12/19/2011

Steak


“Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar,” sepenggal takbir tadi menggema di seluruh penjuru dunia, umat muslim baru saja mencapai kemenangannya, begitu juga aku. Rumah mewahku dipenuhi sanak family yang saling bermaafan. Meja makan perak itupun disesaki sajian khas lebaran, ada opor ayam, ketupat, sambal goring ati, rendang serta berbagai Italian food sebagai pelengkap. Sepotong daging asap berukuran ekstra di sudut meja manarik perhatianku, “Hmm, seonggok daging,” ujarku sambil mencoba masuk ke alam bawah sadarku.

“Belanjanya banyak amat, Neng!” seru salah seorang pedagang sembako di pasar. “Iya, biasa… buat persiapan sahur pertama.” Timpalku singkat dan langsung melangkah pergi. Aku Riashinki, anggap saja itu nama sebenarnya, aku tergila-gila pada Dong Bang Shin Ki, boyband asal Korea yang personilnya ganteng giiila. Orangtuaku pengusaha yang terbilang cukup sukses, tak heran jika kami tinggal di salah satu perumahan elite di ibu kota. Selama sepekan sejak kemarin mereka take out ke New York. Entah urusan apa lagi kali ini tapi tak biasanya mereka meninggalkanku tanpa pembantu di rumah. Alhasil, sahur pertama ini harus kulayani diriku sendiri. Alasan yang tepat mengapa saat ini aku berada di pasar tradisional dan diamati banyak pedagang kaki lima.

“Bruk!” sesuatu menabrakku dan menjatuhkan separuh belanjaan. “Apa-apaan nih, lo ga pake spion apa?” teriakku sedikit heboh. “Ngapain pake spion, emangnya elo, ke pasar aja pake helm, kenapa ga pake safebelt aja sekalian?” ujar lelaki bersandal kuning yang baru saja menabrakku. Kuangkat wajahku untuk mengenali wjah pria bersandal kuning itu, “Kak Gio!” sontak jantungku berdegup kencang, dia kakak kelasku yang selama ini dibicarakan oleh segerombol cewek centil di sekolah. “Kamu mau masak buat sahur atau buat lebaran? Kalo sahur yang instant aja kali.” Lagi-lagi ia mengagetkanku yang sedang melepas helm sialan ini. “Buat lebaran!” jawabku ketus sambil terus melangkah pergi. Tak kusangka, cowok menyebalkan yang sok tau itu dipuja ratusan cewek di sekolah.

Setelah memarkirkan Mio hitamku di garasi, aku langsung menuju dapur. “Gila, emangnya segelondong sapi Cuma buat lebaran, ngga tau apa gue siapa, sahur pake steak ngga aneh dong,” ujarku terus mengomel sambil memasukkan semua belanjaan tadi ke kulkas. “Beres, let’s have a bath!” seruku.

Seusai mandi, emnonton DVD konser DBSK, membaca beberapa komik dan mengerjakan PR, aku langsung berlari ke dapur. “Dinner sama mie goreng aja kali ya?” ujarku bergumam lagi. Kuambil satu-satunya sajian instant di lemari berlapis perak itu dan langsung ku masak. Setelah merasa cukup dan benar-benar cukup kenyang, kuputuskan untuk tidur. “My luxury room,” bercat hijau yang ditempeli berbagai merchandise DBSK membuatku semakin ingin tidur, memutar beker dan “Have a nice dream.”

“Argh… gue kesiangan!” teriakku begitu heboh saat terjaga dan menyadari bahwa waktu telah menunjukkan pukul 03.57 AM. Ternyata beker sial tadi sudah lama tak bernyawa bahkan bau bangkai semerbak di sekitanya. “Argh, gimana menyulap seonggok daging, sekantung cabai dan bawang serta 1kg kentang import tadi menjadi makanan instant di rumah berlantai tiga ini. Apa boleh buat, dicoba aja!” tegasku sambil menyambar isi kulkas itu dan mengangkutnya ke dapur.

Walaupun ratusan kali menyantap steak, tak pernah ku coba memasaknya sendiri. Bahkan aku juga ragu mami bisa memasaknya tanpa bantuan buku resep. Untuk itu, kubua Vaio ku dan mulai online mencari sedikit info. “Internet memang hebat,” ujarku saat berhasil menemukan resep cara membuat steak.

