12/19/2011

SHINZUI

SHINZUI - dini.n.ehom

“NowPlaying: Lady Gaga – Poker face, lagu yang menarik ini mengingatkanku pada seseorang, yaitu aku.. [SHARE]”
“Mau online sampai kapan?”
“Ah, kau  Maki, dasar wanita pengganggu”
“Harus berapa kali kubilang, aku benci panggilan itu! Aku hanya membutuhkanmu sampai penyelidikan ini selesai, kau pikir aku tidak merasa terganggu dengan SK Kepolisian itu?”
“Hihi, sudahlah Maki, aku hanya bercanda. Baiklah, aku ada informasi kecil buatmu, kau inginkan itu kan?”
“Bisa kita tunda? Aku harus menemui seorang klien 15 menit lagi”
“Hmm, tidak bisa. Lagipula, klien mu tak akan datang sebelum aku selesai menceritakan hal ini, aku jamin itu”
                Maki, polisi wanita itu beranjak dari sofa dan bergegas mengambil segelas sake di dapur. Ya, dia tak perlu mengambilkan untuk ku juga karena aku tak suka sake. Maki adalah salah satu intel asal Jepang yang ditugaskan menyelidiki kasus-kasus kejahatan dunia. Semakin banyak volume sake yang melewati kerongkongannya, akan membuat Maki relaks dalam mengerjakan setumpuk berkas-berkas penyelidikan di meja bundar ini.
Entah kasus apa lagi kali ini yang membuatku terlibat sehingga harus tinggal bersama polwan manis itu hingga penyelidikannya selesai.  “Kau terindikasi sebagai seseorang yang ada hubungannya dengan kasusku, analisisku yang berkata”,  jelas sekali terngiang di telingaku saat dulu ia mengemukakan alasan mengapa aku di sini dan terus bersamanya. Satu-satunya yang kusesali dari penahananku sejak tiga bulan lalu adalah, kami saling mencintai satu sama lain, sebagai sahabat, setidaknya itu menurutku yang telah memberinya gelar ‘pendengar setiaku’.
“Berhentilah membual, klienku bukan datang karenamu dan cerita-cerita konyolmu”, Maki datang dan membuyarkan lamunanku, memang dasar wanita pengganggu.
“Kalau begitu, pergi saja” tukasku.
“Baiklah, mendengar ceritamu tiap malam sudah kuanggap sebagai tugas ekstraku, kali ini apalagi?” Maki bertanya sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.
“Aku bilang ini informasi, bukan sekedar cerita”, jawabku ketus.
“i..In..informasi?”, katanya terbata-bata.
“Ya, itu kan yang kau cari sejak tiga bulan lalu? Ini sangat berhubungan dengan cerita-ceritaku, jika saja kau ingat dan benar-benar menjadi pendengar setiaku dalam tiga bulan ini, hihi” ujarku sambil terkekeh
“Ah, aku bosan dengan semua omong kosongmu, sekarang berceritalah, waktumu 13,20 menit”, teegas Maki sambil melirik Casio di pergelangan tangannya.
“Baik, Hmm… Sekarang tanggal …..”
“28 Oktober, tepat 10 tahun dimana kau dan kawanmu itu bertemu untuk yang pertama dan terakhir kalinya”,  katanya, memotong pembicaraanku
“Kau ingat?”
“Tentu, dengan sangat jelas!”
“Haha, kau mengingat semua ceritaku bahkan yang sama sekali tak ada hubungannya dengan penyelidikan itu”, aku tersenyum tipis.
“Hal kecil bukan berarti sepele, bisa kita lanjutkan?”, tegasnya.
”Oke! Semuanya berawal dari mini compaq ini. Netbook ku yang memulai semuanya. Kami bercengkrama dalam dunia maya. Akrab, sangat akrab. YahooMail, Facebook, Plurk, Friendster,  My Space, Skype, hingga beberapa akun situs porno pun aku ada, tentu saja dia juga. Empat tahun, Maki! Kami melakukannya tanpa saling berjabat tangan“
“Melakukan apa? seks networking?”, sontaknya.
“Hus! Tentu saja bukan! Aku sudah tekankan ribuan kali bahwa ia orang baik-baik! ”, ujarku sambil terus mengotak-ngatik PDA.
“Calmdown, lalu?”
“Ya, seperti remaja belasan tahun lainnya, kami merasakan sesuatu yang aneh. Bumi seakan berhenti berotasi setiap kubuka message yang ia kirim, hiruk pikuk Kota Jakarta sama sekali tak mengganggu, bahkan suasana itu terasa sangat hangat. Langit, bintang, bulan, pelangi, semuanya tampak indah……”
“Oh ayolah, katakan saja kalian jatuh cinta satu sama lain!”, ujar Maki, mulai merasa risih.
“Tunggu, aku tidak bilang begitu! Aku wanita normal, dia yang ‘butchi’ !”, gertakku.
