10/06/2013

Rindu Pancasila





buku pinjem dari si @bedoenmaulan

Judul              : Merajut Nusantara – RINDU PANCASILA
No. ISBN        : 978-979-709-527-7 
Penulis            : Kolumnis dan Wartawan Kompas
Penerbit          : Kompas
Tgl terbit        : Oktober – 2010
Jml Halaman : 232
Kategori         : Kebangsaan
Teks Bahasa   : Indonesia


“...warisan luhur yang dipuji berbagai tokoh dunia itu dianggap sudah apak basi... dianggap tidak relevan. (Pancasila) tidak hanya tidak dihayati, dihafalkan anak sekolah pun tidak, apalagi dipraktikkan dalam praksis1 kehidupan bernegara dan berbangsa...”

Itulah sepenggal tulisan St. Sularto (hal. 5) yang dirasa tepat jika disebut sebagai latar belakang Kompas menerbitkan buku Merajut Nusantara, Rindu Pancasila. Buku ini merupakan antologi2 dari tulisan-tulisan yang pernah dimuat di harian Kompas tertanggal 10 - 30 Agustus 2010.

Ada dua sub-tema yang secara khusus diwacanakan dalam 46 judul karya tulis buah pengamatan, pengkajian dan perenungan  para wartawan Kompas serta sejumlah esais3 tamu ini. Pertama, soal kesenjangan yang kian lebar antara semangat, impian, cita-cita dan idealisme kemerdekaan dulu–zaman pergerakan Nasional hingga era Revolusi–dengan realitas bernegara yang berkembang masa kini.

Kedua, persoalan yang menyangkut kian diabaikan dan dilupakannya Pancasila, mahakarya para pendiri Republik Indonesia, sebagai acuan dasar bangsa dalam berpikir, bertutur, dan bertindak.

Tulisan Jakoeb Oetama dan Rikard Bangun (Pemred Kompas) menjadi prawacana atau bisa diposisikan sebagai keynote addresses4 dalam buku ini. Ulasan keduanya yang mengusung judul Refleksi Hari Proklamasi (Jakob Oetama) dan Pancasila Janganlah Diabaikan (Rikard Bangun) bersifat mendasar dan menyeluruh, holistik5, dalam menanggapi persoalan kebangsaan dan kenegaraan, termasuk Pancasila.

Dalam Refleksi Hari Proklamasi, Jakob menuliskan alinea kedua dan keempat Preambul UUD 1945. Ia mengungkapkan betapa historis, penuh makna, dan keramat isinya. Deklarasi kemerdekaan dan Pembukaan UUD 1945 kemudian terurai dalam pasal-pasal konstitusi. Misalnya, yang paling sering muncul di soal ujian Sekolah Dasar, perihal kesejahteraan sosial Pasal 34 UUD 1945 yang berbunyi, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara”. Kini, saat kita membaca dan atau mendengarnya, ada perasaan terharu, bergetar, bersyukur, dan menggungat.

Menggugat, karena kita bersama dihadapkan pada berbagai masalah, kekurangan, dan tantangan. Paling strategis dan  mencolok adalah kultur kekuasaan yang sama sekali tidak menganut asketisisme6. Meski telah setengah abad lebih Indonesia merdeka, kita justru masih berkubang dalam kecenderungan dari praktik penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan alias korupsi. Pengawasan hukum, budaya demokrasi politik serta nilai-nilai Pancasila belum berhasil menghapuskan budaya feodal7 kita dari kekuasaan. Ya, menggugat, karena ada dimensi dan tuntutan pengorbanan bagi kepentingan rakyat yang kian tertindas di bawah sana.

Bab I mengangkat Kebertuhanan dan Kesalehan Sosial sebagai sila pertama yang dianut Republik tua ini. Munculnya perda-perda syariah bermasalah menyangkut praksis keberagamaan, merebaknya partai-partai politik berdasarkan agama, menunjukan belum tuntasnya hubungan agama dan negara. Padahal, sejak awal sudah disadari realitas kemajemukan merupakan berkah.

Selanjutnya adalah Kemanusiaan, Keadilan, Keberadaban. Bab II ini terdiri dari tujuh judul esai yang ditulis tujuh orang esais, salah satunya seorang perempuan. Maria Hartiningsih dalam Banalitas8 Kekerasan, Defisit9 Kemanusiaan mengecam dengan tegas retorika10 politik yang tiada henti menggemakan jargon keramahan, menggaungkan ayat-ayat suci, serta meneriakkan kemanusiaan dan hak asasi manusia. Namun, penghormatan pada hidup menguap. Kekerasan vertikal maupun horisontal terpapar, menjadikannya seperti tontonan, layaknya pornografi yang dinikmati diam-diam.

Bab-bab selanjutnya, yaitu Bab III hingga V, berisi tulisan-tulisan yang mencoba menafsir ulang makna dan semangat sila demi sila yang ada dalam Pancasila, serta mengaitkannya dengan kondisi riil masyarakat kita saat ini.

