7/26/2013

Kurikulum 2013 lahir prematur


ilustrated by: romokoko
Tanggal 15 Juli lalu, Kurikulum 2013 mulai diimplementasikan di beberapa sekolah di seluruh provinsi di Indonesia. Bedanya dengan KTSP yang sudah berlaku sejak tahun 2006 ini, Kurikulum 2013 lebih mengedepankan 3 aspek yakni pengetahuan, sikap dan keterampilan. Dalam evaluasi pun tentu polanya berbeda. KTSP hanya menilai aspek kognitif siswa, sedangkan Kurikulum 2013 memakai pendekatan portofolio. Untuk tingkat SD, penilaiannya berbentuk deskriptif murni, sedangkan untuk SMP dan SMA/SMAK penilaiannya berbentuk deskriptif dan kuantitatif. Sebagian sekolah swasta, bahkan sebelum adanya kurikulum 2013 ini, sudah menerapkan penilaian berbentuk deskriptif, artinya tidak hanya berupa angka seperti pada umumnya. Jadi, penilaian juga mencakup proses belajar peserta didik bukan hanya hasil akhir saat ujian sekolah.

Kurikulum 2013 ini, diimplementasikan secara bertahap sampai tahun 2015. Jadi, pemerintah menunjuk beberapa sekolah sasaran dari setiap provinsi di Indonesia untuk mengikuti serangkaian pelatihan dan nantinya memberlakukan kurikulum ini lebih dulu. Tujuannya, agar merata, di seluruh provinsi ada yang menggunakan kurikulum ini. Beberapa sekolah bahkan ada yang mengajukan diri secara mandiri. Untuk pengajuan mandiri, pemerintah hanya menyediakan tutor, sedangkan biaya pelatihan guru dan buku pegangan ditanggung sekolah, tanpa membebani peserta didik.

Tapi, sampai tullisan ini saya publikasikan, Kurikulum 2013 masih menuai kritik dari berbagai kalangan. Memang kelahirannya, terkesan prematur. Banyak yang berpendapat bahwa Kemendikbud terlalu terburu-buru dalam persoalan ini.

Pertama terkait pelatihan guru yang super kilat dan keterlambatan penyediaan buku.
Fikir saya, kalau memang akan diberlakukan bertahap sampai tahun 2015, kenapa tidak secara serempak saja diimplementasikannya di tahun 2015, agar persiapannya jauh lebih matang.
Masalah alat evaluasi yang belum ditentukan, padahal kalau mengacu pada 3 aspek yang ditekankan pada kurikulum ini, Ujian Nasional jelas tidak akuntable lagi sebagai alat evaluasi, karena hanya mengukur kemampuan kognitif peserta didik.

Kemarin, saya berkesempatan mewawancarai salah satu dosen di jurusan saya. Niat awalnya, saya ingin tahu sikap UPI yang katanya tak acuh pada isu ini. Lalu, secara kebetulan saya didesak teman2 himpunan agar secepatnya mencari profil dosen untuk diangkat media kami bulan ini. Ya, profil. Saya masih belum tahu jelas dimana nilai beritanya. Makanya, saya coba angkat #Kur13 sebagai tema perbincangan kami. Profil dosen dapat, dan saya fikir memiliki nilai berita.

Pada saat wawancara, awalnya sulit sekali narasumber menunjukan sikapnya. Ia melulu mengedepankan citra, menurut saya. Otomatis informasi yang tadinya mau saya soroti nyaris gak dapet sama sekali. Namun akhirnya, entah berkat kecerdikan saya, atau terpelesetnya lidah narasumber, ada beberapa kalimat, nada bicara, sorot mata, yang menunjukan sebuah sikap. Yang jelas dan paling saya yakini, itu anugrah Tuhan.
Pada intinya, narasumber saya mengakui bahwa pemerintah memang terkesan dipaksakan. Menurutnya, rancangan #Kur13 ini sudah aja sejak tahun 2011, namun DPR baru menyetujui keuangan beberapa bulan lalu. Terlebih lagi, Kemendikbud berkehendak mengimplementasikan #Kur13 pada tahun ajaran ini. “Ya, itu kaitannya dengan birokrasi”, katanya.

Menanggapi pelatihan guru yang super kilat pun, sekali lagi dosen saya bertutur bahwa itu seperti sudah datang banjir, dan kita baru diajari berenang. Yapyap, sikapmu, Pak. Saya menangkap itu.
Setidaknya, saya simpulkan UPI sebagai LPTK tidak tuli pada isu tersebut.

Menurut saya #Kur13 merupakan sebuah inovasi. Pendidikan kita nggak bisa gini-gini terus #eaa. Ini serius. Karena, mengutip kata dosen, bahwa perubahan kurikulum bukan hanya perubahan struktural.  Dan juga bukan berarti berubah segala-galanya. Ada beberapa aspek yang saya fikir inovatif, dan bikin saya pengen bilang: Guru seharusnya begini, siswa seharusnya begitu, pembelajaran seharusnya begini, yang namanya Sekolah ya harusnya begitu.

Misal, dengan mengedepankan 3 aspek yang disebutkan di awal, akan menuntut seorang pendidik menjadi lebih kreatif. Siswa jadi center of learning. Pendekatan pembelajaran juga akan lebih kontekstual, khususnya pada mapel eksak seperti Matematika. Asli, ini membantu banget buat anak-anak Indonesia yang memusuhi Matematika secara turun-temurun. Model-model pembelajaran yan dipakai juga mau-tidak-mau harus lebih bervariasi, karena tujuan yang diusung #Kur13 ini adalah keaktifan siswa. Nantinya, model-model pembelajaran sebangsa Cooperative Learning (CL): seperti diskusi kelompok, Open Ended (OE): Menyajikan masalah dengan solusi yg tak unik, Teams Games Tournament (TGT): misal dengan Role Playing, Debate, dan macem-macem deh yang biasanya cuma ada di buku text waktu kuliah di fakultas kependidikan, itu akan menjadi primadona dalam proses pembelajaran. Nah, hal tersebut, secara perlahan namun pasti, akan mengubah paradigma bangsa kita tentang sekolah, belajar, dan yang berbau pendidikan. Bahwa pendidikan bukan melulu bicara tentang akademis tapi juga praktis.

Nah, evolusi tadi dapat terjadi sedikit banyaknya bergantung pada peran pendidik di sekolah. Oleh karena itu, pelatihan guru yang “asal terlaksana” justru bisa menjadikan #Kur13 cacat. Ditambah lagi, #Kur13 ini lahir tanpa alat evaluasi yang sudah ditentukan sebelumnya. Banyak praktisi pendidikan yang sangsi akan akuntabilitas Ujian Nasional yang dianggap tidak sesuai dalam mengevaluasi kemampuan siswa berbasis #Kur13 ini. Itulah yang saya sebut sebagai proyek Kemendikbud yang prematur. Kita doakan saja lah ya :) Terimakasih telah membaca. Salam.

referensi:

No comments:

Post a Comment

komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)