7/20/2021

Mom

So how many story about mom i ever write in this blog? Zero.
Saya anaknya suka sekali bercerita. Talk randomly, dari hal paling sepele dalam hidup saya pasti ada jalan ceritanya. Dan pendengar paling setia saya adalah seorang wanita yg saya panggil Mama.

Suatu hari seusai bercerita saya bertanya pada Mama bahwa:
Pernahkah ia merasa bosan?
Apakah cerita saya membuatnya mengantuk?

3/15/2019

Dunia Baru


Bertahun-tahun aku menjadi aku yang suka sekali menulis, membaca, atau mengikuti diskusi buku. Aku suka sekali berdiskusi, membahas isu-isu terkini, atau isu lama yang pernah ramai dibahas kemudian tenggelam lalu muncul lagi. Senang sekali rasanya mengobrol berjam-jam, berbagi cerita dan pengalaman, berdua, dengan siapa saja. Berdua membuatku merasa intens, menjadi fokus seseorang, begitu pula sebaliknya. Berbincang sambil menikmati es coklat atau wedang jahe. Sore ataupun malam. Tapi itu dulu, sebelum aku bertemu kamu.

Dengan mu, berdua, entah kenapa tidak pernah melahirkan diskusi yang panjang, alih-alih berjam-jam. Obrolan kita paling-paling hanya bertahan 10-15 menit. Satu-dua cerita yang terucap dari masing-masing bibir kita, lalu sudah. Entah kenapa aku pun tidak tertarik membahasnya lebih lama. Aku lebih tertarik memandangmu lama-lama. Memperhatikanmu melucu. Mengagumi dari sudut pandang yang orang lain mungkin tidak pernah tahu.

Aku tidak ingin mengajakmu pergi menyelami duniaku. Aku juga tidak ingin kamu menarikku masuk ke duniamu. Aku ingin kita bertemu di dunia baru yang kita ciptakan sendiri. Suasana yang hanya dimiliki kita berdua. Orang lain tidak perlu tahu, apalagi mengerti. Aku bahkan tidak mau memaksamu untuk mengerti yang kumaksud ini. Cukup ikuti, jalani, lalu kita sama-sama pergi. Gimana, kamu setuju?

10/20/2018

Stasiun Kereta

Aku selalu suka mengantarmu ke stasiun kereta. Melihatmu pergi dan menunggumu datang kembali suatu hari nanti. Aku suka memandangi punggungmu. Merasakan hangatnya pelukan perpisahan itu. Ah, kita tidak pernah menyangka akan bertemu secepat ini, dan berpisah di kemudian hari. Siapa yg tau apa nasib waktu? Yang aku tau, merindukanmu sudah menjadi kegemaranku. Kapan pulang? Tak usah membawa oleh-oleh. Aku cukup kamu saja, dan martabak keju. Hehe

10/07/2018

Menjadi tertutup dalam keterbukaan media sosial

Sejak media sosial ramai2 digunakan oleh orang yg akhirnya disebut sebagai netizen, saat itulah transparansi privasi terjadi. Saya suka istilah itu, beberapa tahun lalu pernah saya gunakan sebagai judul puisi yang saya buat dan pos juga di blog ini. Transparansi privasi yg saya maksud adalah kegiatan menyebarluaskan hal-hal yg tadinya bersifat pribadi, seperti perjalanan, kegiatan keseharian, curahan hati yang biasanya paling mentok dituliskan di buku diary, hingga ocehan2 bentuk kekesalan terhadap sesuatu dipos juga di akun medsos. Apa namanya kalau bukan transparansi?

TAPI, setransparan-transparannya pengguna medsos, tentu ada batasan tersendiri. Seorang pengguna medsos tidak mau juga disebut terlalu terbuka. Beberapa ciri netizen seperti itu misalnya ia tidak menyematkan laman blog di akun media sosialnya yg lain. Ia tidak ngarep-ngarep banget tulisannya dibaca orang yg dikenal (atau yg dituju?), justru lebih tertarik jika ada netizen yg nyasar ke blognya berdasarkan kata kunci yg ia ketikkan di mesin pencari. Laman blognya seperti toko yg tidak sengaja didatangi pengunjung, atau justru didatangi karena dicari.  Ciri lainnya adalah, si tertutup ini akan menggunakan fitur pilah-pilih viewer. Ia pengguna aktif fitur "hide status from" di akun whatsapp, juga fitur "close friend" di akun instagram. Sungguh fitur yang didambakan setiap kaum tertutup dalam keterbukaan media sosial.

