... |
“What you did today, its make you’re hero”
Pujian yang jelas sekali bukan sekadar
pencitraan dilontarkan oleh Mo (Nini) kepada John (Christian Bale) saat
‘pendeta kacangan’ itu menyelamatkan para siswi dari serbuan tentara Jepang di
gereja Nanking, Cina (1937). Peristiwa yang dikenal dunia dengan nama Nanking Massacre itu menewaskan lebih
dari 200.000 warga Cina tak terkecuali lansia dan anak-anak. Beruntung Shu
(Hang Xinyi) dan belasan teman-temanya, siswi di gereja katholik, kedatangan
seorang pengurus jenazah asal Amerika, John Miller.
“The Japanese won’t
touch Western”
Satu-satunya alasan
Yu Mo dan 13 wanita pekerja seks ‘kelas atas’ memaksa untuk tinggal di gereja,
berlindung di balik tampang Barat ‘Father John’ bersama belasan siswi yang jijik akan segala gerik seronok para
tuna susila itu.
Ironi memang ketika para siswi belasan
tahun bersama sekumpulan pelacur tinggal bersama, melakukan kegiatannya
masing-masing dalam satu atap yang mereka sebut rumah Tuhan. Belum lagi
pengurus jenazah – si tukang mabuk - diangkat secara sepihak menjadi seorang
Bapa disana. Ya, siapa sangka ketiga elemen ini merupakan ‘jantung’ dalam film The Flowers of War (2011).
Film garapan sutradara kondang Zhang
Yimou yang disadur dari novel “13 woman of Nanjing” ini berdurasi 145 menit. Berkisah
tentang para wanita tunasusila yang rela mengorbankan diri mereka demi
menyelamatkan para siswi gereja Katholik. Persahabatan yang terjalin secara
tidak sengaja antara calon biarawati muda dengan penghuni rumah bridal yang
dianggap ‘kotor’ rupanya berbuah pengorbanan yang tak ternilai.
Beranjak ke latar, suasana Nanking kala
itu divisualkan dengan sangat baik. Setting Kota Nanking yang hancur lebur ulah
Jepang serta perlawanan para tentara Cina yang heroik ala kisah peperangan kuno
cukup membuat penonton terkesan. Bahkan beberapa pengamat film menilai The
Flowers of War merupakan film termahal Cina sepanjang masa. “Lihat saja
adegan peperangan yang digarap dengan serius bersama kualitas spesial efek dan
audio yang wah!” tulis salah seorang movie reviewer, Arif Susanto dalam akun
blog nya.
Untuk teknis, Yumou sepertinya
benar-benar sukses kali ini, ia berhasil mengajak penonton ‘masuk’ dalam
Nanking kala itu. Namun, kepiawaian seorang Yumou dalam menghidupkan penokohan
dalam film ini tak sedikit menuai kritik. Tidak ada emosi yang kuat sehingga penonton
tidak merasakan kengerian, ketegangan dan romantisme yang maksimal, kecuali
mereka yang memiliki sensitivitas hati berlebih. Kualitas naskah yang dinilai
buruk juga menambah nilai minus film ini. “Memang tidak mudah menerjemahkan
setiap lembar halaman novek ke dalam media film,” tulis Arif lagi.
No comments:
Post a Comment
komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)