9/04/2013

Pasung Jiwa: bacaan bagi jiwa terpenjara?

photo edited by: sindy
Baiklah pembaca, saya memang akan mencoba mereview novel ke 4 Okky Madasari ini. Tapi saya ingatkan sebelumnya, tulisan ini tidak direkomendasikan bagi kalian yang sedang cari contoh resensi buku buat tugas sekolah. Apalagi copy-paste secara “mentah”, jangan. Bukan apa-apa, sebuah resensi buku terikat aturan penulisan, sedangkan kali ini saya tidak mau terpasung norma literasi manapun. Saya mau bebas ! 
            Ada yang berbeda ketika membaca sedikit ulasan cerita #PasungJiwa. Rasanya, kok kurang tertarik. Ide cerita yang diangkat cenderung basa dan basi. Pikir saya, seharusnya Okky bisa memilih ide cerita yang jauh lebih “aneh” dari yang itu. Bagi saya, jiwa yang terpasung bukan sekadar dipaksa menjadi pianis padahal cintanya sama dangdut. Ya, begitulah yang kubaca di salah satu laman berjudul review Pasung Jiwa. Ada juga beberapa kalimat yang menunjukan kesewenangan orang tua dalam mendidik Sasana – tokoh utama dalam novel ini. Tapi tetap saja, itu masih biasa. Mungkin karena memang saya merasa tak asing dengan jiwa terpasung juga wewenang orangtua. Beberapa teman, yang gandrung dengan karya penulis mantan jurnalis ini, juga tidak terlalu merekomendasikan buku ini. Mereka cuma bilang: Ini kayak kamu, Hom.
            Nah berhubung teman-teman saya itu sudah pada beli, dan sekilas ceritanya terkesan basi, niat saya membeli buku kali ini tidak menggebu-gebu. Tapi bukan salah saya juga kalau buku ini sudah ada di meja saat saya pulang. Di dalamnya tertulis:

Untuk jiwa terpenjara yang paling bahagia: kakakku, dini.
Selamat membaca :)

Ah, romantis sekali adikku satu itu -__-

Sasana: Seluruh hidupku adalah perangkap. Tubuhku adalah perangkap pertamaku. Lalu orangtuaku, lalu semua yang kukenal. Kemudian segala hal yang kuketahui, segala sesuatu yang kulakukan. Semua adalah jebakan-jebakan yang tertata di sepanjang hidupku (hlm 9)

Mudah bagi seorang Sasana menjadi anak kebanggaan orangtuanya. Menjadi laki-laki penurut, pintar dalam akademik, juga piawai memainkan lagu-lagu klasik dengan piano. Ya, piano salah satu obsesi pasutri yang ia kenal dengan sebutan Ayah dan Ibu. Sang Ayah yang seorang pengacara, dan Ibu yang seorang dokter bedah itu menggilai musik klasik. Mereka bukan pianis. Untuk itu, Sasana satu-satunya jalan memuaskan hasrat mereka akan permainan musik klasik via piano. Akan tetapi, bukan hal yang mudah bagi Sasana untuk melawan hasratnya sendiri. Ia jatuh cinta pada pertemuan pertama dengan dangdut. Musik kampungan, dan dianggap membawa pengaruh buruk oleh orangtuanya. Belum lagi ia bertemu - tepatnya dipertemukan - dengan Sasa, wujud betina dari Sasana.

Aku si Sasa, saudara kembar Sasana. Kami kembar, tapi kami berbeda. Kami satu tubuh, tapi kami dua jiwa. Kami tak saling meniadakan. Kami sepasang jiwa yang saling merindukan. Menjadi dua bukanlah kesalahan. Menjadi satu bukanlah keharusan. Sasana memang berpenis, tapi Sasa punya lubang dan puting. Sasa menyanyi dan bergoyang. Sasana bersiul dan menabuh gendang. Kami satu, tapi kami dua. Kami dua, tapi kami satu. (hlm 232)

Terperangkap dalam tubuh. Yes, saya mulai menyukai novel ini, tenggelam dalam ceritanya dan tak sabar membaca halaman berikutnya. Bagi saya, cerdas sekali memilih transgender sebagai perwakilan dari kata #PasungJiwa. Seorang transgender hidup dengan tak hanya melawan norma agama, tak sekadar memikul dosa sosial, tapi ia juga hidup melawan hasrat dan pikiran-pikirannya. Terpasung oleh pikiran yang menggugat: mengapa orang-orang tak normal dianggap tak waras? Padahal, orang-orang tak waras adalah orang-orang yang justru memiliki dirinya secara utuh. Orang-orang sinting, adalah orang-orang yang bebas. Pemikiran itulah yang Sasana dapatkan setelah selama beberapa bulan ia mendekam di rumah sakit jiwa.

