4/16/2015

MALARIA

“Tuan, bangsa kita sudah dipenuhi orang-orang nyinyir. Mudah sekali nantinya kita tersingkir”

“Mengapa kau nampak tak percaya diri, hai ajudan? Dari orang-orang itu, apa yang begitu kau takuti?”

“Mereka, Tuan. Mereka berideologi, bercita-cita tinggi, bertekad kuat membangun negeri”

“Apakah mereka suka mengabdi?”

“Retorik macam apa itu, Tuan? Tentu saja mereka suka mengabdi. Mereka rela pasang badan dalam setiap demonstrasi. Jiwa raga dikerahkan demi kemaslahatan negeri dan bangsanya yang mereka cintai”

“Hahaha. Kau bersemangat sekali. Sama seperti mereka”

“Ah, Tuan. Ini bukan saatnya saya tersipu karena dipuji”

“Kau benar, ajudan. Aku tidak sedang memuji. Aku hanya sedang memberimu inspirasi”

“Inspirasi apa, Tuan?”

“Rupanya kau belum paham juga. Jika mereka suka mengabdi, mengapa tak kita fasilitasi?”

“Apa yang Tuan maksud sungguh saya tak habis pikir”

“Itu karena kau tak pernah berpikir, hai ajudan. Akulah yang berpikir. Itu takdir”

“Ya, Tuan”

“Dengar. Beri mereka pulau. Terluar, terpencil dan tertinggal. Buatkan program dan rewardsnya agar semakin terpercaya, walaupun aku tahu mereka pasti percaya”

“Lalu, Tuan?”

“Lalu apa lagi yang kau takutkan? Jika mereka ingin mengabdi, kita sodorkan pengabdian. Lalu mereka akan tahu siapa lawan mereka sebenarnya. Apa kau tahu lawan mereka siapa?”

“Kita, Tuan?"

“Bukan. Malaria.”

" ...... "


*Catatan:

Berita duka kembali menyapa saya dari daerah 3T sana. Setelah beberapa pekan lalu seorang sarjana yang sedang mengabdi dikabarkan meninggal dunia terseret arus sungai, kini seorang lagi wafat terkena malaria.

Saya pun jadi berpikir, apakah ada otak-otak yang sengaja membuang kaum intelektual dengan cara seperti itu? Gila memang. Tapi sejarah membuktikan hal macam itu pernah terjadi. Sebut saja kisah Soegeng, 1 dari 3 polisi yang jujur versi Gusdur. Yang dua lagi adalah patung polisi dan polisi tidur. Beberapa cerpen Kompas yang pernah saya baca juga pernah bercerita tentang gagasan-gagasan gila itu. Juga 2 novel karya penulis yang sempat membuat saya jengkel karena tidak mau menuliskan sepatah kata di bawah tanda tangannya buat saya, Darwis Tere Liye, juga pernah berkisah tentang mengerikannya strategi dalam sebuah   perebutan kekuasaan. Dalam sebuah kekuasaan, pada setiap orde, ada saja hal-hal gila yang sifatnya manipulatif yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Negeri ini sudah sakit.

Akan tetapi, tentu tidak baik mengaitkan musibah yang sedang menimpa seseorang dengan hal-hal tidak pantas seperti tadi. Percakapan singkat yang saya buat tadi murni merupakan apa-apa yang bercokol dalam otak saya. Ide tanpa dasar, atau justru sebuah gagasan yang keliru. Untuk itu, tidak perlu dibuat susah dengan mendebatnya dalam hati dan pikiran kalian, pembaca.

Dan akhirnya, makhluk kecil akan kembali dari tiada ke tiada. Berbahagialah dalam ketiadaanmu. Terimakasih pahlawan muda, semoga syahid. Aamin.

No comments:

Post a Comment

komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)