DAMRI - Bandung, minggu pertama di bulan April
Suasana hiruk pikuk di terminal sudah tercium sejak masih di depan gerbang kampus Bumi Siliwangi. Hari ini aku menepati janji pada seorang sahabat untuk tidak mengendarai kendaraan pribadi ke kampus. Alhasil, pulang kampus, kami melangkah menapaki jalan Setiabudi, menuju terminal setempat. Sampailah telinga kami pada kebisingan klakson beberapa angkutan umum, peluit petugas yang berbaur dengan teriakkan para penjaja asongan. Sembari membidik tulisan pada beberapa mobil beroda enam, mata kami terus berkeliling. “itu, Leuwi panjang-Ledeng,” ujar Desy yang langsung disambut baik oleh kedua kakiku, sedikit berlari ke arah bus itu demi mendapat kursi.
***
Figure: google - The Bus is already Full |
Bus Kota – belum berangkat juga. Beberapa jiwa mencari kehidupan pada kesempatan ini. Satu per satu penjaja asongan menaiki bus dan langsung beraksi. “Haneut kénéh, haneut kénéh,” logat khas daerah ini yang teramat kental. “Plester batik, dua rebu, isi sapuluh,” yang ini rupanya menarik perhatianku. “mangga, Neng. Plester batikna, dua rebuan isi sapuluh,” lelaki itu mengulang kata-katanya dengan melirik ke arahku. “Nggak, Pak, nuhun,” tolakku sehalus sutra. Aku memang tertarik, tapi sudah punya, hehe.
Bus Kota – mulai penuh. Bangku-bangku kosong kini berpenghuni. Para penumpang beragam usia, dari usia muda, dewasa, hingga lansia. *Tebal dompet yang menyatukan semuanya (*baca: tipis dompet). Tentu saja, ongkos DAMRI memang jauh lebih murah jika dibandingkan dengan tarif angkot. Selain itu, DAMRI hanya bermuara pada satu hulu, terminal. Filosofi yang sebaiknya ditiru oleh para lelaki hidung cemong.
“Rasa sesal di dasar hati, diam tak mau pergi. Haruskah aku lari dari kenyataan ini….” lantunan musisi jalanan itu memaksa jiwaku berdendang. Kebetulan sekali akhir-akhir ini sedang menggemari lirik-lirik lagu sekelas iwan fals, efek rumah kaca dan dialog dini hari. Efek kebanyakan maen sama anak-anak persma.
Belum cukup satu lagu, rupanya pengamen bergitar itu mulai memainkan intro lagu anak jalanan. Kali ini kuping para penumpang yang lain pasti sangat wawuh. Bukan karena sedang digemari, melainkan lagu ini memang paling sering dibawakan para musisi jalanan dari level kecrek tutup botol bekas sampai biola tua yang kulitnya terkelupas sana-sini. Walau agak maksa dengan mengubah lirik “Jakarta oh Jakarta……” menjadi “Bandung oh Bandung…..” tak apalah, karya putera bangsa yang patut diapresiasi.
Bus Kota – mulai sesak dijejali penumpang. Bukan hanya mereka yang duduk termenung di pinggir jendela sambil merasakan angin semilir berkadar CO2 tinggi, atau mereka yang tertidur di tengah kerumitan isi bus, tapi juga muda-mudi yang berdiri berjejalan sambil dengan erat berpegangan pada besi di atasnya, berusaha mempertahankan diri agar tidak terpental ketika bus tancap gas dan tarik rem mendadak. Layaknya manusia yang terombang-ambing dalam liku kehidupan, namun tetap berpegang teguh pada Dzat yang Maha Satu.
