buku pinjem dari si @bedoenmaulan |
Judul : Merajut Nusantara – RINDU
PANCASILA
No.
ISBN : 978-979-709-527-7
Penulis : Kolumnis dan Wartawan Kompas
Penerbit : Kompas
Tgl
terbit : Oktober – 2010
Jml
Halaman : 232
Kategori : Kebangsaan
Teks
Bahasa : Indonesia
“...warisan luhur yang dipuji
berbagai tokoh dunia itu dianggap sudah apak basi... dianggap tidak relevan.
(Pancasila) tidak hanya tidak dihayati, dihafalkan anak sekolah pun tidak,
apalagi dipraktikkan dalam praksis1
kehidupan bernegara dan berbangsa...”
Itulah
sepenggal tulisan St. Sularto (hal. 5) yang dirasa tepat jika disebut sebagai
latar belakang Kompas menerbitkan
buku Merajut Nusantara, Rindu Pancasila. Buku ini merupakan antologi2
dari tulisan-tulisan yang pernah dimuat di harian Kompas tertanggal 10 - 30 Agustus 2010.
Ada
dua sub-tema yang secara khusus diwacanakan dalam 46 judul karya tulis buah
pengamatan, pengkajian dan perenungan para wartawan Kompas serta sejumlah esais3 tamu ini. Pertama, soal
kesenjangan yang kian lebar antara semangat, impian, cita-cita dan idealisme
kemerdekaan dulu–zaman pergerakan Nasional hingga era Revolusi–dengan realitas
bernegara yang berkembang masa kini.
Kedua,
persoalan yang menyangkut kian diabaikan dan dilupakannya Pancasila, mahakarya
para pendiri Republik Indonesia, sebagai acuan dasar bangsa dalam berpikir,
bertutur, dan bertindak.
Tulisan
Jakoeb Oetama dan Rikard Bangun (Pemred Kompas)
menjadi prawacana atau bisa diposisikan sebagai keynote addresses4 dalam buku ini. Ulasan keduanya yang
mengusung judul Refleksi Hari Proklamasi
(Jakob Oetama) dan Pancasila Janganlah
Diabaikan (Rikard Bangun) bersifat mendasar dan menyeluruh, holistik5,
dalam menanggapi persoalan kebangsaan dan kenegaraan, termasuk Pancasila.
Dalam
Refleksi Hari Proklamasi, Jakob
menuliskan alinea kedua dan keempat Preambul UUD 1945. Ia mengungkapkan betapa
historis, penuh makna, dan keramat isinya. Deklarasi kemerdekaan dan Pembukaan
UUD 1945 kemudian terurai dalam pasal-pasal konstitusi. Misalnya, yang paling
sering muncul di soal ujian Sekolah Dasar, perihal kesejahteraan sosial Pasal
34 UUD 1945 yang berbunyi, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara
negara”. Kini, saat kita membaca dan atau mendengarnya, ada perasaan terharu,
bergetar, bersyukur, dan menggungat.
Menggugat,
karena kita bersama dihadapkan pada berbagai masalah, kekurangan, dan tantangan.
Paling strategis dan mencolok adalah
kultur kekuasaan yang sama sekali tidak menganut asketisisme6. Meski
telah setengah abad lebih Indonesia merdeka, kita justru masih berkubang dalam
kecenderungan dari praktik penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan alias korupsi.
Pengawasan hukum, budaya demokrasi politik serta nilai-nilai Pancasila belum
berhasil menghapuskan budaya feodal7 kita dari kekuasaan. Ya, menggugat,
karena ada dimensi dan tuntutan pengorbanan bagi kepentingan rakyat yang kian
tertindas di bawah sana.
Bab
I mengangkat Kebertuhanan dan Kesalehan
Sosial sebagai sila pertama yang dianut Republik tua ini. Munculnya
perda-perda syariah bermasalah menyangkut praksis keberagamaan, merebaknya
partai-partai politik berdasarkan agama, menunjukan belum tuntasnya hubungan
agama dan negara. Padahal, sejak awal sudah disadari realitas kemajemukan
merupakan berkah.