Memang kenapa sih harus pilah-pilih begitu? Layaknya sebuah jaringan sosial pada kehidupan nyata, yang mengharuskan kita punya banyak teman tapi tidak semua mesti kita dekati. Ada teman-teman yg perlu kita kenal, perlu kita kenali lebih dari itu, dan teman-teman yg padanya kita saling mengenal baik satu sama lain, tidak ada yg ditutup-tutupi. Seperti tingkatan dalam kedekatan berteman, begitu pun di media sosial. Terkadang, kita harus menjaga privasi kita dari orang-orang tertentu seperti atasan di kantor, atau bahkan teman kantor yg gak deket-deket amat. Karena gak mungkin kan kita tolak permintaan pertemanannya di medsos? Hal yg paling mungkin adalah memfilter orang2 yg dapat mengikuti segala postingan kita, atau beberapa postingan tertentu saja. Rempong ya? Ya memang, begitu repotnya hubungan dengan manusia 😅

Lalu salahkah menjadi pengguna medsos yang tertutup? Tentu saja tidak. Walaupun yg benar hanya dia, saya mah salah aja. Ups (apa atuh wkwk). Menjadi pengguna medsos yang seperti apa itu hak perogatif masing2. Hanya saja, memang aneh ketika kalian sudah mencemplungkan diri ke ranah digital begini, jejak kalian tentu dapat ditemukan. Tidak ada lagi yg bersifat privasi. Justru terkesannya setengah-setengah, terkesan banci. Tapi pun tidak apa-apa. Menjadi banci pun tidak salah, toh? Selagi tidak merugikan siapa-siapa.


Jadi, kamu tim pengguna centang biru di whatsapp atau tidak?
(Loh?) Hehehe.

9/27/2018

9 tahun

Kaya judul lagu lama gak sih? Crossbottom, ya?
Bagaimana rasanya bertemu orang yg sudah 9 tahun tidak bertemu, atau pun berkomunikasi. Awkward? Rikuh? YES and YES.
Saya heran dia bisa begitu santai, tetap angkuh, dan menyebalkan seperti anak kelas 3 SMP yg pernah saya kenal dulu. Padahal semuanya sudah berubah, nyaris tidak ada yg sama dari penampakan masing2 dari kami. Kecuali panggilan khasnya ke saya, dan saya yg gak pernah punya panggilan khas ke dia. Maklum, ia anak paling menyebalkan yg suka seenaknya memberikan julukan2 aneh ke teman2nya. Saya? Anak cupu yg gak peduli soal itu selagi nilai-nilai saya masih berada di posisi teratas di antara anak2 seangkatan.
Hampir sepanjang film kami mengobrol. Untung studio saat itu tidak begitu ramai sehingga kami tidak dilempar pulpen oleh Nic Saputra (loh?). Saya sendiri tidak begitu terganggu mesti menanggapi celotehan2nya saat sedang menonton. Saya hanya heran, kalau memang ingin mengobrol, buat apa ia mengajak saya menonton film lengkap dengan soda bubble dan popcorn jumbo. Kenapa tidak kita makan-makan saja gitu. Oh, saya ingat ia bilang punya deposit voucher nonton yang banyaaak. So, well let's go to the movie!

"Kamu malu jalan dengan saya?" tanyanya setelah ia berkata bahwa ia tidak pernah mengenyam bangku kuliah. Ya, tentu. Ia tidak perlu kuliah, ia bahkan sudah bisa menghidupi banyak jiwa dari pekerjaan yg ia punya. Kalau saya seperti dia, mungkin saya juga tidak akan mengejar tes cpns seperti orang-orang.
"Malu? Nggak lah." jawab saya singkat.


Lalu kami pun berhenti mengobrol dan melanjutkan menonton film sampai selesai.