pict from: google |
Pada tulisan saya kali ini, seperti janji saya pada postingan sebelumnya, saya akan membahas tentang PLPG. PLPG yang lebih dulu saya katakan sebagai program bid’ah, kini saya perkenalkan sebagai jalan pintas, pintu darurat. Kenapa?
Sebelumnya,
mari kita kenalan dengan kakak PLPG yang bernama PPG. Jadi sebelum PLPG lahir,
lebih dulu, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa guru
adalah pendidik profesional. Guru profesional harus memiliki kualifikasi akademik
minimum sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV), menguasai kompetensi
(pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian), memiliki sertifikat pendidik,
sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional. UU tersebut juga mendefinisikan bahwa profesional adalah
pekerjaan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi
standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Yang
barusan saya kutip dari buku Pedoman Penetapan Peserta Sertifikasi Guru Tahun
2013.
Nah, oke kan undang-undang
kita ini. Guru dianggap sebagai tenaga profesional dan memerlukan pendidikan
profesi, setara dengan dokter, farmasi, lawyer, yang harus mengikuti pendidikan
lanjutan, baru deh - kalau bahasa saya - terakreditasi.
Pendidikan
lanjutan itu diberi nama Pendidikan Profesi Guru (PPG). Nah, yang namanya
pendidikan itu harus ditempuh dalam waktu yang tidak sebentar, minimal setahun.
Sedangkan, saat UU tersebut ditandatangani Presiden pada tahun 2005, hampir 50%
guru-guru kita belum sarjana. Berarti mereka harus “lanjut sekolah” baru
setelah itu mengikuti PPG. Disamping itu, guru2 yang sudah S1, mayoritas sudah
tidak muda lagi, sudah berkeluarga, mengajar di mana-mana demi memenuhi jam
tatap muka (sesuai aturan pendidikan yang lain), juga punya kesibukan2 lainnya.
Sehingga, untuk mengikuti PPG rasanya hampir tidak mungkin karena tentu harus
meninggalkan kegiatan2 mereka, terutama meninggalkan kelas. Oleh karena itu,
PPG bisa dibilang tidak jalan. Padahal, dengan adanya PPG, kesejahteraan guru
akan lebih baik. Apa yang ada di benak orang ketika mendengar kata sertifikasi,
tidak lain adalah gaji yang berlipat dari gaji pokok. Mengingat ketidak
sejahteraan guru saat itu, PPG saya pandang sebagai solusi. Guru yang dilatih
menjadi pendidik profesional, akan melahirkan siswa-siswi Indonesia yang luar
biasa. Kualitas pendidikan akan meningkat toh? Logikanya sih begitu. Tapi ya,
karena beberapa kendala yang saya paparkan tadi jadi saja PPG ini kurang
membuahkan hasil.
Tetapi,
rupanya pemerintah tidak menyerah sampai di situ. Pada tahun 2007, Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG)
lahir. Hukum
yang mendasari lahirnya program tersebut adalah Permendiknas No. 18 tahun 2007
tentang sertifikasi bagi guru dalam jabatan. Peraturan menteri tersebut
sedikitnya menyiratkan bahwa syarat sertifikasi guru cukup dengan mengumpulkan
portofolio dan mengikuti PLPG.
Dipandang dari segi waktu
pelaksanaan, pendidikan profesi (PPG)
tentu berbeda dengan program pelatihan (PLPG) yang relatif lebih singkat.
Padahal, guru-guru yang dinyatakan lulus PPG maupun PLPG sama-sama menerima
sertifikat profesional guru (sertifikasi).
PPG dilaksanakan selama 2
semester bagi mahasiswa pendidikan, dan 3 semester bagi mahasiswa non.dik.
Sedangkan dalam PLPG hanya mengenal diklat dan portofolio. Nah, supaya terkesan
tidak “jomplang”, kurikulumnya disamakan dengan PPG: Pedagogik, Profesi, dan R
& D (Research and Development).
Menurut informasi yang saya
dapat dari seorang dosen pengajar di PLPG, pertama, peserta PLPG diberi materi
pengembangan profesi, setelah itu diperkenalkan dengan kurikulum 2013,
pedalaman materi, metode-metode mengajar, pengembangan RPP, sampai latihan
mengajar. Berbeda dengan PPG yang latihan mengajarnya berlangsung selama 6
bulan dan ditempatkan di sekolah, PLPG hanya 2 hari: 1 hari peer teaching, 1
hari ujian, itu pun dengan teman-teman di kelas PLPG. Jadi materi yang
seharusnya untuk 6 bulan, kilat menjadi 9 hari.
Ini pun menjadi polemik, khususnya di kalangan LPTK termasuk kampus saya, UPI, sebagai pelaksana PLPG. Pertama, peraturan menteri ini jelas “bertabrakan” dengan Undang-undang. Pelatihan 9 hari sebagai pengganti pendidikan profesi jelas menyalahi UU, tapi kenapa tetap dilaksanakan? Mengutip kata dosen saya lagi, ini jadi buah simalakama, kalau tidak dijalankan ini Permen, kalau dijalankan menyalahi UU. Ya baiklah, selamat datang di tata hukum negara kita.
