12/19/2011

dont judge book from the cover

“Karen, lagi-lagi kamu! Masuk kamar dan langsung tidur”, amuk Mamih pada gadis belasan tahun teman sekamarku itu. “Pulang malam lagi?”, sapaku ketika kulihat ia masuk. “Begitulah”, ujarnya singkat sekaligus mematahkan semangat rasa ingin tahuku.
            Karen, namanya tak asing lagi bagi para pecinta Harvest Moon, salah satu game terlaris 6 tahun silam. Karen adalah wanita tomboy penggila sake, di game itu. Tak jauh berbeda dengan Karen ku, nakal, liar, pemarah, bahkan aku tak ragu jika ia pernah mencicipi napza / semacamnya. Ya, tentunya tanpa sepengetahuan pihak panti asuhan  kami. Tak banyak info tentangnya, hanya saja setahuku ia broken home dan memilih tinggal dipanti alih-alih kumpul bersama kedua orang tuanya. Ya, setidaknya ia masih lebih beruntung dariku yang hidup sebatang kara sejak kecil.
            “Bangun! Mau tidur sampai kapan kalian? Buang-buang duit aku sekolahkan kalian kalau begini caranya! Cepat, kalian bisa terlambat!” terdengar teriakan dari lantai dasar. Siapa lagi kalau bukan Mamih, pemilik panti ini. Panti illegal, rumah kami, anak-anak pungut Mamih. Hanya kedermawanan Mamih dan kesetiaan kami yang membuat bangunan 3 lantai ini tetap hidup.
            Kubuka mataku dan langsung melompat dari ranjang saking terperanjatnya. “Sial, kacamataku raib lagi”, gerutuku kesal. Akhirnya kuabaikan masalah kecil itu dan langsung menuju ke kamar mandi di lantai 2.
            1 menit, 10 menit, 20 menit, pintu kamar mandi tak sedikitpun bergeming. “Woy, lu bercukur jangan di dalem donk! Lagian kelamaan di dalem juga gak bakal jadi Luna Maya lu!”, teriakku sambil menggedor-gedor pintu kamar mandi tersebut. Bahkan, tebesit niatku  untuk mendobraknya tapi aku masih ingin hidup, kalo pintu rusak, Mamih bisa membunuhku, Hiii..
 Akhirnya, kuberanikan diri memutar slot pintu dan …… “Astagfirullah, Karen!”, sontakku saat melihat tubuh wanita berambut pendek itu terbujur kaku bersandar ke kloset dengan mulut berbusa dan jarum suntik di tangan kirinya. Saat itu juga, Mamih dan anak-anak lainnya datang menghampiri kami. Mereka mencibir, berbisik, memaki bahkan mengutuk Karen. Hanya Mamih yang langsung menarik lengan Karen dan memeriksa nadinya. “Telepon ambulan!” perintah Mamih singkat.
Sudah 3 malam aku tidur sendiri, rumah sepi karena Mamih bermalam di Rumah Sakit menemani Karen. Selama 3 hari itu juga tak ada satupun diantara kami segan menjenguknya. Ya, Karen di mata mereka memang pantas menerima ganjaran ini. Tingkahnya yang selalu membuat Mamih naik darah, membuat mereka risih akan keberadaannya. Belum lagi sifat Karen yang tak acuh, semakin membuat pekerjaan rumah kami kian menumpuk. Hanya aku dari 3 anak asuh Mamih lainnya yang mau berbagi selimut dengan Karen. “Aku harus melihat keadaan Karenku”, tekadku dalam hati.
Sepulang sekolah, aku langsung membajak motor Andri, sahabatku di kelas. Ku genjot Satria Merah itu sampai ke RS tempat Karen dirawat.  Sebelum ke kamar Karen, kusempatkan diri ke toilet untuk mengganti baju Olahragaku yang baunya udah nggak ketulungan.
“VIP no.2, di sini pasti”, bisikku pada diri sendiri saat membaca plang sebuah kamar. Ku buka pintu perlahan dan kutemukan Karen bersama 2 orang wanita bernuansa gotic yang tampak bersahabat. “Hi, Disa!”sapanya dan itu adalah sapaan paling lembut yang pernah kudengar. “Mereka temanku, kami berteman sejak lama, jauh sebelum kita bertemu. Mereka yang selalu ada saat aku terpuruk. Sama dengan jarum suntik yang kau temukan di tanganku kemarin, Hehe” ujarnya sambil tersenyum tipis. “Yah, salam kenal”, sapaku ramah dan selalu ramah. “Kau ingin dengar ceritaku kan? Hehe, aku bisa membacanya dari matamu sejak 2 tahun lalu kita bertemu”, ujar Karen diikuti tawa lembut kedua temannya.
“Aku puteri seorang konglomerat, semua bisa kudapatkan, bahkan kaupun dapat kubeli, hehe. “Kau bercanda”, tukasku. “Tentu saja aku serius! Harta Ayahku takkan habis dimakan 7 turunan. Hanya 1 yang aku tak punya, yaitu kebebasan. Mereka memaksaku menjadi wanita paling sempurna yang pernah ada. Kesehatan, pendidikan, waktu, semua sudah ditakar. Akulah robot ciptaan mereka. Kau tahu? Mereka sama sekali bukan orang tua yang sempurna, bahkan mungkin mereka lupa berapa umurku. Mereka terlalu sibuk bertengkar, urusan kantor, arisan, uang, uang dan uang. Aku lelah, lari ke dunia malam dan bertemu 2 bedebah ini, Hehe”, paparnya panjang lebar. “Tapi tak seperti dugaanmu, mereka tak pernah 1x pun menyentuh napza, mereka bersih sepertimu. Mereka mencari kesenangan dengan akal sehat, tidak sepertiku, akal sehatku sudah dirampas pasutri gila itu, hihi”, tambah Karen sambil terkekeh dan lagi-lagi disusul kedua temannya.
“Jangan banyak bicara, nanti rahangmu keseleo lagi”, ujar wanita paruh baya yang tak lain adalah Mamih. Semua orang tampak berbeda hari ini, Mamih yang tampak ramah, Karen yang tak pernah sebawel ini dan kedua teman punk nya yang ”bersih” sepertiku. Itulah yang kudapatkan hari ini, “Don’t judge the book from the cover!”, seseorang pernah mengingatkanku akan hal itu. Kuharap ketiga saudariku di rumah paham artinya. Dan untukmu, jangan jadikan situasi buruk sebagai alasan untuk mencicipi obat setan itu. Say No to Drugs.
Finnaly, Karen harus menjalankan berbagai terapi di panti rehabilitasi. Mamih berjanji akan mengembalikan Karenku tahun depan. “Ia akan tetap menjadi Karenmu”, ujar Mamih. Dan ketiga saudari asuhku, mereka tak sabar akan kehadiran Karen yang “baru”.

No comments:

Post a Comment

komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)