Dua orang berikutnya naik dari halte pasir kaliki. Mereka para hawa paruh baya yang kebetulan tidak kebagian tempat duduk. Seorang lelaki yang kelihatannya setahun lebih tua dariku, tiba-tiba berdiri dan mempersilakan Ibu tadi menduduki kursinya. Ia terus berpegangan pada besi di atas kepalanya, bersandar pada bangku terdekat, sedang tangan satunya sibuk mengotak-ngatik storm. Aku lebih suka menyebutnya si lucu. *Menggelitik memang (*baca: geliiiiii) tapi apa mau dikata, dia ganteng sih hehe. Dari perawakannya, tergolong kaum berada. Sepatu dan tas yang dipakainya saja bermerk TIIIIIIITTT (*menyebutkan nama merk terkemuka). Aku langsung teringat cerita yang dikisahkan beberapa FTV di Indonesia, orang kaya yang baik hati naik bus kota, ketemu cewek kampung, awalnya berantem tapi endingnya jadian. Akhirnya mereka hidup bahagia selamanya.Tamat.
Bus Kota – “Baru sampai Mekar Sari ya?” Desy yang baru saja terjaga dari tidur singkatnya bertanya ke arahku. Dengan raut sepolos kertas buram yang dibagikan ketika ujian statistika dasar, aku menjawab, “Memangnya Mekar Sari dimana tuh, Ndes?” Desy langsung berpeluh, layaknya karakter Regnarok ketika kita mengklik di chat “swt”.
“Ya, itulah persembahan dari kami, mudah-mudahan dapat mengibur anda semua yang ada di sini, semoga selamat sampai tujuan, hati-hati dengan barang bawaanya jangan sampai tertinggal apalagi berpindah tangan. Akhir kata kami mengucapkan terimakasih, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,” musisi jalanan kali ini terdiri dari beberapa jiwa. Vokalisnya kira-kira seumuran dengan aku dan Desy, yang lainnya tampak lebih tua beberapa tahun di atas kami. Lagu yang dibawakan mereka benar-benar membuat kuping berasap, saking panasnya. Bahkan, aku lupa mereka membawakan lagu apa. Ketika salah satu anggota group musik bus kota itu menyodorkan kantong plastik bekas bungkus permen ke arahku, aku langsung mengangkat kelima jari (jari tangan pasti). Itu isyarat, kalau dibahasakan begini kira-kira, apa-apaan ini, lagunya aja bikin kuping panas, nyanyi kayak kumur-kumur begitu, malah nagih recehan, gak ada!
Tapi karena kami bicara dari hati ke hati, sang pengamen pun mengerti isyaratku tanpa harus dibahasakan terlebih dulu. Bungkus permen pun ia sodorkan pada lelaki di depanku.
Tanpa ragu, penumpang itu memasukkan beberapa recehan ke dalamnya. “Aih, si lucu, makin kayak sinetron aja,” batinku. Tanpa berniat terus memperhatikan laki-laki itu, aku mulai melancarkan jurus kepo ku. Meneliti tiap sudut dalam dirinya, adakah ruang kosong di hatinya untukku. Hahaha, tidak, aku bercanda soal itu. Kembali lagi, meneliti tiap sudut dalam dirinya, pakaian, tas, dan sepatu yang dikenakan, mencerminkan dia seorang mahasiswa. Untuk hipotesis sementara, almamaternya UNPAS, atau bahkan UPI karena ia naik di Setiabudi.
***
TCI D82 - Dalam basah kumasuki halaman rumah, melepas sepatu dan kaus kaki yang agak kuyup. “Kehujanan dimana?” suara yang tak asing menyapaku lembut. “Di Leuwi panjang,” jawabku padat. Satu per satu anak tangga kuinjak dengan kaki yang lembap dan dingin. Perlahan kubuka pintu kamar yang tadinya tertutup rapi, lalu kututup dengan rapi lagi. Tak menghiraukan baju yang agak basah, aku merebahkan diri di tempat tidur yang rapi.Tak bertahan lama, tubuh pun mulai menggigil. Kutarik selimut dan mulai bermimpi. Ah, hari ini melelahkan sekali.
No comments:
Post a Comment
komentar capruk anda akan muncul setelah dimoderasi admin :)