Di samping itu, persyaratan peserta PLPG pun tidak menyebutkan jurusan asal peserta, melainkan salah satunya, telah menyelesaikan pendidikan S1 dan berpengalaman mengajar mata pelajaran tertentu selama minimum 5 tahun. Hal tersebut menunjukan bahwa guru merupakan profesi terbuka: siapa pun bisa menjadi guru. Buat apa ada “S.Pd” kalau sarjana pertanian pun bisa menjadi guru, nggak tanggung2, guru profesional. Karena memang tidak diaturnya tentang penjurusan ini, mengakibatkan peserta PLPG berasal dari berbagai jurusan kependidikan maupun non.dik, asalkan tadi, berpengalaman mengajar minimal 5 tahun. Praktisnya, misal ada seorang sarjana agama, sudah mengajar matematika di SD selama 6 tahun. Berdasarkan aturan, ia berhak mengikuti PLPG dengan konsentrasi matematika, dan jika lulus, otomatis akan dinobatkan sebagai guru matematika profesional, sesuai permen tadi.
Point lainnya yang saya soroti adalah “berpengalaman mengajar”. Sempat terpikir bahwa mungkin guru yang berpengalaman dianggap sudah tidak perlu mengenyam pendidikan yang lama, melainkan cukup dengan PLPG. Tapi, ini kontradiksi dengan anggapan saya sebelumnya bahwa guru setara dengan dokter atau lawyer. Seberpengalamannya sarjana hukum jika belum mengikuti pendidikan profesi, selamanya hanya akan sebagai sarjana hukum, bukan lawyer, setahu saya begitu. Sedangkan guru, yang sama2 dianggap sebagai tenaga profesional, punya “pintu darurat” – istilah dosen saya. Dari sinilah saya menilai bahwa PLPG, boleh jadi, sebuah jalan pintas untuk menjadi guru bersertifikat profesional. Agak mustahil profesionalitas didapat dalam 9 hari, walaupun sudah berpengalaman, sepertinya tetap sulit.
Singkatnya waktu pelaksanaan PLPG juga bisa jadi terkendala oleh dana. Sekadar informasi, berbeda dengan PPG yang biayanya ditanggung mandiri oleh para mahasiswa, PLPG dibiayai oleh pemerintah. Mulai dari penginapan, makan, pelatihan, semuanya difasilitasi. Nah, saya nggak terbayang berapa rupiah yang harus dikeluarkan pemerintah untuk membiayai para peserta PLPG ini jika dilaksanakan selama 1 thn.
Seorang praktisi pendidikan dalam laman blognya pernah menuliskan saran, bahwa kenapa PLPG tidak dijadikan sebagai suatu pelatihan reguler saja? Jadi pelatihannya bertahap, misal bulan ini berapa sks, lalu disambung 3 bulan berikutnya. Ide bagus menurut saya, materi yang terlalu dipadatkan juga tidak bagus, dengan dicicil mungkin hasil pematerian akan lebih efektif. Tapi, kalau dicicil begitu, kasihan juga guru-guru kita yang harus menunggu lama untuk disertifikasi. Berasa di-php-in kalau istilah sekarang. Mending kalau lulus, kalau tidak, harus ikut ujian ulang, bahkan pelatihan ulang. Nah loh, katanya mau mensejahterakan guru?
Wah, tulisannya sudah panjang ya? Membahas PLPG memang tidak ada habisnya, belum lagi ditambah protes mahasiswa LPTK yang mulai mempertanyakan kelebihan kuliah di universitas keguruan dibanding di universitas lain, karena pada akhirnya siapapun dilegalkan menjadi guru.
Di samping berbagai polemik
tadi, kita pasti sama2 berharap PLPG berhasil meningkatkan kualitas guru yang
akan berimbas pada peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Setidaknya, PLPG
ini dapat mengubah mindset guru-guru kita, menambah kedisiplinan, memaksa
mereka untuk mau-tidak mau belajar lagi, serta melakukan pengajaran yang
terbaik sesuai dengan kapasitas diri dan kapasitas sekolah, itu saja dulu.
Jadi, kelebihan kuliah di
LPTK apa ya? Hmm.. mungkin di tulisan lain kita bahas.
Kelebihan kuliah di LPTK (1) Niat menjadi guru, ini ruhnya guru, (2) mengetahui lebih awal tentang kependidikan dibanding LPTK, baik teori, praktik maupun research pendidikan dsb. Maka jadilah lulusan LPTK yang berkualitas supaya tidak kalah dengan non-LPTK
ReplyDeletesetuju sekali!! tapi lulusan yg berkualitas dilihat dari apa ya? banyak juga yg niat jadi guru tapi sengaja ambil non-LPTK atau konsentrasi murni. Karena mmg untuk konsentrasi murni pembelajaran materinya lebih mendalam, tidak seperti yg ambil kependidikan -_-
Delete