Selanjutnya
adalah Kemanusiaan, Keadilan,
Keberadaban. Bab II ini terdiri dari tujuh judul esai yang ditulis tujuh orang
esais, salah satunya seorang perempuan. Maria Hartiningsih dalam Banalitas8 Kekerasan, Defisit9
Kemanusiaan mengecam dengan tegas retorika10 politik yang tiada
henti menggemakan jargon keramahan, menggaungkan ayat-ayat suci, serta
meneriakkan kemanusiaan dan hak asasi manusia. Namun, penghormatan pada hidup
menguap. Kekerasan vertikal maupun horisontal terpapar, menjadikannya seperti
tontonan, layaknya pornografi yang dinikmati diam-diam.
Bab-bab
selanjutnya, yaitu Bab III hingga V, berisi tulisan-tulisan yang mencoba
menafsir ulang makna dan semangat sila demi sila yang ada dalam Pancasila,
serta mengaitkannya dengan kondisi riil masyarakat kita saat ini.
Bab
VI berisi tulisan-tulisan beragam impian, cita-cita, dan harapan bangsa di Era
Pergerakan Nasional dan zaman revolusi kemerdekaan 1945 dengan realitas bangsa.
Sedangkan Bab VII berisi empat tulisan terakhir yang merupakan refleksi dari
polemik dalam masyarakat yang muncul di sekitar hari peringatan kemerdekaan
negara kita di usianya yang ke 65.
Catatan Kaki
1
kegiatan praktis manusia
2
kumpulan karya tulis pilihan dari seorang atau beberapa orang pengarang
3
penulis esai
4
kunci pembahasan
5
pandangan menyeluruh
6
paham yg mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban
7
budaya nilai pelayanan yang berlebihan terhadap penguasa, yang dituakan, dan
diakui keberadaannya
8
keburukan; tidak elok
9
kekurangan
10
studi karang-mengarang; seni berpidato yang muluk dan bombastis
Dari resume di atas, jelas sekali tergambar bahwa
persoalan yang harus(nya) dihadapi adalah antipati warga negara terhadap dasar
negaranya, Pancasila. Sesaat setelah membaca habis buku ini, muncul beberapa pertanyaan
dalam benak saya:
Mengapa Pancasila dianggap sudah
apak basi?
Ketika
suatu negara berdiri tanpa ada pengamalan dasar negara yang serius, apa yang
ditunggu selain kehancurannya sendiri? Kehancuran dari segala sudut seperti
perekonomian, kesejahteraan, perdamaian, bahkan krisis kemanusiaan. Mengutip kata
Francis Fukuyama, seorang pengamat masalah global, bahwa ancaman terbesar abad ke-21 ini adalah “negara gagal”, yaitu negara
yang menyandang tanda-tanda kemiskinan, pengangguran, konflik antarkelompok,
dan merebaknya aksi teror.
Memungut
Pancasila sebagai antisipasi kecenderungan “negara gagal”, ibarat berseru di
padang pasir, tak akan terdengar suaranya bahkan walau sampai pita suara putus.
Warisan luhur yang dipuji berbagai tokoh dunia itu, karena kesalahan praktik
pemerintahan, dianggap apak basi. Ada tiga faktor, menurut Azyumardi Azra
(esais pengusung revitalisasi Pancasila), yang membuat Pancasila tetap marginal
dalam perkembangan politik Indonesia.
Pertama,
Pancasila masih dipandang tercemar karena kebijakan rezim Soeharto yang
menjadikan Pancasila sebagai alat politik mempertahankan status quo kekuasaan.
Kedua,
penghapusan ketentuan oleh B.J Habibie tentang Pancasila sebagai satu-satunya
asas yang memberikan peluang bagi adopsi asas-asas ideologi lain.
