12/19/2011

SEPUCUK SURAT DI PANTI REHABILITASI


            “Aku bersumpah atas nama nisan Bapakku, sekolah kita bukan lagi tempat sampah, takkan lagi kau temukan para brengsek itu. Puntung dan jarum suntik pun tak lagi menyumbat kloset. Kami suci dan mensucikan. Percayalah, kutunggu kesembuhanmu, Mohe. Mungkin kau akan menjadi satu-satunya bedebah di sini saat kau kembali. ^_^ “

            Itulah bait terakhir surat itu. Surat yang kudapatkan di bawah jendela kamarku. Yang paling membuatku heran adalah dari mana ia tahu namaku. Setahuku, nama itu dipakai ketika beberapa anggota gank motor dan para siswa brengsek penghisap shabu memanggilku. Ah, siapapun pengirimnya, ia adalah orang pertama yang menyuratiku di panti rehabilitasi.

            Aku Gandhi, siswa berputih-abu di salah satu sekolah pinggiran di Ibu Kota. Ya, sebelum akhirnya aku kepergok menelan beberapa butir ekstasi dan di DO. Pil setan itu tak hanya menyiksaku sampai disitu. Beberapa syaraf otakku rusak, aku bejad dan tak berakal sehat lagi, kadang-kadang. Kusabit lengan Abangku demi selembar rupiah bakal membeli sabu-sabu. Maling, jambret, itulah predikatku. Namun, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan terjatuh juga. Waktupun berbicara, belasan polisi mengejarku, mengepung dan menyergapku. 5 bulan di penjara, akupun dipindahkan ke panti rehabilitasi. Hari ini, tepat 100 hari aku di sini. Berusaha mengubur kenangan-kenangan kelam dan memulai kehidupanku dari awal.

            Setelah hampir 10 menit memeriksa amplop, berharap menemukan sebuah nama, tapi nihil. “Secret Admirer, Hehe” ujarku terkekeh. “Kalau begitu, akan kubalas suratmu”, tambahku lagi sambil menahan tawa.

            “Aku percaya padamu, kawan. Sekolahku yang mungkin sekolahmu juga, memang tempat sampah. Para gadis disana hampir nihil yang masih virgin. Siswanya juga sudah sangat akrab dengan psikotropika, apalagi rokok. Semua siswa ‘buangan’ sekolah lain pasti berhasil ditampung disini. Tak satupun Guru yang berani peduli dengan keadaan siswa-siswi bajingan tadi. Mereka lebih sayang pekerjaan dan gaji mereka daripada peserta didiknya”, bait pertama.

            “Tapi aku salut jika kau jujur dalam tulisanmu ini. Mungkin mereka telah mengadakan razia tiap minggu kan? Pengecekan urin dan darah juga tentunya. Seperti di sekolah-sekolah elit ya? Bahkan , mungkin mereka juga sudah mengusir si Jojo, tukang sapu sialan yang menjadi konektor para siswa dengan dunia terkutuk itu. Haha, aku puas sekarang, jangan lupa sampaikan salamku pada mereka. Jebloskan kesini siapa saja yang berkhianat, aku siap berbagi kamar dengan mereka, Haha ”, bait kedua. Tadinya sama sekali tak ada niat untuk menulis bait ke tiga, tapi ada 1 hal penting yang belum kusampaikan.

            “Satu lagi, kuharap Pemerintah sudah terjaga dari tidur malasnya. Ya, sejak zaman Madonna, sekolah pinggiran seperti sekolah kita tak pernah dilirik. Tapi tunggu, siapa kau?”, itulah bait terakhir yang kutulis. Setengah halaman cukuplah bagi orang yang telah lama tak menulis, sepertiku. Tak bingung, kubalang saja surat itu keluar jendela dan pergi meninggalkan kamar untuk mandi.

            Selang beberapa menit, aku masuk kembali ke kamar dan terperanjat. “BEBASLAH! KAU SUDAH SEMBUH”, tulisan itu terbaca jelas di dinding kamarku. Beberapa petugas masuk dan menyuruhku untuk bebenah. “Keajaiban napza yang mana lagi ini?”, tanyaku dalam hati sambil terus bersyukur.

No comments:

Post a Comment

komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)