai menyimpan rapat rahasiamu. Dia pacarmu?
Bukan, pacarku satu dan berganti-ganti. Temanmu? Bukan, temanku banyak. Lalu
siapa dia? Dia penyeimbang, penetral. Dia... apa istilahku? Penggenap”
Aku menutup kalimatku dengan tersenyum simpul, meneguk kopi hitam yang
kupesan, satu teguk saja. Itu akan menjadi sangat dramatis menurutku. Ketujuh
muda-mudi sukses itu, teman-temanku, masih terdiam. Entah apa yang ada di otak
mereka saat ini ketika mencerna kata-kataku, aku tidak peduli. Jelas bukan
urusanku. Satu-satunya yang menjadi urusanku adalah bagaimana jika mereka
menyinggung tentang referensi kalimat-kalimat dewaku tadi. Apa jadinya jika
mereka mulai menyadari bahwa pendapat – nyaris doktrin – yang kusampaikan pada
diskusi kali ini, benar-benar nyata, seakan pernah terjadi sebelumnya, seperti
filsafat yang tidak turun cetak begitu saja. Ah, tapi pada akhirnya mereka
tidak pernah bertanya lagi, aku menang telak :)
*all pict from here |
No comments:
Post a Comment
komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)