Uhuk.

Sudah kubilang, obat batuk bikin kantuk.
Sejarah bikin kantuk.
Maka modus ponen mengatakan: sejarah obat batuk.

Udah sih gitu aja. Sebenarnya saya mau bilang kalo sakit batuk itu sangat mengganggu. Saya capek batuk-batuk terus, orang capek dengar saya batuk-batuk terus. Batuk kering memang tak lebih nyaring dari batuk berdahak. Batuk kering lebih merdu tapi menyiksa. Batuk berdahak tinggal buang atau (jika suka) telan dahaknya, keributan teratasi. Tapi batuk kering? Tak ada yg bisa kau buang apalagi di telan kecuali angin kosong. Keributan terus terjadi sampai batuk kering mau berhenti. Minum air putih hanya memperpanjang selang, memperpendek frekuensi, tapi setelah itu batuk kering kembali pada iramanya sendiri, temponya sendiri.

Saya benci batuk kering. Obatnya mahal dan bikin kantuk. Saya tahan batuk-batuk di kelas daripada terkantuk-kantuk. Kemarin, hari ini, besok dan lusa, saya punya agenda. Siang adalah bagian hari yg paling sibuk. Saya tak boleh mengantuk. Jadi saya tak meminum obat batuk dan akibatnya saya terus batuk-batuk.

Ha! Pernah saya makan permen pelega tenggorokan. Namanya Strepcil, dan harganya mahal. Mungkin karena ia bersifat melegakan, membuat nyaman, aman dan tentram. Tentu pada semua itu ada harga yg harus saya bayar. Strepcil tidak bikin ngantuk. Ia juga lebih hebat dari air putih. Tapi tetap masih lebih hebat batuk kering. Saya membutuhkan minimal 3 butir Strepcil untuk bertahan tidak batuk selama 2sks perkuliahan. Pernah saya coba. Dan silakan hitung butuh brp bungkus Strepcil yg mahal itu untuk menahan batuk kering selama saya kuliah di kls lain, mengajar, mengobrol, bersantai, hingga pulang ke rumah malamnya. Karena pada saat malam, saya berdamai dgn obat batuk yg juga mahal dan bikin kantuk.

Yaa.. Sudahlah. Saya toh sudah minta maaf ke teman sebelah saya saat ujian, ke teman ngobrol, ke siswa2 yg saya ajar, juga ke org rumah. Tetangga tidak perlu, karena mereka sekeluarga sedang terjangkit batuk-batuk juga. Semoga mereka memaafkan saya dan si batuk kering.