10/21/2013

Rectoverso


 



Pertama kali saya membaca Rectoverso adalah saat masih duduk di bangku kelas satu SMA. Cerita yang paling saya suka adalah cicak di dinding. Satu-satunya kisah dalam buku antologi cerpen dan lagu karya Dee itu, yang saya ingat dengan jelas. Terobsesi? Bisa jadi. Saya membeli sticker dinding yang sedang trend masa itu. Sticker cicak. Beli 3 pack yang isinya ada 30an cicak beragam ukuran. Ah, saya tergila-gila juga pada petikan lagunya. “Melekat, menemani, membelai dinding jiwa”. Filosofis berkali-kali hehehe.

            Empat tahun kemudian, Dee mulai menjajaki dunia perfilman. Karya-karyanya tak hanya disajikan secara narasi tapi juga deskripsi dalam bentuk visual. Berawal dari novel Perahu Kertas yang difilmkan dan sukses menggaet ribuan penonton, karya lainnya seperti Madre dan Rectoverso pun dibuat adaptasi filmnya. Kini pembaca dituntut menjadi penonton, dan itu tuntutan yang berat bagi saya. Saya gagal menjadi penonton yang baik di film Perahu Kertas 1. Alasan saya, dibuat kecewa karena ada beberapa hal kecil yang diadaptasi justru mengubah karakter tokohnya. Ya, Dee berdalih, itu film adaptasi, kalau mau nonton, jadilah penonton, bukan pembaca. Untuk Madre, saya belum nonton. Dan Rectoverso? Its amazing! Filmnya digarap sutradara-sutradara yang masih belajar – pengakuan mereka sih begitu. Simple tapi greget. Kendati menurut saya, film ini agak sulit dimaknai secara mendalam oleh penonton yg belum membaca bukunya. Lima, ya kalau tidak salah lima kisah yang diangkat. Beberapa detail harus diperhatikan betul-betul sehingga bisa menyimpulkan apa yang dikisahkan. Cerpen memang hanya mengangkat satu konflik simple yang disusun dari detail-detail cerita sebagai pengantar. Ya, itu istilah saya, setuju atau tidak, bolehlah.
         
   Pertama, Malaikat tak bersayap, entah apa judulnya. Gak berlebihan menurut saya, kalau Lukman Sardi menyabet penghargaan buah totalitasnya dalam memerankan tokoh Abang di film itu. Ceritanya hidup sih, nice deh ya. Lalu, Firasat. Simple banget kemasannya, walapun saya kurang suka dengan mimpi2 Senja yang menggambarkan firasat itu. Mimpi tenggelam, itu paling bodor hahaha. Selanjutnya Curhat buat sahabat. Nah, ini greget. Karakter Indra Birowo mengingatkan saya kepada sesosok manusia yang saya kira merekalah sahabat saya. Ya, mereka, karena saya punya tokoh Regi yang berbeda di tiap part hidup saya hehehe. Selain itu ada Hanya isyarat. Itu loh yang bercerita tentang “pengagum punggung”. Perempuan itu mengagumi sosok pria yang selalu mengisi hari bersamanya secara diam-diam, berkelas kalau menurut saya.
          






  Well, dari semuanya, bisa ditebak bagian mana yang paling saya suka. Kisah cicak di dinding tentu saja. Sophia Latjuba sebagai Saras dan lawan mainnya sebagai Taja, ah itu pas sekali. Dan cicaknya... Persis seperti yang ada di dinding kamar saya 4 tahun silam :D Hanya saja, punya saya bentuknya gak karuan Hehehe

Romantic. That’s it !



Soundtrack Cicak di Dinding




No comments:

Post a Comment

komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)