“Dan sampai detik ini kau masih menganggapnya orang baik-baik? Konyol!”, ujarnya lagi.
“Kau tak akan mengerti, bu Polwan, dia sudah tergolong cukup baik untuk seorang butchi”, sanggah ku.
“Terserahlah, lanjutkan!”, Maki pun mengalah.
“Suatu malam, ia mengajakku kencan. Saat itu, 13 tahun lalu, aku masih duduk di kelas 3 SMA. Kelas 3, Maki, grade yang sangat menetukan siapa aku 5 atau 6 tahun ke depan”, cerita ku.
“Yaa, Indonesia memang payah, masa depan ditentukan dari nilai Ujian Negara, padahal itu bukan suatu tolak ukur”, ujarnya, memotong pembicaraanku lagi.
“Maki, kita tidak sedang membandingkan sistem pendidikan di Yokohama dan Jakarta kan? Bisakah mulai saat ini kau tidak memotong pembicaraan orang lain?”, marahku.
“Ok, aku diam”
“Bagus!” ujarku puas.  “Sempat galau saat itu. Berhubungan dengannya benar-benar menguras waktu dan akalku. Tugas-tugas sekolah mulai menumpuk dan itu merupakan hal paling tabu dalam hidupku yang bersistem sangat rapi. Sistem orang tuaku sebenarnya, hehe. Tapi Indah mengubah pandanganku, aku mulai merusak sistem karena ‘butchi’ gila itu. Aku ‘si kutu buku lugu’ menjadi aku ‘bukan si kutu buku lugu’.
 Seusai makan malam, aku mengunci kamarku, mengganjalnya dengan gembok mungil dan mematikan lampu seakan hendak tidur seperti kebiasaanku. Kau pasti tahu apa yang kulakukan selanjutnya, kini kau boleh bicara ”, lontarku.
“Hmm… kau melompat dari jendela, minggat, berkencan dengannya, pulang pagi dan masuk kamar lagi seakan tak terjadi apa-apa”, jawabnya.
“Payah! Kau terlalu sering menonton drama percintaan di theater Nijuichi itu! Logika Maki, peristiwa itu terjadi di tahun ke 3 aku mengenalnya dan kau kan tahu kami bertemu di tahun ke 4”
“Baiklah Mrs. Holmes, lalu apa yang kau lakukan?”
“Masuk ke lemari, mengidupkan compaq dan mulai berkencan dengannya, kencan maya. Incredible bukan? Layar terangnya takkan berinterferensi hingga ke celah pintu kamarku”
“Gadis pintar”, pujinya.
“Thank’s, boleh aku teruskan?”, tanyaku.
“Ya”, jawabnya singkat.
“Kau tahu, ada yang lebih spektakuler saat kunyalakan webcam. Aku melihatnya sedang menata ratusan mawar yang indah, seindah namanya. Ia menaruh mawar-mawar itu sebagai pemanis di sekitar meja makan yang dengan kokoh menopang daging asap, dan itu tampak lezat. Aku terus memperhatikannya dan semakin tak mengerti apa yang ada di otak gadis 20 tahunan berkulit putih itu. Penampilannya tak ayal seorang model iklan Shinzui. Tapi mengapa ia memilih ‘butchi?’”
“Kau tidak bertanya?”, Maki mulai penasaran.
“Bersabarlah, kau akan tahu jawabannya di tahap klimaks. Setelah selesai mendekor, kami pun makan. Mulutku terus mengunyah marshmallow yang kutemukan di saku, ia sibuk dengan daging asapnya. Dinner bersama di tempat yang berbeda, haha, itu yang kusuka dari dia, ada saja hal-hal ajaib setiap ku bersamanya. Setelah itu, kami mengobrol seperti biasa ”
“Tunggu!” Maki memotong pembicaraanku lagi, naluri detektifnya pun muncul. “Dari awal aku tak pernah tahu apa yang selalu kalian bicarakan, bisakah….”
“Baiklah detektif, ada satu hal lagi yang unik. Kami selalu membicarakan bau badan manusia, tentu saja diselingi dengan topik-topik lainnya, dia yang memulai loh!”, kali ini aku yang menyela.
“Ha?! Apa-apaan kalian?” Maki mulai merasa risih lagi.
“Yaa, katanya setiap manusia memiliki aroma tubuh yang berbeda, tak ada satu pun yang sama. Dan bau badan pria sangat tidak enak, itulah kenapa ia tak ingin menikahi pria. Ia juga bilang kalau aku wangi, semerbak namaku, Rose”, ujarku seraya tersenyum menggodanya.
“Baiklah, aku ditunggu klien 1,2 menit lagi jadi tak ada waktu untuk mendengar ceritamu tentang bau badan”, Maki terlihat semakin risih dan hendak meninggalkan ruangan kami.
“Tunggu,  kau belum mendengar bagian klimaksnya, saat kami bertemu dan….. berpisah…” bujukku dengan ekspresi memelas yang jelas palsu.
“Baiklah sayang, cepat ya”, ujarnya dengan lembut yang lebih jelas jelas palsu.