Lima menit Sembilan belas detik kemudian, “Jeplak!” listrik padam dan laptopku yang kehabisan baterai itupun mati. “Argh…!” teriakku sambil terisak. Bintang kelas yang menguasai semua mata pelajaran juga berparas cukup manis ini tidak bisa memungkiri kalau ia takut gelap. Untuk pertama kalinya aku berharap ada seseorang yang datang dan menyalakan lampu.

Sambil terus berharap, kupasang telinga lebar-lebar, terdengar suara langkah kaki manusia memasuki halam rumahku. Diketuknya perlahan namun tak jua kujawab. Aku tak ada nyali sedikutpun untuk beranjak. “Brak!” pinti itu berhasil didobraknya, untuk berjaga-jaga kugenggam pisau daging yang sejak tadi menemaniku di dapur. Aku jongkok dan masuk ke kolong meja makan, berusaha menyembunyikan diri. Langkah kaki manusia itupun terasa semakin dekat, dia ada di depanku dengan secercah cahaya. Cahay itu semakin turun dan akhirnya berhasil menyorot bola mataku, juga sandalnya, sandal kuning…

“Hei, ngapain disitu?” ujar sandal kuning, maksudku ujar manusia yang berkaos putih dilengkapi sarung yang diselempangkan ke tubuhnya juga kopiah plus sandal kuning. Masih berwajah samar sampai akhirnya dia menarikku dan mendekatkan pemantik biru kea rah wajahnya yang tak lain adalah, “Kak Gio?!”

“Tunggu, menurut analisis gue, lo bangun kesiangan, lalu mulai kebingungan memasak semua makanan yang ngga instant ini, makanya disini ada laptop, buat online kan? Tapi ngga disangka listrik dan laptop lo padam, last… lo takut gelap, makanya lo teriak dan ngumpet, ada yang kelewat?” paparnya sambil bergaya ala Shinichi Kudo yang sok tahu. “Aku benci banget orang yang ngga dikenal dan sok tahu, anyway exactly!” jawabku. “Thanks, ok sekarang gini aja, ikut gue keluar,” ajaknya sambil menarikku. “Ngapain woy? Seenakanya aja geret orang,” protesku.

Sesampainya di luar, “Gio, berhasil ngga?” ujar seseorang, “Kayaknya berhasil tuh.” Timpal yang lain. OMG, ngapain para hansip itu di bangku terasku, piknik? “Kita kebagian tugas bangunin warga buat sahur, nih ada nasi bungkus dari Pak RT, gue bisa bai dua kalo lo mau,” Tanya Kak Gio. Aku hanya bisa mengangguk karena pilihan lainnya adalah ngga makan sahur di hari pertama puasa. “Elo cewek tajir yang kuper, lo aja sampe ngga tau kalo kita tetanggaan,” ujar cowok sok tahu itu sambil mulai menyantap nasi bungkus kami. “Iya Neng, lagian sahur pake yang instant aja, kaya Mamang nih!” tambah hansip yang sering kutemui di pos ronda belakang rumah, “Iya Mang, sorry,” jawabku sambil menyambar sendok plastik di depanku.

Well, mala mini kunikmati sahur pertamaku di teras rumah tanpa lampu, ditemani dua orang hansip dan satu cowok terfamous di sekolah, ups… juga puluhan nyamuk. Tak bisa kubayangkan wajah para fans cowok ini saat kuberi tahu nanti. Bahkan aku berencana mengadakan kenferensi pers besok.

“Ria! Jangan ngelamun di meja makan gitu dong! Ngga sopan!” ujar Mami membuyarkan lamunanku. “Sorry mam,” jawabku. “Oh iya nanti siang Ria mau bagi-bagiin makanan ini ke para hansip di RT kita ya Mam,” tanyaku penuh harap. “Tumben kamu mau keluar, biasanya Bibi yang Mami suruh, terserah aja deh,” jawab Mami. Hmm syukurlah ternyata selama ini Mami ngga pelit, berita bagus lainnya aku bisa mengunjungi rumah Mang Somad, Mang Jali juga Kak Gio. “Hehe,” tawaku nakal dan hanya kau, aku dan Tuhan yang tahu makna dibalik tawa itu.

No comments:

Post a Comment

komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)