9/30/2012

hewan bernama Matematika


Sama sekali belum tertarik sama hewan bernama MATEMATIKA. Berbagai upaya untuk mencintai, jatuhnya malah menipu diri sendiri. Yang baru saya rasakan manfaatnya adalah kuliah di jurusan Matematika punya nama, punya prestise, punya harga di masyarakat. Mahasiswa Matematika dianggap Mahadewa yang substansinya ekuivalen dengan maha segalanya.

Saya mengimani bahwa Allah berikan apa yang dibutuhkan hambaNya. Itulah pondasi saya untuk tetap tegak berdiri di sini. Tegak setelah jatuh lagi, lagi dan lagi. Saya yakin ini hadiah spesial Allah untuk saya. Saya sadar, ribuan onggok jiwa berkompetisi, berebut kursi yang saya duduki sekarang. Sayangnya perjuangan mereka harus berakhir miris, kursinya malah jatuh ke pangkuan saya yang bahkan nggak tahu apa2 tentang UPI dan Matematika. Atau dari perspektif lain, perjuangan mereka malah berbuah manis. Semanis cara duduk mereka di kursi yang Allah rasa jauh lebih baik daripada di sini. Ya, mungkin pernah membaca bahwa pada hakikatnya, manusia memang tidak pernah puas.

Entah perasaan saya saja atau benar-benar cuma perasaan. Tiga semester ‘bermain’ bersama para dosen pengajar, membuat saya seperti yang mengenal watak orang Matematika. Penarikan kesimpulannya masih secara kasar. Ambil beberapa orang dosen pengajar sebagai sampel, lalu hitung perbedaan dua rata-rata cara dan sikap mereka mengajar. Jangan lupa uji normalitas data untuk menentukan rumus yang dipake statistik parametrik atau non-parametrik. *Are you kidding me? Tenang, saya bercanda soal mengetahui watak seseorang dengan berpandu pada rumus statistika dasar. Cukup dengan sedikit melihat, merasa dan menerawang.

Hasilnya... jengjeng. Sebelum itu saya tegaskan ini bukan aib yang sengaja saya umbar, atau pikiran negatif tentang para pahlawan pendidikan yang katanya secara aktif memerangi kebodohan. Ini hanya penarikan kesimpulan berdasar apa yang saya lihat, rasa, dan terawang sejauh ini. Sebagai individu yang merasa sulit mencerna teorema, lemma, definisi pun penjelasan dari dosen dengan cepat, saya kerap mendapat ‘celetukan’ dosen yang - tanpa mereka sadari – membuat rasa percaya diri saya tenggelam lebih dalam dari sebelumnya.

Lontaran kalimat-kalimat penghangus semangat itu malah membuat saya sedikit yakin bahwa pendidikan adalah pembodohan (lain waktu saya akan menuliskan tentang itu). Para dosen tadi adalah seorang berpendidikan tinggi, berilmu, beragama, berpenampilan rapi. Tapi kok nggak memanusiakan mahasiswa kayak saya ya -,- Padahal saya rasa, mereka tahu benar setiap anak unik, memiliki tingkat kecerdasan IQ, EQ dan SQ yang berbeda. Saya yakin setiap pendidik pernah mendapat mata kuliah Psikologi Pendidikan. Pertanyaannya sekarang, apakah dulu sewaktu kuliah mereka menguasai semua bidang di jurusannya? Apakah mereka mendapat A dalam setiap mata kuliah selama belum menjadi dosen? Saya menyangsikan jawaban ‘Ya’.

Pernah berdiskusi dengan beberapa kawan dari jurusan yang sama. Mereka mengingatkan saya yang intinya “Jangan nyalahin dosen / Mungkin lagi cape dosennya / Ah, perasaan kamu saja ...” and i don’t want to hear their excuse bla bla bla cause its all make my day turns to gray.

Bingung juga harus membubuhkan tanda titik terakhir di mana. Di sini saja lah.

No comments:

Post a Comment

komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)