Bab VI berisi tulisan-tulisan beragam impian, cita-cita, dan harapan bangsa di Era Pergerakan Nasional dan zaman revolusi kemerdekaan 1945 dengan realitas bangsa. Sedangkan Bab VII berisi empat tulisan terakhir yang merupakan refleksi dari polemik dalam masyarakat yang muncul di sekitar hari peringatan kemerdekaan negara kita di usianya yang ke 65.


Catatan Kaki
1 kegiatan praktis manusia
2 kumpulan karya tulis pilihan dari seorang atau beberapa orang pengarang
3 penulis esai
4 kunci pembahasan
5 pandangan menyeluruh
6 paham yg mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban
7 budaya nilai pelayanan yang berlebihan terhadap penguasa, yang dituakan, dan diakui keberadaannya
8 keburukan; tidak elok
9 kekurangan
10 studi karang-mengarang; seni berpidato yang muluk dan bombastis


            Dari resume di atas, jelas sekali tergambar bahwa persoalan yang harus(nya) dihadapi adalah antipati warga negara terhadap dasar negaranya, Pancasila. Sesaat setelah membaca habis buku ini, muncul beberapa pertanyaan dalam benak saya:

Mengapa Pancasila dianggap sudah apak basi?
Ketika suatu negara berdiri tanpa ada pengamalan dasar negara yang serius, apa yang ditunggu selain kehancurannya sendiri? Kehancuran dari segala sudut seperti perekonomian, kesejahteraan, perdamaian, bahkan krisis kemanusiaan. Mengutip kata Francis Fukuyama, seorang pengamat masalah global, bahwa ancaman terbesar abad ke-21 ini adalah “negara gagal”, yaitu negara yang menyandang tanda-tanda kemiskinan, pengangguran, konflik antarkelompok, dan merebaknya aksi teror.

Memungut Pancasila sebagai antisipasi kecenderungan “negara gagal”, ibarat berseru di padang pasir, tak akan terdengar suaranya bahkan walau sampai pita suara putus. Warisan luhur yang dipuji berbagai tokoh dunia itu, karena kesalahan praktik pemerintahan, dianggap apak basi. Ada tiga faktor, menurut Azyumardi Azra (esais pengusung revitalisasi Pancasila), yang membuat Pancasila tetap marginal dalam perkembangan politik Indonesia.

Pertama, Pancasila masih dipandang tercemar karena kebijakan rezim Soeharto yang menjadikan Pancasila sebagai alat politik mempertahankan status quo kekuasaan.

Kedua, penghapusan ketentuan oleh B.J Habibie tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas yang memberikan peluang bagi adopsi asas-asas ideologi lain.

Ketiga, desentralisasi dan otonomi daerah yang tentu membangun semangat kedaerahan namun tumpang tindih dengan semangat nasionalisme. Tak jarang mereka bersikukuh memisahkan diri dari NKRI. Ketiga faktor itulah menurut Azra merupakan sebab utama lumpuhnya fungsi Pancasila.

Permasalahan apa saja yang mengakar dalam setiap butir sila Pancasila?
Agar lebih intens, mari kita mengunjungi butir-butir Pancasila yang nilai-nilainya gagal bertransformasi. Menyoroti sila pertama, ada fakta kontradiksi yang sangat kita sadari keberadaannya. Disaat masyarakat berlomba-lomba menunjukan kegairahannya beragama, dengan banyaknya penguatan pemahaman beragama dan simbol-simbol keagamaan, disaat itu pula praktik korupsi marak di negeri ini. Tidak hanya pejabat berpangkat tinggi, tapi aparat di tingkat bawah juga terjerat kasus suap dan korupsi. Korupsi seperti menjalar di dalam aliran darah bangsa Indonesia. Padahal, Indonesia dibangun dengan fondasi agama yang kuat, Ketuhanan Yang Mahaesa. Lalu kebertuhanan seperti apa yang dijalankan selama ini?
Naik satu langkah ke sila berikutnya, kali ini diparodikan oleh Ahmad Arif (esais) sebagai Korupsi Kemanusiaan, Kemanusiaan yang Terkorupsi. Di sekitar kita, kemanusiaan baru menampakkan wajahnya saat terjadi bencana atau konflik besar. Itu pun bersifat semu dan sangat sementara. Bahkan tak sedikit yang memanfaatkan untuk kepentingan politik. Lihat saja umbul-umbul bertuliskan “Selamatkan pahlawan devisa dari kejamnya Malaysia” dan di pojok kanan-kiri tersisipkan lambang partai. Lebih dahsyat lagi, timeline pejabat daerah, politisi, wakil rakyat bahkan menteri, dipenuhi kicauan tentang “Peduli TKI” dan tagar #saveTKI yang tentu saja bertujuan menarik massa. Namun, kampanye terselubung itu justru membuat rakyat semakin muak. Bagaimana tidak, di tengah kemelaratan rakyat negeri kaya sumber daya alam ini, para penguasa hanya berkoar janji, bersekongkol menyiapkan strategi pencurian hak rakyat.