“Setelah lulus dengan nilai terbaik….”
“Maaf, nilai terbaik katamu, dengan merusak sistem? ”, Maki angkat bicara lagi.
“Terkadang tidak semua sistem yang rapi, akan berujung baik pula ketika kau jalankan!” ujarku mencoba meluruskan pemikirannya. “ Setelah lulus, aku memutuskan untuk bertemu dengan Indah di suatu tempat di Jakarta. Asal kau tahu, saat itu aku sama sekali tak tahu dimana ia tinggal,” lanjutku.
“Kau tak bertanya atau menduga-duga sendiri?”
“Sering, tapi ia selalu bilang bahwa kami sangatlah dekat, menyatu dan saling melengkapi. Bagai seorang wanita dengan sabun mandi pribadinya”, jawabku mulai serius.
“Lalu kalian bertemu? Bagaimana rupanya, cantik?” Maki semakin penasaran.
“Ya dan ya. Persis yang biasa kulihat di layar compaq ku, sempurna. Seperti dejavu saja,” jawabku sambil tersenyum dan memalingkan wajah dari matanya yang sejak tadi menatapku.
“Lalu apa yang kalian lakukan?” wanita muda itu belum selesai dengan pertanyaannya.
“Kami mengobrol dan… ‘Dor dor dor!’ 3 peluru panas melesat cepat menembus jantungnya”, ujarku sambil menatap tajam ke arah langit-langit agar air mataku tak menetes.
“Itu yang selalu kau ceritakan ya? Ia mati saat kalian baru saja bertemu, bahkan sebelum kau tahu di mana ia tinggal,” Maki  mengusap air mataku seakan mengerti apa yang kutangisi, padahal ia sama sekali tak tahu apa-apa.
“Hmm.. setidaknya aku tahu siapa psikopat itu,” ujarku memecah keheningan. “ Salah satu sindikat produsen sabun mandi wanita yang menawarkan puluhan aroma berbeda pada konsumennya. Ya, siapa sangka, sabun yang sudah beredar luas di masyarakat itu ternyata aromanya didapat dari ekstrak tubuh para wanita terpilih. Tentu saja dengan membunuh para korban beraroma luar biasa itu terlebih dulu. Itu yang kau cari selama ini kan?” jelasku dengan nada amat sangat serius.
“Hey! Kenapa kau baru menceritakannya?” Maki terlonjak mendengarnya, ketika itu pula layar PDA nya berkedip, ia langsung meraih gadget itu dari atas meja di depannya dan melakukan percakapan singkat dengan bahasa yang tak asing lagi di telingaku. “Moshi-moshi. Hai, Master! jippun gurai kudasai! Hai, wakarimashita!” setelah selesai, Maki menaruh PDA tadi di saku bajunya. “Berjanjilah Intana Rosalia Dahayu, kau akan melanjutkan ceritamu ketika aku kembali, sampai jumpa!”, ujarnya terburu-buru lalu pergi.
“Sudah selesai , Maki. Seandainya Agustus lalu kau menolak SK Kepolisisan itu, SK yang memaksamu untuk menyelidiki kami, mungkin aku akan melanjutkan ceritaku,” gumamku setelah memastikan  bahwa ia sudah pergi.  “Tragis sekali, mati bukan sebagai wanita terpilih, tapi sebagai wanita pengganggu, hihi”, tawaku, sambil menyeka air mata yang rupanya mulai membasahi pipi kananku.
Tiga menit berlalu, kali ini PDA ku yang bergetar, “Ya!”jawabku, “Kami sudah menyekapnya dan sebelum membunuhnya, aku akan mengabulkan permohonanmu, bicaralah dengannya!” ujar suara di seberang sana.
Setelah memahami situasi ini, aku langsung bicara, “Hai, Maki. Tenanglah, 3 peluru panas itu melesat dengan sangat cepat, kau tidak akan merasa sakit, seperti digigit semut saja. Jauh lebih baik dibandingkan apa yang pihak Kepolisian Jepang lakukan kepadamu, merampas kebebasan. Nah, sekarang kau bebas dan tak usah pusing dengan aku dan sindikatku,” aku meyakinkannya. “Indah, Intana Dahayu,” ujar suara yang aku kenal dengan sangat jelas, Maki. “Seharusnya aku tahu bahwa Indah, Rose dan kau adalah orang yang sama. Haha, hal kecil yang aku sepelekan. Terimakasih, penjahat! I’ll always love you….. tiiiiiitttt….”  terputus. “Yaick, dasar butchi!” bisikku. Dan itulah terakhir kalinya aku mendengar suara lirih Maki sebelum tiga peluru panas menembus serambi  kirinya.
***
“NowPlaying: Lady Gaga – Poker face, lagu yang menarik ini mengingatkanku pada sesuatu, yaitu SHINZUI [SHARE]” .


No comments:

Post a Comment

komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)