Ia tak akan mau mengikuti apa yang dikatakan orang lain. Ia tak akan pernah sekadar ikut-ikutan hanya agar dianggap normal. Orang yang kehilangan kewarasan adalah orang yang sepenuhnya memiliki kesadaran. Ia akan menolak dan melawan. (Hal 119)

Masih mengevaluasi sedalam apa keterlibatan kata #PasungJiwa dengan ide cerita yang disodorkan Okky, kali ini saya beranjak ke tokoh lainnya, Jaka Wani. Kupikir, nama adalah perangkap pertama dalam hidupnya. Dari namanya, Cak Jek – begitu ia disapa – seharusnya seorang lelaki berani.  Tapi ia pengecut. Sekelumit kisahnya akan saya ulas:
Setelah memutuskan untuk berhenti kuliah di 2 bulan pertamanya, Sasana bertemu dengan Cak Jek di sebuah warung kopi. Dari sanalah keduanya akrab dan memulai hidup baru sebagai duo pengamen jalanan. Cak Jek cakap dalam berbicara, memengaruhi orang lain dengan kesoktahuannya yang jujur. Ia memang merasa tahu apa yang dikatakannya, bukan berpura-pura tahu agar orang lain menyangka ia tahu. Cak Jek jugalah yang menciptakan Sasa, walaupun sejak awal Sasa telah ada dalam jiwa seorang Sasana. Satu lagi, Cak Jek tak acuh terhadap apapun yang berbau politik.

Yang penting buat kami bisa tetap makan tiap hari, terus hati senang. Gak ono urusan karo negoro, gak ono urusan karo politik-politikan. (Hlm 67)

Itulah yang dikatakan Cak Jek menjawab ajakan Marjinal – nama sebuah grup pengamen – untuk berjuang melawan kesewenangan pemerintah lewat lagu dan karya seni lainnya. Bicara tentang pemerintah, tak berbeda dengan novel Entrok, Okky memilih orde baru sebagai latar dalam novelnya kali ini. Kesewenangan pemerintah serta ajudan-ajudannya terutama TNI, dengan lantang ia deskripsikan. Disinilah ucapan sekaligus prinsip Cak Jek diuji.
Saat itu Cak Jek, Sasa, serta kelompok musik jalanannya, harus menolong Marsini, buruh yang hilang. Mereka harus berhadapan dengan kesewenangan pemilik pabrik serta oknum-oknum TNI yang telah disuap. Cak Jek dan rombongan tertangkap. Cak Jek, manusia yang bebas, dikalahkan urusan politik yang katanya tak ingin ia pedulikan, politik uang, politik kekuasaan. Pada akhirnya, ia pun mencicipi mendekam di balik jeruji.
Tak hanya sampai di situ, Jaka Wani yang mengubah namanya menjadi Jaka Baru harus dihadapkan pada konflik batin antara konsep ketuhanan dan kemanusiaan. Setelah Soeharto (di)lengser(kan), orde baru berakhir, kekuasaan TNI pun ikut berakhir. Akan tetapi, lahirlah kekuatan baru dari golongan pemuka agama yang tak kalah sok berkuasa. Jaka Baru menjadi salah satu dari mereka. Mereka mesin penghancur, menghancurkan segala sesuatu yang dianggap tidak sesuai norma agama. Bahkan mereka tak segan membunuh siapa saja yang mencoba melawan. Itu semua mereka lakukan atas nama Tuhan. Padahal, semata-mata hanya untuk uang dan kedudukan yang tinggi di mata masyarakat.

Lebih bejat mana? Kami yang jual badan, atau kalian yang jual Tuhan untuk cari uang? (Hal 302)

Itu kutipan terakhir dan yang paling mutakhir buat saya. Saya suka novelnya. Ide ceritanya tidak basi, penulis resensi yang saya baca resensinya yang basi :p Okky memang pantas dapat Khatulistiwa Literary Award tahun lalu.

Jadi, apakah Pasung Jiwa adalah bacaan bagi para jiwa yang terpenjara? Ah, bebas aja. Itu cuma judul kok, selamat mbaca :)

No comments:

Post a Comment

komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)