Ketiga,
desentralisasi dan otonomi daerah yang tentu membangun semangat kedaerahan
namun tumpang tindih dengan semangat nasionalisme. Tak jarang mereka bersikukuh
memisahkan diri dari NKRI. Ketiga faktor itulah menurut Azra merupakan sebab
utama lumpuhnya fungsi Pancasila.
Permasalahan
apa saja yang mengakar dalam setiap butir sila Pancasila?
Agar
lebih intens, mari kita mengunjungi butir-butir Pancasila yang nilai-nilainya
gagal bertransformasi. Menyoroti sila pertama, ada fakta kontradiksi yang
sangat kita sadari keberadaannya. Disaat masyarakat berlomba-lomba menunjukan
kegairahannya beragama, dengan banyaknya penguatan pemahaman beragama dan
simbol-simbol keagamaan, disaat itu pula praktik korupsi marak di negeri ini.
Tidak hanya pejabat berpangkat tinggi, tapi aparat di tingkat bawah juga
terjerat kasus suap dan korupsi. Korupsi seperti menjalar di dalam aliran darah
bangsa Indonesia. Padahal, Indonesia dibangun dengan fondasi agama yang kuat,
Ketuhanan Yang Mahaesa. Lalu kebertuhanan seperti apa yang dijalankan selama
ini?
Naik
satu langkah ke sila berikutnya, kali ini diparodikan oleh Ahmad Arif (esais)
sebagai Korupsi Kemanusiaan, Kemanusiaan
yang Terkorupsi. Di sekitar kita, kemanusiaan baru menampakkan wajahnya
saat terjadi bencana atau konflik besar. Itu pun bersifat semu dan sangat
sementara. Bahkan tak sedikit yang memanfaatkan untuk kepentingan politik.
Lihat saja umbul-umbul bertuliskan “Selamatkan pahlawan devisa dari kejamnya
Malaysia” dan di pojok kanan-kiri tersisipkan lambang partai. Lebih dahsyat
lagi, timeline pejabat daerah, politisi, wakil rakyat bahkan menteri, dipenuhi
kicauan tentang “Peduli TKI” dan tagar #saveTKI yang tentu saja bertujuan menarik
massa. Namun, kampanye terselubung itu justru membuat rakyat semakin muak.
Bagaimana tidak, di tengah kemelaratan rakyat negeri kaya sumber daya alam ini,
para penguasa hanya berkoar janji, bersekongkol menyiapkan strategi pencurian
hak rakyat.
Beranjak
ke sila nomor tiga, Merajut Benang Rapuh
Bernama Persatuan. Secara kuno, Gadjah Mada telah mempersatukan kita dengan
Sumpah Palapa. Bung Karno melahirkan sumpah lainnya atas nama pemuda. Soeharto
dengan visi misinya meluncurkan satelit Palapa dengan tujuan utama yang sama,
persatuan Indonesia. Habibie dengan difusi sains dan teknologi, serta Gus Dur
yang mengejawantahkan lagi ide persatuan ke ranah kehidupan nyata. Selintas
mengenang kembali aksi konkret dan komitmen empat pemimpin bangsa di atas, membuat
kita berkesimpulan bahwa pada dasarnya kesatuan dan persatuan adalah rapuh.
Bangsa yang beragam ataupun homogen, membutuhkan persatuan. Sedangkan bersatu
dalam keragaman tergolong utopis, manakala para pemimpin dan yang dipimpin
lalai mengerjakan tanggung jawab masing-masing.
Disinggung
kalimat terakhir pada paragraf sebelumnya mengenai utopis atau bersifat utopia,
sila ke lima Pancasila malah jauh lebih tepat menggunakan kata itu. Utopia Keadilan Sosial, cocok sekali
menyambung tangan rakyat yang rindu pada keadilan. Bicara mengenai keadilan,
terbesit ribuan tanda tanya dalam ribuan pola pikir rakyat Indonesia, “yang bagaimana disebut adil?”. Hal ini
sempat saya dan teman-teman diskusikan pada presentasi saya beberapa pekan
lalu. Hukum adalah penegak keadilan. Siapa pun yang mencuri akan dikenakan
sanksi sesuai pasal. Satu hal yang menggelitik, apakah pencuri sandal jepit dan
pencuri uang rakyat alias koruptor dikenai pasal yang sama? Kenyataannya, Ya.
