“Keur rariweuh ku #kur13, UPI sbg LPTK malah berurusan dengan
KPK. Hadeuh, kemana kuharus mengadu”
-koleksi pribadi: upi in action- |
Saat itu saya langsung menghubungi salah satu teman di IP,
menanyakan kebenaran hal ini. Sebenarnya, yang membuat agak syok adalah karena
saya mengetahui berita ini dari media luar, bukan media kampus (read:
isolapos). Itu membuat saya waswas karena memang sudah hampir sebulan ini, saya
tidak lagi aktif sebagai pembaca isu-isu kampus. Sejak sebulan lalu saya memang
sudah tidak tinggal di kediaman lama yang berlangganan koran juga wifi yg always on. Selain itu saya juga
benar-benar dikerjai oleh sistem semester padat yang jauh lebih padat dari
semester padat tahun lalu. Saya merasa seperti katak dalam tempurung atau
apalah istilahnya yg cocok menggambarkan mahasiswa kudet kayak saya. Boro-boro
isu luar dan dalam negeri, isu kampus pun saya gak melek (lagi). Makanya,
berasa kudet banget saat tau tentang isu pa rektor ini dari medsos. Dan
ternyata, memang IP belum menurunkan beritanya. Fiuhh syukurlah saya gak
sekudet itu. Ya, di tengah-tengah senewen para senior IP gegara junior2nya
telat menurunkan berita, saya masih bersyukur.
Pelaporan kasus rektor terkait dugaan KKN sepertinya memang
mulai marak. Awalnya UI (link), lalu UNSOED (link), dan sekarang UPI (link).
Belakangan baru saya tahu bahwa peran politik sangat kental disini. Maklum,
saya nggak banyak bicara dan mendengar soal politik tai kucing. Kali ini pun
saya malas menceritakan kronologis politik dari kejadian2 tadi. Terlalu rumit
dan bikin mules.
Yang saya sesalkan adalah lembaga pendidikan tinggi, pencetak
generasi bangsa, calon-calon pemimpin, tak ada bedanya dengan pabrik pembuat rokok
atau ekstasi yang memproduksi barang-barang perusak kesehatan #NoOffense. Gimana gak
bobrok anak-anak muda sekarang kalo mesin pencetaknya aja gak bagus. Memang
sudah menjadi rahasia umum, bahwa KKN dapat kita temui dimana-mana. Nggak cuma
di partai politik, karena sekarang segala aspek mudah dipolitisasi. Tak
terkecuali pendidikan.
Kurikulum 2013 yang sejak tanggal 15 Juli diimplementasikan,
sampai saat ini masih menuai berbagai kritik yang berujung penolakan. (Baca juga:
#Kur13 yang prematur). Awalnya, masyarakat awam tidak
ambil pusing dengan hal ini, toh tinggal dijalani saja. Tapi, semakin kesini,
rupanya para awam tersebut mulai ramai membicarakan, istilah saya, mereka baru
“ngeh”. Seperti tweet Iwan Pranoto, salah satu guru besar Matematika ITB yang
sangat concern pada sistem pendidikan ini,
Bukannya gak ada hubungan dengan saya, tapi masalahnya
masyarakat di sekeliling saya mulai melontarkan pertanyaan2 terkait kebingungan
mereka akan #kur13 ini. Ya, seperti yang pernah saya katakan sebelumnya, bahwa
mahasiswa di mata masyarakat adalah maha segala-galanya. Apalagi, dalam hal
#kur13 sudah seharusnya saya dan kalian mahasiswa LPTK, tahu seluk beluknya.
Sudah seharusnya, kita sering mengadakan atau
mengikuti diskusi tentang hal ini. Sudah seharusnya kita melakukan
tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai bentuk donasi dalam
kemajuan pendidikan negeri. Ya, sudah seharusnya, seharusnya sudah...
Saya pun hanya mengikuti diskusi ini 1x, saat pematerinya
Jimmy Paat. Payah.. Ya, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, yang penting revolusi, kata orang.
Nah, di tengah tanda tanya masyarakat dan saya, tentang
produk prematur Kemendikbud ini, pabrik guru malah dilanda isu internal yang
tai kucing. Lalu, kemana kami harus mengadu? Nah, di RT deh sama si resty.
No comments:
Post a Comment
komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)