Sama sekali bukan hal baru saya
mengeluhkan rutinitas. Bahkan beberapa teman sering mengingatkan betapa
beratnya bobot pekerjaan plus keluhan. And
the best thing here, i’d never sure that they’re stronger than me. Yang
jelas saya percaya bahwa beban tidak pernah salah memilih pundak.
Anak Semua Bangsa dan Panggil Aku
Kartini Saja masih tergolek di tempat yang sama saat pertama kali saya letakkan:
Kolong meja.
“Kau boleh sebut aku tak berhati, seperti tuan Eropa, tapi memang tidak
ada tempat lain selain berdesakkan bersama dua jilid Purcell dan Howard Anton,
Minke. Setidaknya berdamailah dengan dewa-dewa itu sebagai rasa terima kasihmu
atas lahirnya zaman digitarium kini.”
Saya memang sudah meramalkan jauh-jauh
hari, bagaimana waktu saya tersita di semester ini. Jadwal kuliah memang tidak
lebih padat dari semester lalu, tetapi jadwal mengerjakan tugas kuliah justru
berlipat. Setiap mata kuliah di setiap harinya seperti tidak tuntas jika tidak
menyertakan tugas untuk satu minggu ke depan. Belum lagi saya harus menerima
kenyataan bahwa semester ini kuliahnya sangat matematis -____-
“Gue nggak nemu lagi pelajaran sekasta psikologi, kurikulum, pkn,
belajar-pembelajaran atau apapun berbau MKDU. Cukup lieur dicekoki dengan
Aljabar Linear, Kalkulus 3, Statistika Matematika, Kapita Selekta dan teuing
naon deui. zzz..”
Itu barusan
kegiatan dalam kampus. Sekarang beranjak ke efisiensi waktu. Sambil menunggu
kuliah yang rata-rata dimulai pukul 9.00 – 15.30, saya ngevolunteer di salah satu SD di lingkungan kampus. Alkisah, ada
sebuah organisasi internasional – AISEC – yang concern ke global issues. Project
kali ini mengangkat tema Children.
Sepertinya, tidak terlalu perlu menceritakan lebih jauh tentang kegiatan para
aisecers itu. Yang jelas, jobdesk
saya disini adalah sebagai penyambung lidah antara tiga pengajar bule dan
siswa-siswa SD. Gampangnya, disebut translater. Walaupun yang saya sampaikan di
depan kelas tidak 100% sesuai dengan yang dikatakan bule China, Brazil dan
Vietnam itu. Saya sadar betul kapasitas listening,
speaking, dan TOEFL saya yang
masih ecek-ecek. Kegiatan ini cukup membuat waktu saya terkuras tak percuma.
Entah imbalan otentik apa yang akan atau bahkan tidak akan saya dapat selama
mengikuti kegiatan yang akan berlangsung hingga bulan tiga ini. Bagi saya,
mendapat tiga new followers bule di
twitter sudah cukup :’) Apalagi ditambah crossing
culture, educational sharing, nambah kenalan di fakultas lain, dan foto
bareng bule :> (tetep)
Beres
ngevolunteer, ngampus, terus ngapain?
Nggak usah ditanya. Kegiatan satu
ini yang menyelamatkan SPP saya semester lalu. Upi memang suka sekate-kate. Baru satu hari pembayaran
SPP dibuka, di hari itu pula rekening saya didebet, lumayan sisa tiga puluh
rebu :3 . Duit yang dengan segenap peluh (belum sampai fase berdarah-darah)
saya kumpulkan blas begitu saja tanpa
pemberitahuan sebelumnya. Padahal batas pembayaran masih ada dua minggu lagi.
”Upi emang paling seneng liat gue hidup morat-marit. Makan siang di
Harapan Jaya dengan budget maksimal Rp4.500 sekali makan. Hemat pulsa, tidak
membalas sms yang tidak penting (dilihat dari pengirimnya). Makan malam di
rumah atau tidak makan sama sekali. Pokonya, buat gue yang begini disebut
morat-marit.”
Nggak berani minta dikirim duit,
akhirnya saya memutuskan kejar setoran. Beruntung, memang rezeki nggak kemana.
Hari itu saya mendapat dua siswa privat baru. Jadi semuanya ada empat siswa,
masing-masing 2x tatap muka dalam seminggu kecuali weekend. Bisa dikira-kira,
bagaimana membagi 8 pertemuan dalam 5 hari. Satu pertemuan = 90 menit. Dan itu
semua saya tempatkan sepulang kuliah. Lieur nggak tuh! Sebenernya, sistem
yang saya sebut kejar setoran ini bukan semata-mata menyelamatkan saya dari
kemorat-maritan. Tapi, juga untuk mengantisipasi kebutuhan-kebutuhan tak
terduga ketika tiba-tiba saja rekening didebet oleh Upi.
Sampai
di rumah, seyogyanya saya kembali berperan sebagai seorang pelajar yang harus rajin belajar
dan mengerjakan tugas. Tapi, saya penganut sistem gugur: jadi belajar saja,
mengerjakan tugas saja, atau tidak keduanya (baca: tidur saja).
Berjalan empat minggu, rutinitas itu memuakkan juga. Saya terlalu sibuk mengejar waktu dan
lupa pada yang memberi waktu. Selain ibadah wajib, sisanya saya lakukan kalau
merasa sempat - seringnya mengaku tidak
sempat. Belum lagi, baru saja dua teman saya yang kebetulan berlibur di Bandung
selama seminggu, minta ditemui. Dengan berbagai alasan akhirnya saya cancel
mengajar satu hari demi menghabiskan malam bersama mereka. Kendati pun
semalaman suhu badan saya di atas normal, tidak mengurangi keseruan nostalgia
kami.
Besoknya, saya seperti ditampar
sekali lagi. Lagi-lagi dihubungi teman untuk bertemu. Di sini baru terasa,
betapa mengerikannya ketika waktu yang harusnya kita miliki menjadi hak sebuah
instansi privat. Dengan gaya penolakkan yang anggun, saya tawarkan hari lain,
lusa. Beruntung ia hanya punya satu hari di Bandung karena lusa pun saya ada
jadwal mengajar sampai pukul 20.00 -_-
“Arr
SHIT. sampai setua ini pun gue nggak suka dengan apa-apa yang mengikat.
Kadang penasaran, sampai kapan gue harus bercinta dengan
apa-apa yang nggak gue suka.”
Anyway,
saya ingat Al-Quran mencantumkan bahwa bisa jadi yang tidak kita sukai adalah
baik untuk kita, dan sebaliknya yang kita sukai justru tidak baik untuk kita.
Allah yang menjamin, mana berani saya menyangkal. Tugas saya sekarang adalah
terus berusaha dan ikhlas dengan apapun hasilnya. SYEMANGAT! ^^
semangat ehoooom! ^^9
ReplyDeletemakasih yundaaa :D lu jugaa!
ReplyDelete