10/05/2012

Kembali untuk Pergi


“ada yang mau lu omongin nggak?”

Akhirnya pecah juga hening itu. Ulahnya.
Aku mencoba mencerna pertanyaannya sekali lagi, namun tetap tak tertelan. Dengan antusisas kulontarkan pertanyaan balik

“maksud kamu?”

“Yaa apa kek, semacam pengakuan dosa terindah yang pernah lu lakuin ke gue. Atau... Eh, lu jadi pendiem ya sejak jadi mahasiswa. Salah gaul nih kayanya”

Dan saat itulah secara perdana aku melihat sekaligus merasakan reflek anggota gerak yang begitu mengagumkan. Ia letakkan telapak tangannya tepat di dahiku, persis adegan dokter yang sedang mengukur suhu tubuh pasien dengan kasar. Lalu mulai mendiagnosis penyakitku dan akhirnya memvonis aku salah gaul -_- Tanpa berniat menghindar, aku biarkan pak dokter menyelesaikan pekerjaannya.

“masa sih?” cuma itu yang keluar dari senyum andalanku.

“Jadi sok lembut lagi. Dunia perkuliahan sebegitu kejam ya.”
Ujarnya sambil ‘melepas’ matanya dari mataku. Sumpah, itu lega banget.

 “Lebay” tukasku sambil menikmati detik-detik kelegaanku, karena entah kenapa firasatku berkata matanya akan ‘kembali’ padaku.

“Udah ngomong aja. Mumpung ada orangnya, ntar nyesel lagi”

Firasatku belum sepenuhnya benar, matanya masih setia pada ruang kelas di depan kami.

“Ngomong apa sih Ndri? Aku masih nggak ngeh nih”

Kali ini ia benar-benar mendesakku untuk bicara tentang apa yang tadinya sama sekali tidak aku tahu.

“Ngomong semuanya. Tentang elu, perasaan elu, dan semua yang elu lakuin buat nutupinnya. Walaupun menurut gue sih percuma, semua orang bisa liat itu. Apalagi gue”

Deg. Matanya tajam menatapku. Jantungku berdebar sangat cepat, memompa derasnya darah yang tak henti menbanjiri arteri menuju otak. Kerja bagus. Aku memang membutuhkan pasokan darah segar di otak yang dengan sigap merandom semua kisah masa sekolah dulu.

“Kalau memang sudah tau, kenapa Andri tanya lagi?”

Inilah yang disebut kalah sebelum berperang. Aku bahkan belum 100% yakin bahwa apa yang barusan terlintas dalam ilusi masa laluku sama dengan yang ia pikirkan.

“Gue kan mau denger langsung dari mulut elu”

Aaaaah, ini mata yang sejak dulu kunanti. Dengan segenap keberanian kubalas menatapnya kembali dan tejadilah tumbukan tak lenting sama sekali, istilahku.

“Aku pengkhayal akut. Itu bikin aku idealis. Semua yang aku dapatkan harus sesuai dengan mimpiku. Ketika itu usia dan lingkungan menuntutku jatuh cinta pada sesosok bocah SMA yang kukagumi. Sosok yang hanya ada dalam anganku sebelum mengenal kamu. Karena ternyata semua yang aku inginkan ada di kamu. Mungkin kamu akan bilang kalau penilaianku terlalu tinggi, tapi setidaknya kamu hampir mencapai ketinggian itu. Untungnya, aku masih mengagungkan makna persahabatan. Akhirnya aku coba mengubur dalam-dalam perasaan itu dan menciptakan sosok imaginer baru dalam anganku. Ujung-ujungnya, sosok itu konkretnya yaa kamu. Nggak ada cara lain, aku harus pergi dari kamu sampai aku siap bertemu namun tidak untuk jatuh cinta lagi”.

“Terus lu berhasil?”

“Iyalah, buktinya aku sekarang ada di sini sama Andri”

Mungkin barusan itu yang disebut menyerah pada kemunafikkan. Otakku mulai dipenuhi spekulasi tentang spekulasi makhluk Tuhan paling sexi di depanku. Tentang apa yang dipikirkannya setelah mendengar pengakuanku yang bahkan sejak awal ia sudah tahu.

“Hey, lama banget sih”

Seruan Andri membuatku tersadar bahwa sejak tadi Andri menunggu sosok anggun seorang wanita keluar dari ruang kelas di hadapan kami. Wanita yang semasa SMA kukenal sebagai adik kelasku.

“Ih, kan aku reunian juga sama temen-temen”

Wanita dengan rambut indah sebahu, kulit sawo matang, penampilan modis dan perawakan mungil itu menimpali.

“Eh, ada kak Yosa. Apakabar kak?” sapanya yang sama sekali tak kuprediksi.

“Baik, Neng” jawabku singkat. Sejujurnya aku tidak pernah mengingat nama orang-orang yang kurang berpengaruh dalam hidupku.

“Gue duluan Yos” Andri pun melengos dan menghampiri gadis itu, merangkulnya seolah meggiring agar cepat pergi dari tempat ini. Meninggalkanku yang merasa baru saja ditelanjangi.

“Sial. Maksudnya apa sih? Kembali hanya untuk pergi!” makiku dalam hati. “Kalo udah begini gue jadi bingung, harus menghapal nama cewe tadi, atau justru melupakan nama Andri?” masih kata hatiku ketika harus menentukan siapa yang berpengaruh atau akan berpengaruh dalam hidupku pada akhirnya.

Mudah ditebak kemana aku pergi setelah itu. Menyatroni satu-satunya kedai mie Instan di bekas sekolahku dan memesan dua bungkus mie rebus, telur setengah matang plus belasan potongan cabai rawit. Resep penghilang stress ala cheff Yosalien.

No comments:

Post a Comment

komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)