Orang banyak berbual
tentang hujan. Terkecuali soal rindu yang menderas bersamanya, hujan tak lebih
dari sekadar siklus alamiah. Bicara rindu selalu saja bicara dispensasi. Betapa
pun tidak, apa yang lebih menyiksa dari gumpalan rindu yang bikin sesak dada?
Rindu bukan soal jarak dan waktu. Terbukti kau jauh lebih merindukan
kehangatannya dibanding sosoknya yang bisa kau peluk kapan saja. Kau lebih
merindukan kelembutannya dibanding suaranya yang bisa kau dengarkan via telepon
kapan saja. Kau amat sangat merindukan kebijaksanaan hatinya dibanding membaca
pikiran-pikirannya lewat aksara. Kau jauh merindukan apa-apa yang ada padanya
dibanding pada dirinya sendiri. Lalu apa yang akan kau lakukan ketika rindu itu
hadir justru di saat semua yang kau rindukan tak lagi kau temukan? Kehangatan
menjelma es batu, kelembutan yang meninggalkan kesan palsu, atau kebijaksanaan
hati yang diobral sana-sini, hanya itu yang ada. Apa kau akan terus bertanya
kemana sang jarak dan waktu membawanya pergi? Sekali lagi, ini bukan soal jarak
terlebih waktu. Ini soal kabar yang terlambat kau surati :
“Selamat pagi, kabar baik
kan, Ta? Maaf sudah satu bulan tak menyuratimu, kau pasti khawatir akan
keadaanku. Aku baik, Ta. Dan selalu lebih baik ketika menulis surat untukmu.
Yang justru kukhawatirkan adalah orang-orang di sekelilingku yang selalu penuh
kasih terhadapku. Tak pernah kulewatkan perhatian dari mereka dalam hal sekecil
apapun. Mereka membantuku berdiri saat aku terjatuh, membawakanku obat saat aku
sakit, juga datang padaku ketika aku merindukannya. Aku mulai khawatir, Ta,
saat kotak suratku dipenuhi surat dari mereka, bukan suratmu. Aku khawatir
mereka lebih dulu melelehkanku dengan kehangatannya yang rutin, mengalahkan
sikapmu yang dingin dan membuatku menggigil. Aku merasa penantianku mulai
goyah, Ta. Aku merasa hampir kalah, walaupun aku jelas belum menyerah. Kau
begitu spesial, tapi rupanya aku bukan satu-satunya yang spesial untukmu.
Kadang aku kurang paham, bagaimana bisa kau sebut itu spesial? Aku memang tidak
pernah memahamimu, karena aku enggan mencobanya, Ta. Buatku, bicara tentangmu
tak perlu pemahaman. Sampai di sini dulu suratku. Segera setelah kau membaca
seamplop rindu ini, aku akan tahu. Jaga kesehatan ya, Ta. Kudengar akhir-akhir
ini flu dan batuk mewabah di sana. Selamat pagi, salam rindu yang teramat untuk Cinta”
Wewww...
ReplyDeleteBahasanyaaa ^.^ Sukaa
Rindu bukan soal jarak dan waktu. Terbukti kau jauh lebih merindukan kehangatannya dibanding sosoknya yang bisa kau peluk kapan saja. Kau lebih merindukan kelembutannya dibanding suaranya yang bisa kau dengarkan via telepon kapan saja. Kau amat sangat merindukan kebijaksanaan hatinya dibanding membaca pikiran-pikirannya lewat aksara. Kau jauh merindukan apa-apa yang ada padanya dibanding pada dirinya sendiri.
:)) ciye ciye dinii..
Delete