Pertama kali saya membaca
Rectoverso adalah saat masih duduk di bangku kelas satu SMA. Cerita yang paling
saya suka adalah cicak di dinding. Satu-satunya kisah dalam buku antologi
cerpen dan lagu karya Dee itu, yang saya ingat dengan jelas. Terobsesi? Bisa
jadi. Saya membeli sticker dinding yang sedang trend masa itu. Sticker cicak.
Beli 3 pack yang isinya ada 30an cicak beragam ukuran. Ah, saya tergila-gila
juga pada petikan lagunya. “Melekat, menemani, membelai dinding jiwa”.
Filosofis berkali-kali hehehe.
Empat
tahun kemudian, Dee mulai menjajaki dunia perfilman. Karya-karyanya tak hanya
disajikan secara narasi tapi juga deskripsi dalam bentuk visual. Berawal dari
novel Perahu Kertas yang difilmkan dan sukses menggaet ribuan penonton, karya
lainnya seperti Madre dan Rectoverso pun dibuat adaptasi filmnya. Kini pembaca
dituntut menjadi penonton, dan itu tuntutan yang berat bagi saya. Saya gagal
menjadi penonton yang baik di film Perahu Kertas 1. Alasan saya, dibuat kecewa
karena ada beberapa hal kecil yang diadaptasi justru mengubah karakter
tokohnya. Ya, Dee berdalih, itu film adaptasi, kalau mau nonton, jadilah
penonton, bukan pembaca. Untuk Madre, saya belum nonton. Dan Rectoverso? Its
amazing! Filmnya digarap sutradara-sutradara yang masih belajar – pengakuan
mereka sih begitu. Simple tapi greget. Kendati menurut saya, film ini agak
sulit dimaknai secara mendalam oleh penonton yg belum membaca bukunya. Lima, ya
kalau tidak salah lima kisah yang diangkat. Beberapa detail harus diperhatikan
betul-betul sehingga bisa menyimpulkan apa yang dikisahkan. Cerpen memang hanya
mengangkat satu konflik simple yang disusun dari detail-detail cerita sebagai
pengantar. Ya, itu istilah saya, setuju atau tidak, bolehlah.
Pertama,
Malaikat tak bersayap, entah apa judulnya. Gak berlebihan menurut saya, kalau
Lukman Sardi menyabet penghargaan buah totalitasnya dalam memerankan tokoh
Abang di film itu. Ceritanya hidup sih, nice deh ya. Lalu, Firasat. Simple
banget kemasannya, walapun saya kurang suka dengan mimpi2 Senja yang
menggambarkan firasat itu. Mimpi tenggelam, itu paling bodor hahaha.
Selanjutnya Curhat buat sahabat. Nah, ini greget. Karakter Indra Birowo
mengingatkan saya kepada sesosok manusia yang saya kira merekalah sahabat saya.
Ya, mereka, karena saya punya tokoh Regi yang berbeda di tiap part hidup saya
hehehe. Selain itu ada Hanya isyarat. Itu loh yang bercerita tentang “pengagum
punggung”. Perempuan itu mengagumi sosok pria yang selalu mengisi hari
bersamanya secara diam-diam, berkelas kalau menurut saya.
Well,
dari semuanya, bisa ditebak bagian mana yang paling saya suka. Kisah cicak di
dinding tentu saja. Sophia Latjuba sebagai Saras dan lawan mainnya sebagai
Taja, ah itu pas sekali. Dan cicaknya... Persis seperti yang ada di dinding
kamar saya 4 tahun silam :D Hanya saja, punya saya bentuknya gak karuan Hehehe
Romantic. That’s it !
Soundtrack Cicak di Dinding |
No comments:
Post a Comment
komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)