2/15/2013

cerita lama


Sama sekali bukan hal baru saya mengeluhkan rutinitas. Bahkan beberapa teman sering mengingatkan betapa beratnya bobot pekerjaan plus keluhan. And the best thing here, i’d never sure that they’re stronger than me. Yang jelas saya percaya bahwa beban tidak pernah salah memilih pundak.
Anak Semua Bangsa dan Panggil Aku Kartini Saja masih tergolek di tempat yang sama saat pertama kali saya letakkan: Kolong meja.

“Kau boleh sebut aku tak berhati, seperti tuan Eropa, tapi memang tidak ada tempat lain selain berdesakkan bersama dua jilid Purcell dan Howard Anton, Minke. Setidaknya berdamailah dengan dewa-dewa itu sebagai rasa terima kasihmu atas lahirnya zaman digitarium kini.”

Saya memang sudah meramalkan jauh-jauh hari, bagaimana waktu saya tersita di semester ini. Jadwal kuliah memang tidak lebih padat dari semester lalu, tetapi jadwal mengerjakan tugas kuliah justru berlipat. Setiap mata kuliah di setiap harinya seperti tidak tuntas jika tidak menyertakan tugas untuk satu minggu ke depan. Belum lagi saya harus menerima kenyataan bahwa semester ini kuliahnya sangat matematis -____-

“Gue nggak nemu lagi pelajaran sekasta psikologi, kurikulum, pkn, belajar-pembelajaran atau apapun berbau MKDU. Cukup lieur dicekoki dengan Aljabar Linear, Kalkulus 3, Statistika Matematika, Kapita Selekta dan teuing naon deui. zzz..”

Itu barusan kegiatan dalam kampus. Sekarang beranjak ke efisiensi waktu. Sambil menunggu kuliah yang rata-rata dimulai pukul 9.00 – 15.30, saya ngevolunteer di salah satu SD di lingkungan kampus. Alkisah, ada sebuah organisasi internasional – AISEC – yang concern ke global issues. Project kali ini mengangkat tema Children. Sepertinya, tidak terlalu perlu menceritakan lebih jauh tentang kegiatan para aisecers itu. Yang jelas, jobdesk saya disini adalah sebagai penyambung lidah antara tiga pengajar bule dan siswa-siswa SD. Gampangnya, disebut translater. Walaupun yang saya sampaikan di depan kelas tidak 100% sesuai dengan yang dikatakan bule China, Brazil dan Vietnam itu. Saya sadar betul kapasitas listening, speaking, dan TOEFL saya yang masih ecek-ecek. Kegiatan ini cukup membuat waktu saya terkuras tak percuma. Entah imbalan otentik apa yang akan atau bahkan tidak akan saya dapat selama mengikuti kegiatan yang akan berlangsung hingga bulan tiga ini. Bagi saya, mendapat tiga new followers bule di twitter sudah cukup :’) Apalagi ditambah crossing culture, educational sharing, nambah kenalan di fakultas lain, dan foto bareng bule :> (tetep)
            
   Beres ngevolunteer, ngampus, terus ngapain?
Nggak usah ditanya. Kegiatan satu ini yang menyelamatkan SPP saya semester lalu. Upi memang suka sekate-kate. Baru satu hari pembayaran SPP dibuka, di hari itu pula rekening saya didebet, lumayan sisa tiga puluh rebu :3 . Duit yang dengan segenap peluh (belum sampai fase berdarah-darah) saya kumpulkan blas begitu saja tanpa pemberitahuan sebelumnya. Padahal batas pembayaran masih ada dua minggu lagi.

”Upi emang paling seneng liat gue hidup morat-marit. Makan siang di Harapan Jaya dengan budget maksimal Rp4.500 sekali makan. Hemat pulsa, tidak membalas sms yang tidak penting (dilihat dari pengirimnya). Makan malam di rumah atau tidak makan sama sekali. Pokonya, buat gue yang begini disebut morat-marit.”

Nggak berani minta dikirim duit, akhirnya saya memutuskan kejar setoran. Beruntung, memang rezeki nggak kemana. Hari itu saya mendapat dua siswa privat baru. Jadi semuanya ada empat siswa, masing-masing 2x tatap muka dalam seminggu kecuali weekend. Bisa dikira-kira, bagaimana membagi 8 pertemuan dalam 5 hari. Satu pertemuan = 90 menit. Dan itu semua saya tempatkan sepulang kuliah. Lieur nggak tuh! Sebenernya, sistem yang saya sebut kejar setoran ini bukan semata-mata menyelamatkan saya dari kemorat-maritan. Tapi, juga untuk mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan tak terduga ketika tiba-tiba saja rekening didebet oleh Upi.
                Sampai di rumah, seyogyanya saya kembali berperan sebagai seorang pelajar yang harus rajin belajar dan mengerjakan tugas. Tapi, saya penganut sistem gugur: jadi belajar saja, mengerjakan tugas saja, atau tidak keduanya (baca: tidur saja).
                Berjalan empat minggu, rutinitas itu memuakkan juga. Saya terlalu sibuk mengejar waktu dan lupa pada yang memberi waktu. Selain ibadah wajib, sisanya saya lakukan kalau merasa sempat - seringnya mengaku tidak sempat. Belum lagi, baru saja dua teman saya yang kebetulan berlibur di Bandung selama seminggu, minta ditemui. Dengan berbagai alasan akhirnya saya cancel mengajar satu hari demi menghabiskan malam bersama mereka. Kendati pun semalaman suhu badan saya di atas normal, tidak mengurangi keseruan nostalgia kami.
Besoknya, saya seperti ditampar sekali lagi. Lagi-lagi dihubungi teman untuk bertemu. Di sini baru terasa, betapa mengerikannya ketika waktu yang harusnya kita miliki menjadi hak sebuah instansi privat. Dengan gaya penolakkan yang anggun, saya tawarkan hari lain, lusa. Beruntung ia hanya punya satu hari di Bandung karena lusa pun saya ada jadwal mengajar sampai pukul 20.00  -_-

“Arr SHIT. sampai setua ini pun gue nggak suka dengan apa-apa yang mengikat. Kadang penasaran, sampai kapan gue harus bercinta dengan apa-apa yang nggak gue suka.”
              
  Anyway, saya ingat Al-Quran mencantumkan bahwa bisa jadi yang tidak kita sukai adalah baik untuk kita, dan sebaliknya yang kita sukai justru tidak baik untuk kita. Allah yang menjamin, mana berani saya menyangkal. Tugas saya sekarang adalah terus berusaha dan ikhlas dengan apapun hasilnya. SYEMANGAT! ^^

2 comments:

komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)