Sama sekali belum tertarik sama
hewan bernama MATEMATIKA. Berbagai upaya untuk mencintai, jatuhnya malah menipu
diri sendiri. Yang baru saya rasakan manfaatnya adalah kuliah di jurusan
Matematika punya nama, punya prestise, punya harga di masyarakat. Mahasiswa
Matematika dianggap Mahadewa yang substansinya ekuivalen dengan maha segalanya.
Saya mengimani bahwa Allah
berikan apa yang dibutuhkan hambaNya. Itulah pondasi saya untuk tetap tegak
berdiri di sini. Tegak setelah jatuh lagi, lagi dan lagi. Saya yakin ini hadiah
spesial Allah untuk saya. Saya sadar, ribuan onggok jiwa berkompetisi, berebut
kursi yang saya duduki sekarang. Sayangnya perjuangan mereka harus berakhir
miris, kursinya malah jatuh ke pangkuan saya yang bahkan nggak tahu apa2
tentang UPI dan Matematika. Atau dari perspektif lain, perjuangan mereka malah
berbuah manis. Semanis cara duduk mereka di kursi yang Allah rasa jauh lebih
baik daripada di sini. Ya, mungkin pernah membaca bahwa pada hakikatnya, manusia
memang tidak pernah puas.
Entah perasaan saya saja atau
benar-benar cuma perasaan. Tiga semester ‘bermain’ bersama para dosen pengajar,
membuat saya seperti yang mengenal watak orang Matematika. Penarikan
kesimpulannya masih secara kasar. Ambil beberapa orang dosen pengajar sebagai sampel,
lalu hitung perbedaan dua rata-rata cara dan sikap mereka mengajar. Jangan lupa
uji normalitas data untuk menentukan rumus yang dipake statistik parametrik
atau non-parametrik. *Are you kidding me?
Tenang, saya bercanda soal mengetahui watak seseorang dengan berpandu pada
rumus statistika dasar. Cukup dengan sedikit melihat, merasa dan menerawang.
Hasilnya... jengjeng. Sebelum itu
saya tegaskan ini bukan aib yang sengaja saya umbar, atau pikiran negatif
tentang para pahlawan pendidikan yang katanya secara aktif memerangi kebodohan.
Ini hanya penarikan kesimpulan berdasar apa yang saya lihat, rasa, dan terawang
sejauh ini. Sebagai individu yang merasa sulit mencerna teorema, lemma,
definisi pun penjelasan dari dosen dengan cepat, saya kerap mendapat ‘celetukan’
dosen yang - tanpa mereka sadari – membuat rasa percaya diri saya tenggelam
lebih dalam dari sebelumnya.
Lontaran kalimat-kalimat penghangus semangat itu
malah membuat saya sedikit yakin bahwa pendidikan
adalah pembodohan (lain waktu saya akan menuliskan tentang itu). Para dosen tadi adalah seorang berpendidikan tinggi,
berilmu, beragama, berpenampilan rapi. Tapi kok nggak memanusiakan mahasiswa
kayak saya ya -,- Padahal saya rasa, mereka tahu benar setiap anak unik,
memiliki tingkat kecerdasan IQ, EQ dan SQ yang berbeda. Saya yakin setiap pendidik
pernah mendapat mata kuliah Psikologi Pendidikan. Pertanyaannya sekarang,
apakah dulu sewaktu kuliah mereka menguasai semua bidang di jurusannya? Apakah
mereka mendapat A dalam setiap mata kuliah selama belum menjadi dosen? Saya
menyangsikan jawaban ‘Ya’.
Pernah berdiskusi dengan beberapa
kawan dari jurusan yang sama. Mereka mengingatkan saya yang intinya “Jangan
nyalahin dosen / Mungkin lagi cape dosennya / Ah, perasaan kamu saja ...” and i
don’t want to hear their excuse bla bla bla cause its all make my day turns to
gray.
Bingung juga harus membubuhkan
tanda titik terakhir di mana. Di sini saja lah.
No comments:
Post a Comment
komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)