7/04/2012

The Flowers of War - Kisah heroik pelacur Cina di Nanking

...



“What you did today, its make you’re hero”
Pujian yang jelas sekali bukan sekadar pencitraan dilontarkan oleh Mo (Nini) kepada John (Christian Bale) saat ‘pendeta kacangan’ itu menyelamatkan para siswi dari serbuan tentara Jepang di gereja Nanking, Cina (1937). Peristiwa yang dikenal dunia dengan nama Nanking Massacre itu menewaskan lebih dari 200.000 warga Cina tak terkecuali lansia dan anak-anak. Beruntung Shu (Hang Xinyi) dan belasan teman-temanya, siswi di gereja katholik, kedatangan seorang pengurus jenazah asal Amerika, John Miller.

“The Japanese won’t touch Western”
Satu-satunya alasan Yu Mo dan 13 wanita pekerja seks ‘kelas atas’ memaksa untuk tinggal di gereja, berlindung di balik tampang Barat ‘Father John’ bersama belasan siswi yang jijik akan segala gerik seronok para tuna susila itu.

Ironi memang ketika para siswi belasan tahun bersama sekumpulan pelacur tinggal bersama, melakukan kegiatannya masing-masing dalam satu atap yang mereka sebut rumah Tuhan. Belum lagi pengurus jenazah – si tukang mabuk - diangkat secara sepihak menjadi seorang Bapa disana. Ya, siapa sangka ketiga elemen ini merupakan ‘jantung’ dalam film The Flowers of War (2011).

Film garapan sutradara kondang Zhang Yimou yang disadur dari novel “13 woman of Nanjing” ini berdurasi 145 menit. Berkisah tentang para wanita tunasusila yang rela mengorbankan diri mereka demi menyelamatkan para siswi gereja Katholik. Persahabatan yang terjalin secara tidak sengaja antara calon biarawati muda dengan penghuni rumah bridal yang dianggap ‘kotor’ rupanya berbuah pengorbanan yang tak ternilai.

Beranjak ke latar, suasana Nanking kala itu divisualkan dengan sangat baik. Setting Kota Nanking yang hancur lebur ulah Jepang serta perlawanan para tentara Cina yang heroik ala kisah peperangan kuno cukup membuat penonton terkesan. Bahkan beberapa pengamat film menilai  The Flowers of War merupakan film termahal Cina sepanjang masa. “Lihat saja adegan peperangan yang digarap dengan serius bersama kualitas spesial efek dan audio yang wah!” tulis salah seorang movie reviewer, Arif Susanto dalam akun blog nya.

Untuk teknis, Yumou sepertinya benar-benar sukses kali ini, ia berhasil mengajak penonton ‘masuk’ dalam Nanking kala itu. Namun, kepiawaian seorang Yumou dalam menghidupkan penokohan dalam film ini tak sedikit menuai kritik. Tidak ada emosi yang kuat sehingga penonton tidak merasakan kengerian, ketegangan dan romantisme yang maksimal, kecuali mereka yang memiliki sensitivitas hati berlebih. Kualitas naskah yang dinilai buruk juga menambah nilai minus film ini. “Memang tidak mudah menerjemahkan setiap lembar halaman novek ke dalam media film,” tulis Arif lagi.

No comments:

Post a Comment

komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)