Bahkan hukuman bagi nenek Minah, pencuri buah coklat, lebih mencekik daripada
hukum yang menjerat Malinda Dee. Kembali lagi pada budaya feodal kita, mengutip
kata Krabs, salah satu tokoh dalam kartun Sponge Bob, bahwa “Money is talking”.
Asal ada uang, asal bapak senang. Jadi, sila Keadilan Sosial sudah sulit sekali
dimaknai, yang ada hanya Ketidakadilan Sosial.
Demokrasi dan
Materialisme, itulah parodi sila ke empat. Dua judul
esai dalam bab ini sepertinya layak mewakili enam esai lainnya. Pertama adalah “Menjalani eksperimen demokrasi” oleh
Budiman Tanuredjo, dan “Permusyawaratan
yang Hilang” oleh Anita Yossihara. Budiman dalam tulisannya, mengimani
bahwa demokrasi hanyalah eksperimen. Di sisi lain saya menilai praksis
demokrasi kita baru sampai pada tahap bentuk, praktik, dan sistemnya yang
formal. Artinya, demokrasi baru pada tahap prosedural, belum substansial.
Mengenai permusyawaratan yang dinilai hilang oleh Anita, Soekarno sendiri telah
mencoba menegaskan betapa urgensinya nilai tersebut. Dalam pidatonya pada hari
Pancasila, 1 Juni 1945, Soekarno berkata, “...syarat yang mutlak untuk kuatnya
negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan...”. Kenyataannya, hingga 12
tahun setelah reformasi, demokrasi di Indonesia masih tergolong semu. Contoh
konkretnya, hasil pemilu langsung oleh rakyat merupakan salah satu unsur
demokrasi, tapi apakah asas bebas, jujur dan adil sudah terpenuhi? Sebab, rezim
pemilu langsung justru melahirkan politik uang, kekerasan dan kecurangan lain.
Itu jelas keluar dari nilai-nilai demokrasi kerakyatan.
Apakah
pencapaian cita-cita kemerdekaan merupakan ukuran kecintaan kita terhadap
Indonesia?
Tak mudah mencintai Indonesia jika
cita-cita berdirinya Republik ini yang menjadi ukuran kecintaan kita. Cita-cita
mengantarkan
rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Ditambah lagi janji akan membentuk
suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Cita-cita tulus barusan seolah kata-kata tak bermakna dan membuat orang
bertanya, “Apa alasan kita untuk masih mencintai Indonesia?”
Membandingkan
cita-cita kemerdekaan dengan realitas sosial kita selama ini adalah upaya
membangkitkan kesadaran kritis, yaitu “membuka jalan ke arah pengungkapan
ketidakpuasan sosial secara tepat, karena ketidak puasan itulah unsur nyata
dari sebuah situasi menindas” (Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas).
Sehingga seharusnya, muncul optimisme bahwa kemiskinan, kebodohan, ketimpangan
sosial, ketidakpedulian, dapat kita atasi bersama secara rasional dan realistis.
Lalu bagaimana cara
mencintai Indonesia?
Entahlah,
tapi kalau boleh, saya hanya akan mengutip kata Sutan Sjahrir dalam Renungan
Indonesia sebagai penutup wacana ini:
“Aku
cinta pada negeri ini, terutama barangkali karena aku selalu mengenal mereka
sebagai pihak yang menderita, pihak yang kalah”
Untuk itu, optimislah
dan jangan pernah letih mencintai
Indonesia.
Salam
Garuda di dada :)
No comments:
Post a Comment
komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)