Beranjak ke sila nomor tiga, Merajut Benang Rapuh Bernama Persatuan. Secara kuno, Gadjah Mada telah mempersatukan kita dengan Sumpah Palapa. Bung Karno melahirkan sumpah lainnya atas nama pemuda. Soeharto dengan visi misinya meluncurkan satelit Palapa dengan tujuan utama yang sama, persatuan Indonesia. Habibie dengan difusi sains dan teknologi, serta Gus Dur yang mengejawantahkan lagi ide persatuan ke ranah kehidupan nyata. Selintas mengenang kembali aksi konkret dan komitmen empat pemimpin bangsa di atas, membuat kita berkesimpulan bahwa pada dasarnya kesatuan dan persatuan adalah rapuh. Bangsa yang beragam ataupun homogen, membutuhkan persatuan. Sedangkan bersatu dalam keragaman tergolong utopis, manakala para pemimpin dan yang dipimpin lalai mengerjakan tanggung jawab masing-masing.

Disinggung kalimat terakhir pada paragraf sebelumnya mengenai utopis atau bersifat utopia, sila ke lima Pancasila malah jauh lebih tepat menggunakan kata itu. Utopia Keadilan Sosial, cocok sekali menyambung tangan rakyat yang rindu pada keadilan. Bicara mengenai keadilan, terbesit ribuan tanda tanya dalam ribuan pola pikir rakyat Indonesia, “yang bagaimana disebut adil?”. Hal ini sempat saya dan teman-teman diskusikan pada presentasi saya beberapa pekan lalu. Hukum adalah penegak keadilan. Siapa pun yang mencuri akan dikenakan sanksi sesuai pasal. Satu hal yang menggelitik, apakah pencuri sandal jepit dan pencuri uang rakyat alias koruptor dikenai pasal yang sama? Kenyataannya, Ya. Bahkan hukuman bagi nenek Minah, pencuri buah coklat, lebih mencekik daripada hukum yang menjerat Malinda Dee. Kembali lagi pada budaya feodal kita, mengutip kata Krabs, salah satu tokoh dalam kartun Sponge Bob, bahwa “Money is talking”. Asal ada uang, asal bapak senang. Jadi, sila Keadilan Sosial sudah sulit sekali dimaknai, yang ada hanya Ketidakadilan Sosial.

Demokrasi dan Materialisme, itulah parodi sila ke empat. Dua judul esai dalam bab ini sepertinya layak mewakili enam esai lainnya. Pertama adalah “Menjalani eksperimen demokrasi” oleh Budiman Tanuredjo, dan “Permusyawaratan yang Hilang” oleh Anita Yossihara. Budiman dalam tulisannya, mengimani bahwa demokrasi hanyalah eksperimen. Di sisi lain saya menilai praksis demokrasi kita baru sampai pada tahap bentuk, praktik, dan sistemnya yang formal. Artinya, demokrasi baru pada tahap prosedural, belum substansial. Mengenai permusyawaratan yang dinilai hilang oleh Anita, Soekarno sendiri telah mencoba menegaskan betapa urgensinya nilai tersebut. Dalam pidatonya pada hari Pancasila, 1 Juni 1945, Soekarno berkata, “...syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan...”. Kenyataannya, hingga 12 tahun setelah reformasi, demokrasi di Indonesia masih tergolong semu. Contoh konkretnya, hasil pemilu langsung oleh rakyat merupakan salah satu unsur demokrasi, tapi apakah asas bebas, jujur dan adil sudah terpenuhi? Sebab, rezim pemilu langsung justru melahirkan politik uang, kekerasan dan kecurangan lain. Itu jelas keluar dari nilai-nilai demokrasi kerakyatan.

Apakah pencapaian cita-cita kemerdekaan merupakan ukuran kecintaan kita terhadap Indonesia?
           Tak mudah mencintai Indonesia jika cita-cita berdirinya Republik ini yang menjadi ukuran kecintaan kita. Cita-cita mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Ditambah lagi janji akan membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Cita-cita tulus barusan seolah kata-kata tak bermakna dan membuat orang bertanya, “Apa alasan kita untuk masih mencintai Indonesia?”

Membandingkan cita-cita kemerdekaan dengan realitas sosial kita selama ini adalah upaya membangkitkan kesadaran kritis, yaitu “membuka jalan ke arah pengungkapan ketidakpuasan sosial secara tepat, karena ketidak puasan itulah unsur nyata dari sebuah situasi menindas” (Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas). Sehingga seharusnya, muncul optimisme bahwa kemiskinan, kebodohan, ketimpangan sosial, ketidakpedulian, dapat kita atasi bersama secara rasional dan realistis.

Lalu bagaimana cara mencintai Indonesia?
Entahlah, tapi kalau boleh, saya hanya akan mengutip kata Sutan Sjahrir dalam Renungan Indonesia sebagai penutup wacana ini:

“Aku cinta pada negeri ini, terutama barangkali karena aku selalu mengenal mereka sebagai pihak yang menderita, pihak yang kalah”

Untuk itu, optimislah dan jangan pernah letih mencintai Indonesia.

                                                                                                            Salam Garuda di dada :)

No comments:

Post a Comment

komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)